Malaka Project dan Bias Kritik Alfian

Malaka Project dan Bias Kritik Alfian

Malaka Project dan Bias Kritik Alfian
Ilustrasi oleh Arkandy Velkan Gisaldy

Bukan sekali dua kali Alfian menyenggol Malaka Project, tapi belum juga ada tanggapan. Makanya, karena saya peduli, saya coba sodorkan perspektif yang berbeda dari subjektivitas Alfian. Supaya tetap fair, objektif, dan tidak bias dalam beropini.

Saya mengapresiasi bahwa di tengah kesibukannya sebagai seorang konten kreator, Alfian masih menyempatkan menggunakan hak jawabnya untuk menjelaskan ulang kritiknya terhadap Malaka Project dan berupaya menangkis kritikan saya terhadap opininya yang pertama.

Bahwa ada “bunga-bunga,” semisal menyebut saya kebakaran jenggot, menjadi humasnya Malaka Project, atau individualisme tingkat akut, ya, saya anggap itu sebagai kegenitan intelektual dan pemanis narasi saja.

Di sini, saya lebih tertarik untuk menanggapi beberapa kritikan Alfian terkait Malaka Project, yang sedikit banyak telah menjadi penyebab masalah balas-balasan pantun opini ini terjadi. Cakep.

Ya, walaupun saya juga berharap ada yang cukup peka di Malaka Project untuk merespon langsung patah hatinya Alfian terkait gerakan ini.

Baca Juga: Mengkritik Akademisi di Panggung Politik Praktis

Terjebak Pada “Argumentum Ad Hominem”

Saya mengkhawatirkan gaya beropini Alfian yang abusive dan tu quoque malah mengaburkan substansi yang sedang dibahasnya. Entah disadari atau tidak, beberapa argumentasinya malah terkesan ad hominem.

Salah satunya saat dia menyebut saya dan orang-orang di Malaka Project sebagai bukan pegiat pendidikan, sehingga buta dengan persoalan substansi pendidikan di Indonesia.

Ada kesesatan penalaran yang coba dipromosikan Alfian dengan menyerang reputasi dan mempertanyakan kualifikasi.

Justru, Alfian keluar dari konstruksi opininya yang coba mengkritik Malaka Project yang dianggapnya tidak relevan dengan persoalan substansi pendidikan. Alfian terlihat seperti emosional dan berusaha mengawali opininya dengan mendiskreditkan.

Rupanya, Alfian sudah memiliki definisi sendiri terkait “pegiat pendidikan” dan siapa saja yang boleh dan tidak boleh untuk mendapatkan sertifikasinya.

Saya tidak mengerti, dalam simpulan Alfian sendiri, pegiat pendidikan itu seperti apa. Pun jika misalnya saya tidak termasuk dalam kategori pegiat seperti yang dia maksud, bukan berarti saya tidak mengerti persoalan substansial pendidikan Indonesia.

Justru saya memahami bahwa apa yang dikritik oleh Alfian sebetulnya tidak beralasan. Dengan mengkiaskannya sebagai “Rambo yang salah sasaran”, saya melihat Alfian seolah ingin mendompleng popularitas saja dari gerakan Malaka ini.

Terbukti bukan sekali dua kali Alfian menyenggol Malaka Project, tapi belum juga ada tanggapan. Makanya, karena saya peduli, saya coba sodorkan perspektif yang berbeda dari subjektivitas Alfian. Supaya tetap fair, objektif, dan tidak bias dalam beropini.

Gerakan Bicara Impact, Bukan Personal Branding Semata

Saya percaya bahwa sebuah gerakan—mau besar atau kecil—dengan ide dan ruang gerak yang konstruktif harus tetap diapresiasi, termasuk Malaka Project.

Di tengah semakin menguatnya agenda-agenda neoliberalisme yang dijalankan negara, termasuk di sektor pendidikan, mengharapkan transformasi progresif dari para pemangku kebijakan tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Sehingga, elemen-elemen sipil, salah satunya Malaka Project, perlu hadir untuk mengisi ruang-ruang kosong dan melengkapi hal-hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab penuh pemerintah.

Perkaranya, Alfian mencurigai Malaka Project sebagai bancakan neoliberalisme. Menurutnya, beasiswa hanyalah modus dari kapitalisme.

Tentu, tak patut untuk menghukum “bayi yang baru lahir” karena ramalan dukun yang mengatakan bahwa besarnya nanti si bayi bakal menjadi penjahat.

Dalam logika itulah sudut pandang Alfian perlu dikritik. Lagipula, siapa yang bisa menjamin Alfian pun tidak terjebak dalam agenda neoliberalisme serupa.

Sehingga, alih-alih hanya berfokus pada melakukan pembacaan terkait arah gerak suatu gerakan, mengapa tidak memberinya kesempatan atau, mungkin, dukungan terlebih dahulu baru kemudian menilai sejauh mana dampak yang dihasilkannya.

Saya sendiri juga bergerak dalam ruang-ruang social movement. Bedanya, saya bertindak sebagai entitas organisasi alih-alih personal branding seperti para konten kreator dan influencer yang mencoba mengakusisi panggung popularitas bagi penggeraknya.

Tetapi, bukan itu yang ingin saya kritik. Sebab, yang terpenting dan selalu diharapkan dari setiap gerakan sosial ialah dampak yang berkelanjutan.

Tentu, tak perlu saya sampaikan tentang berapa sekolah swadaya yang kami bangun mulai dari pesisir Sumatera sampai ke pelosok timur Indonesia lewat penjelajahan tepian negeri, misalnya, hanya untuk mengklaim bahwa saya tidak buta-buta amat terkait persoalan pendidikan di Indonesia. Intinya, pada konteks yang mungkin berbeda, kita tetap sama-sama bergerak dan berkontribusi.

Alfian mungkin belum pernah membawa kursi dan meja belajar sekolah yang dijejerkan di atas perahu lalu menyeberang ke kepulauan Alor, NTT, untuk merajut ulang asa anak bangsa yang juga punya hak untuk mengakses pendidikan yang layak.

Membangun kembali sekolah-sekolah rusak khas “Laskar Pelangi” di pedalaman Jambi-Sumsel yang aksesnya hanya bisa dicapai oleh sepeda motor.

Mendengar curhatan rekan seprofesi guru di perbatasan Timor Leste-Indonesia yang honornya baru dibayarkan per tiga bulan, dan kemudian membantu mereka dengan menghimpun para donor untuk menjamin insentif tambahan yang sepadan setidaknya untuk penghidupan harian.

Saya tahu konteks itu. Tahu persis.

Masyarakat Tontonan dan Matinya Kepakaran

Perihal masyarakat tontonan yang dibahas Alfian, ya, apa salahnya? Toh, dia juga punya panggung itu. Membahas konten “gado-gado”: kadang membahas pendidikan, kadang mengkritik, kadang juga bahas martabak. Sama-sama tidak ada salahnya.

Saya melihat Alfian terjebak dalam dilema konstruksi narasi yang coba dibangunnya. Dengan penuh semangat, dia mengkritik Malaka Project karena tidak menawarkan kebaruan, progresivitas, dan ditengarai sebagai model neoliberalisme yang populis.

Di lain pihak, jalan ninja perjuangan Alfian ternyata menggunakan pola yang sama. Menggunakan konten digital lewat Instagram dan Tiktok, bahkan mengklaim dirinya sebagai kreator konten.

Sedikit ambivalen, tapi kemudian sepertinya menyadarkan Alfian, bahwa ia melakukan pembacaan terhadap Malaka Project dengan berkaca pada apa yang dia lakukan lewat konten-kontennya.

Yang mengherankan di sini ialah dengan bersembunyi di balik kata autokriktik, Alfian mencoba menerapkan standar ganda: saya boleh, kamu tidak boleh.

Ya, setidaknya menurut pengakuannya, sampai saat ini dia bertahan dengan tidak menerapkan endorse dan berjanji akan tutup akun kalau kedapatan “berbisnis” konten. Namun, ini tidak menutup fakta bahwa dia pun berkutat pada penciptaan “masyarakat tontonan” serupa.

Masih terkait masyarakat tontonan, Alfian juga berpendapat bahwa imbas dari kondisi seperti ini ialah matinya kepakaran.

Seperti yang sudah diketahui, ide terkait The Death of Expertise cukup terkenal sejak Tom Nichols di tahun 2017 mengemukakan bahwa dalam era informasi yang berlebihan, di mana siapa pun dapat mempublikasikan pendapat mereka secara luas melalui internet, otoritas para ahli seringkali dipertanyakan atau bahkan diabaikan oleh masyarakat umum

Gagasan ini mengarah pada penurunan kepercayaan terhadap pengetahuan dan keterampilan khusus yang dimiliki oleh para ahli dalam bidang mereka.

Dari sini, Alfian seolah ingin memvalidasi dirinya sebagai ahli, dan Malaka Project sebagai penghias layar digital dengan konten “kacang goreng.”

Alfian perlu tahu, dalam buku yang sama, bahkan Nichols pun mengurai bahwa kesalahan utama bukan terletak pada internet dan konten sampahnya, tapi pada manusianya.

Manusia mempunyai masalah bias konfirmasi, yaitu kecenderungan alami untuk hanya menerima bukti yang mendukung hal yang sudah dipercayai. Selain itu, manusia lebih suka ide-ide yang populis lewat tokoh populer ketimbang kajian berat para ekspertis.

Perlu Hal Baru dan Segar

Menutup tulisan ini, saya ingin menyampaikan kepada Alfian bahwa tidak ada hal yang benar-benar baru di muka bumi pada abad kita hidup sekarang. Semua adalah proses modeling dan sintesa.

Namun, jika ternyata Alfian, dalam sudut pandangnya, punya hajat terkait sesuatu yang progresif, baru, dan segar, Alfian disarankan membuat gerakan antitesa sebagai tandingan.

Atau, dengan semangat kolaboratif ala Gen Z, Alfian juga bisa saja ikut bergabung ke dalam Malaka Project sebagai founder ke-10. Itu pun jika mereka dan Alfian berkenan.

Sebagai kesimpulan, apapun itu, kita semua butuh kerja. Bagi Malaka Project, beasiswa dan konten adalah kerja. Bagi Alfian, mengkritik Malaka Project juga kerja. Dan tugas saya adalah mengutip Tan Malaka untuk mengomentari mereka.

 “Siapa yang tidak bekerja, maka ia tidak akan makan.” 

Editor: Ahmad Gatra Nusantara
Penulis

Ardiansyah

Seorang aktivis, peneliti, dan pemerhati gejala-gejala sosial. Sangat suka dengan kritik dan konstruksi sosial. Serta penyuka travelling, ngopi, indie, dan senja.
Opini Terkait

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel