Testimoni “Anak SD” untuk Edisi Terakhir Tabloid Bola

Testimoni “Anak SD” untuk Edisi Terakhir Tabloid Bola

opini majalah bola min min optimized
opini majalah bola min min optimized

Walaupun saat itu sudah ada tabloid GO (Gema Olahraga), entah kenapa lebih enak mengingat, mengucapkan, dan membeli Tabloid Bola.

Saat Tabloid Bola menyatakan akan pamitan di Rabu, 17 Oktober 2018. Kepala saya direwind oleh kenangan bersamanya. Roda zaman terus berputar, kapitalis cetak beralih rupa ke kapitalis gawai. En toch, pada akhirnya, Tabloid Bola menyusul Gema Olahraga (GO) dan Majalah Soccer yang lebih dulu menerima pil pahit kekalahan dari media-media daring yang sanggup menyiarkan cuplikan gol Lionel Messi hanya dalam hitungan detik.

Walaupun saat itu sudah ada tabloid GO (Gema Olahraga), entah kenapa lebih enak mengingat, mengucapkan, dan membeli Tabloid Bola.  Bermula dari keisengan: masak iya mau baca Majalah Bobo terus? Yang laen kek; mau nimbrung baca Koran Kompas langganan bapak kan juga gak mungkin? Ya sudah, akhirnya membeli Tabloid Bola—Salam hormat buat Bang Sarbini, loper koran idola yang turut merekomendasikan.

Pertama kali saya menyentuh bentuk fisik Tabloid Bola pada Piala Eropa 1996. Saya sudah lupa kavernya dan sialnya tidak sempat mengkliping. Tema hari itu adalah kekalahan Inggris di semifinal Piala Eropa 1996 dan nama pemain pertama yang masuk ke kepala adalah si gelandang jenaka yaitu Gascoik (ini pengucapan saya pertama kali), mestinya Paul Gascoigne, dibaca Paul Gaskoin. Sederhana bagi saya, namanya cukup aneh bagi lidah Indonesia dan terdengar lucu. Sedangkan, nama klub pertama yang saya kenal justru Ajax Amsterdam, saya mengucapkannya Ajaks bukan Ayaks, logonya unik, namanya aneh dan kaosnya bagus. Belakangan saya baru tahu klub ini pernah menjadi kaderisasi ideologi total football dan menjelma sebagai tiki-taka di Barcelona.

Saya yakin 100%, para founding father Tabloid Bola tidak menyangka bahwa salah satu segmen pembacanya adalah anak SD. Sekelompok orang yang rela berjibaku menghindari pengawasan dewan guru supaya tabloid ini bisa dibaca dengan selamat oleh rekan sejawatnya di sekolahan. Setidaknya bisa pamer sebagai sosok paling terdidik dan mengerti perkembangan global. Menyisihkan seribu dua ribu untuk membeli tabloid meskipun pada akhirnya digunting untuk dipajang di kamarnya masing-masing, menyemut di agen koran hanya untuk tahu apakah tim kesayangannya meraih kemenangan dan akhirnya menemukan bahan ejekkan untuk jagoannya yang kalah, atau sssttt! siapa tahu menang taruhan.

Memang benar, Tabloid Bola hadir bersama dengan televisi swasta yang rutin menyiarkan Serie A Liga Italia. Namun, orang tua mana yang rela anaknya melek-an hanya untuk menyaksikan laga Derby Milan? Jika ingin nonton siang-siang maka RCTI menayangkan kilasan berita sepakbola namanya Planet Football, tapi kan kepemilikan televisi masih jarang-jarang, lagian itu masih jam sekolah. Saya menduga ini yang menyebabkan Tabloid Bola menjadi pilihan anak-anak SD di zaman saya. Lagian harganya cuma 2500 sampai 4000 perak dan tampilannya okelah untuk jamannya.

Setidaknya ada enam terstimoni saya tentang Tabloid Bola sejak saya masih di bangku SD.

Pertama, sebagai tanda fase peralihan

Tabloid Bola seperti penanda peralihan dari saya yang semula pembaca Bobo dan Fantasi ke majalah olahraga, barangkali supaya dibilang anak yang beranjak dewasa padahal masih bercelana merah.

Ada peralihan alam pikiran yang awalnya menganggap Bona dan Rong-Rong, Oki-Nirmala hidup di alam nyata ke nama-nama orang Italia, Brazil, Prancis, Inggris, Jerman, Argentina. Para empunya nama ini nyata, bukan hidup di alam fantasi. Mulut kemudian dilatih untuk mengucap Lothar Matthaeus (ini paling susah mengeja dan menulisnya) dengan baik dan benar, sampai pada akhirnya nama Ronaldo, Batistuta, Owen, Beckham dan Totti adalah nama paling gampang diucapkan. Pas memang titimangsanya saat nama-nama tersebut sedang moncer-moncernya seperti halnya hari ini kita melihat Kyliann Mbappe, Eden Hazard, dan Mohammed Salah di layar kaca (baca:gawai).

Ke-dua, sumber pengetahuan tentang sepakbola

Ini dia yang penting. Dari mana datangnya istilah penyerang, gelandang serang, bek sayap, tendangan pisang, sepak pojok, dan adu pinalti. Ya dari Tabloid Bola. Istilah ini datang bersamaan dengan konfigurasi angka unik formasi sepakbola seperti 4-4-2, 3-5-2, 4-3-3, dan masih banyak lagi.

Lalu dimulailah uji coba sok tahu di lapangan sekolah. Sepakbola yang awalnya berlangsung urakan, yang penting nendang bola, tidak ada operan, atau semua pemain berlomba menjadi pencetak gol, perlahan-lahan mulai diatur. Mulailah ditunjuk siapa yang jadi bek, kiper, penyerang, gelandang. Aturan lemparan ke dalam, sepak pojok, handsball dan lain sebagainya. Lha darimana referensinya? Sekali lagi Tabloid Bola.

Ke-tiga, sebuah referensi permainan asah otak

Menyambung poin 1 dan 2, setelah perbendaharaan kosakata istilah sepakbola dan nama pemain sepakbola mulai mumpuni. Maka saatnya diuji lewat permainan.

Saya tidak tahu apa nama permainannya, apalagi penciptanya. Sejenis tebak-tebakan. Jadi begini, jumlah pesertanya yang jelas lebih dari satu orang, kemudian mereka melambai-lambaikan tangannya untuk kemudian secara tiba-tiba menyodorkan jumlah jarinya, mulai lima jari, dua jari atau tiga jari. Kemudian dihitung. Jika enam jari misalnya, maka seseorang akan mengurut huruf ke-enam dalam alfabet, yaitu F. Untuk kemudian ditanyakan, siapa nama pemain bola berawalan F. Ada yang menjawab Figo dan sisanya akan berfikir keras untuk mencari tahu siapa saja nama pemain berawalan F.

Permainan ini selain meningkatkan keakraban antar siswa, mengusir kebosanan, menguji perbendaharaan nama pemain sepakbola, dan lumayan mengingat urutan susunan alfabetis. Jika ada yang ngawur, maka Tabloid Bola akan menjadi referensi utama. Oh ya, menghafalkan nama-nama pemain sepakbola lebih menarik daripada menghapal rumus matematika, apalagi mengingat nama Menteri Zaman Orde Baru yang jumlahnya seabrek. Maaf, saya cuma ingat Harmoko doang!  Mohon diingat, praktik ini semua terjadi sebelum globalisasi Konami dan EA Sport merangsek pojok-pojok kampung lewat Rental Playstation.

Ke-empat, memajang poster

Saya tidak paham tafsir estetika macam apa yang mendorong anak-anak SD untuk memajang poster pemain bola di kamarnya? Rasa haus akan sosok pahlawan kah? Atau biar tampil beda, mengingat tidak akan mungkin memajang poster pemain bola di ruang kelas masing-masing? Penyemangat belajar. Barangkali.

Lhoh kok bukan Albert Einstein? Emang situ pikir ada abang-abang jualan poster Einstein, Isaac Newton, Phytagoras di sekolahan? Mau majang poster musisi, eits nanti dulu, belum cukup umur. Emangnya siap dimarahin orang tua jika memasang poster Axl Rose yang badannya tato-an dan liriknya tidak ada yang bertemakan murid berbudi pekerti luhur? Baiklah, paling aman adalah poster pemain sepakbola, halaman paling menarik dari Tabloid Bola, halaman khusus poster, atau berita penting yang mestinya dikliping rapih tetapi nyasar ke tembok kamar. Jika kehabisan poster di Tabloid Bola? Santai, abang-abang penjual poster sudah nangkring di dekat pintu gerbang sekolah. Mau Robbie Fowler, Batistuta, Owen, Beckham atau skuad lengkap macam generasi emas Juventus 1997/1998, Barcelona 1998/1999, Manchester United 1999? Semua sudah siap siaga di lapak dagangannya.  

Ke-lima, mimikri yang aneh

Pernah mendengar ucapan begini? Nih tendangan Batistuta! Tendangan Pisang Roberto Carlos! A****g K*****g ga gol! Yaeyalah, kan kipernya Pagliuca! Atau sesudah mencetak gol meniru gaya pesawat terbang Vincenzo Montella? Ini tidak terjadi di kemegahan Olimpico, Giussepe Meazza, San Siro, Delle Alpi, tapi di lapangan sekolah atau apapun yang masuk dalam definisi lapangan.

Ada sekelompok anak kecil yang merasa dirinya sangat dekat dengan nama-nama pemain bal-bal-an diatas, seolah-olah pernah dilatih langsung. Hehehe. Aneh kan. Ya sudah namanya anak kecil. Proses mimikri tidak berhenti disitu saja, saat David Beckham mulai disunggi oleh media internasional, Tabloid Bola tidak ketinggalan menabuh gendangnya. Saat ditafsirkan anak-anak SD, maka beralih rupa dengan rambut belah tengah, rambut basah seperti ketumpahan minyak rambut. Merepotkan?

Oke cari yang sederhana, memasang plester di hidung seperti striker Robbier Fowler, rambut diacak-acak model Steve McManaman atau menegakkan kerah ala Eric Cantona. Beruntung tidak ada yang meniru penampilan Carlos Valderrama, Abel Xavier, dan Taribo West. Praktik mimikri ini beriringan dengan menjamurnya bisnis jersey sepakbola di pasar.

Para kaum pedagang agaknya sadar, kelindan antara efek Tabloid Bola dan budaya visual sepakbola entah itu poster atau tayangan sepakbola ke anak kecil. Yaitu munculnya hasrat ingin memiliki baju tim kesayangan. Walhasil, setiap lewat pasar keinginan untuk membeli atau sekedar memegang jersey klub sepakbola akan hadir. Saya dulu menyebutnya kaos bola, seingat saya, paling ngetop jersey AC Milan, Inter Milan, Juventus, Liverpool dan Manchester United, yang sudah melambai-lambai di toko kaos. Sayangnya tidak ada yang menjual jersey Kiper Mexico, Jorge Campos. Nah, Klub Manchester City dan Paris Saint Germain? Eh, emang waktu itu peringkat berapa ya? Liga mana sih itu?! Hahaha. Piss

Terakhir, Si Gundul

Ini dia ikon Tabloid Bola yang rutin mengisi bagian komik strip. Nama rubriknya Si Gundul. Menggelitik, usil, dan jenaka. Si Gundul benar-benar multitalent, dan merentang banyak cabang olahraga, atletik, tenis, bulutangkis, dan sudah jelas sepakbola. Di bagian lain, ikon Si Gundul sering tampil memvisualisasi terjadinya gol monumental. Ini bagian yang paling saya suka. Seingat saya ada beberapa gol yang divisualisasikan, mulai dari tendangan pisang Roberto Carlos ke gawang Fabian Barthez tahun 1997 hingga aksi solo run saat Ronaldo di Barcelona. Sayangnya tidak ada visualisasi penyelamatan heroik dari penjaga gawang.


Problemnya saya sudah telat ngomong beginian, soalnya tinggal satu edisi lagi tabloid bola, tanggal 26 Oktober 2018. Buat pencipta karakter Si Gundul, saya ucapkan terimakasih. Segitu dulu, jika ada yang menambahkan silakan banget.  Akhirulkalam, terimakasih banyak buat Tabloid Bola. Sungguh beruntung, pernah berjumpa dalam satu episode pengalaman literasi. Salam hangat dari mantan pembacamu.

Editor: Fajar Dwi Ariffandhi
Penulis
sdk-men-placeholder

Haryo Kunto Wibisono

Pencinta beragam tahu : tahu bulat, tahu bunting, tahu gejrot, tahu jeletot, hingga tahu isi.

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel