Gelaran debat perdana calon presiden telah dilaksanakan 12 Desember lalu. Dan berjalan cukup lancar. Anies, Prabowo, dan Ganjar memaparkan visi dan misinya dengan percaya diri.
Sanggahan demi sanggahan pun saling dilontarkan sepanjang debat, sebagai bentuk dari sikap kritis yang berbeda-beda dari para calon dalam menyikapi berbagai persoalan negara.
Sebagai penonton debat yang belum memutuskan akan memilih paslon nomor berapa nanti, saya cenderung objektif, melihat kelebihan dan kekurangan pada tiap pernyataan dari ketiga capres di momen tersebut.
Menurut saya, ketiga capres sebenarnya bisa tetap menjaga kualitas retorika mereka dengan baik dari awal sampai akhir acara. Sayangnya, hanya capres nomor 1 dan 3, yakni Anies dan Ganjar yang terlihat ‘stabil’ sepanjang debat. Tidak dengan capres nomor 2, Prabowo Subianto.
Emosi Prabowo terhadap Dua Rivalnya
Di pertengahan acara, tepatnya pada saat ketiga calon hendak membahas persoalan Hak Asasi Manusia (HAM), di situ saya melihat Prabowo mulai terusik dan mulai kewalahan mengontrol emosi.
Entah karena terbayang teror kasus penculikan aktivis di masa lalu atau bukan, Prabowo nyatanya menunjukkan gestur tidak nyaman dengan pembahasan tersebut. Lalu amarah Prabowo memuncak, tatkala disinggung perihal HAM.
Ganjar meminta tanggapan Prabowo perihal empat rekomendasi DPR RI dalam menyikapi 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Melihat dan mendengar langsung counter statement dari Prabowo terhadap pertanyaan Ganjar, saya menduga bahwa Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu sudah tidak mampu lagi memberikan jawaban yang logis dan konkrit. Pernyataan Prabowo yang sangat emosional itu, sudah di luar konteks pertanyaan.
Dia seperti hanya ingin membela diri dengan menyalahkan wacana pelanggaran HAM sebagai senjata yang kerap ditodongkan kepadanya. Dia sama sekali tidak merespon empat rekomendasi DPR RI, sebagaimana yang ditanyakan oleh Ganjar Pranowo.
Tak hanya sampai di situ, Prabowo juga terlihat emosi ketika menanggapi pernyataan Anies Baswedan soal proses demokrasi di Indonesia.
Namun, tanggapan Prabowo terhadap pernyataan Anies tersebut masih terkesan ngawur dan reaksioner. Alih-alih menjelaskan bagaimana praktik berdemokrasi yang ideal, Prabowo malah mengungkit kembali pencalonan Anies sebagai Cagub DKI tempo hari.
Sejujurnya saya khawatir, jika hal ini dibiarkan terus, maka akan merugikan kubu paslon nomor 2 itu sendiri. Paling banter, ya bisa kehilangan pendukungnya.
Dari pemilihan diksi hingga gaya bicaranya kemarin, bisa saya tebak bahwa penjelasan Prabowo tidak akan ditanggapi serius oleh kelompok akademis.
Kelompok ini yang saya maksud akan hengkang bilamana Prabowo tidak mau merubah gaya emosionalnya. Bentar, ini bukan murni pernyataan pribadi saya sendiri loh ya.
Arisnaldi, pakar ilmu politik Universitas Andalas yang bilang begitu. Kata dia, ada indikasi dari kelompok terdidik yang selama ini mendukung Prabowo, untuk berpaling setelah melihat watak tempramennya di atas panggung.
Dia juga sempat menyebut bahwa gagasan Prabowo soal HAM sudah sangat bagus, akan tetapi karena dikuasai emosi, maka penyampaiannya menjadi mentah dan sulit dicerna.
Nah, supaya kemungkinan buruk ditinggal pendukung itu tidak serta merta terjadi, maka dengan ini saya pun berinisiatif untuk menawarkan solusi alternatif yang kiranya dapat sedikit membantu mengurangi sikap tempramen beliau.
Media yang saya tawarkan ialah buku-buku bergenre self improvement atau pengembangan diri, dengan topik manajemen emosi.
Rekomendasi Buku
Pertama, saya merekomendasikan buku “Emotional Intelligence” karya Daniel Goleman. Buku ini menjelaskan tentang bagaimana emosi dapat mengalahkan rasionalitas, sehingga perilaku individu hampir sepenuhnya didominasi oleh emosi yang meluap-luap.
Goleman, di buku ini berperan sebagai teman baik yang mengajak pembaca lebih memahami apa saja kelebihan serta pengaruh positif dari kecerdasan emosional terhadap keberhasilan karir dan pekerjaan seseorang.
Sebagai capres dengan elektabilitas tertinggi menurut hasil survey, Prabowo mestinya mau membaca buku ini, agar dia bisa mengelola emosi dengan baik ketika berdebat di sesi kedua nanti.
Prabowo mesti bisa membuktikan bahwa dia bisa menjadi sosok presiden yang bijak, yang berhasil menyelesaikan setiap masalah di republik ini tanpa amarah apalagi kekerasan.
Kedua, buku karya Daniel J. Siegel, berjudul “Mindsight: The New Science of Personal Transformation”, yang membahas mengenai praktik cara mengelola pikiran dan emosi secara saintifik.
Sebagai seorang praktisi, Daniel mengajarkan beberapa teknik, seperti latihan meditasi sebagai metode pengendalian diri yang efektif. Pengendalian diri yang baik melalui meditasi, akan merubah karakter yang reaktif menjadi lebih responsif.
Singkatnya, biar gak gampang ngomel-ngomel yang gak jelas terus, gitu.
Saya yakin, Prabowo pasti mafhum dengan yang namanya meditasi. Akan tetapi, mungkin saja beliau juga masih butuh pengetahuan baru terkait teknik atau metode terkini dalam melaksanakan meditasi yang jauh lebih efektif lagi.
Sehingga, di sela-sela waktu kampanye, beliau bisa menyisihkan sedikit waktu untuk bermeditasi, sesuai dengan metode yang ditulis di buku ini.
Baca Juga: Menulis untuk Keabadian itu Omong Kosong!
Ketiga, buku “The Anger Trap: Free Youreself from the Frustrations that Sabotage Youre Life”, oleh Les Carter. Penjelasan emosi yang lebih spesifik mengenai amarah, dikupas habis di buku ini. Penulis, di buku ini, membahas tentang seseorang yang sering meluapkan amarah kepada orang lain, biasanya tidak menyadari bahwa kebiasaan tersebut bersumber dari luka dan rasa sakit di masa lalu.
Suramnya pengalaman hidup yang menjebak pikirannya tetap tinggal di masa lalu, membuat Prabowo kesulitan untuk menerima dan memaafkan kesalahan orang lain. Sehingga reaksi yang ditunjukkan ialah kemarahan yang berlebihan.
Dengan membaca buku ini, harapannya Prabowo bisa belajar cara berdamai dengan luka di masa lalunya. Baik luka akibat kesalahannya sendiri, maupun luka akibat kesalahan rezim kala itu.
Baca Juga: Pilpres 2024 Butuh Sosok Nurhadi-Aldo
Yang terakhir, buku yang ditulis oleh seorang psikolog kawakan, Susan David, berjudul “Emotional Agility: Get Unstuck, Embrace Change, and Thrive in Work and Life”. Jika tiga buku sebelumnya memosisikan emosi negatif seperti amarah, sebagai sesuatu yang harus dihindari, maka buku ini ditulis dengan gaya yang berbeda.
Susan, menawarkan sudut pandang lain tentang cara menghadapi emosi. Dia tidak menyarankan untuk menghindar, tetapi justru menerima emosi tersebut. Lha, maksudnya?
Jadi gini. Apabila Prabowo menghadapi kesulitan mengontrol emosi di tengah acara debat pilpres nanti, dia bisa tetap menerima emosi itu, kemudian bertindak membuat sebuah keputusan di kepalanya untuk merefleksikan emosi tersebut menjadi bentuk ekspresi positif.
Tentu saja emosi yang masih bisa dikontrol. Bukannya emosi yang membawa pengaruh buruk terhadap presentasinya kelak.
Misal, dengan gaya bicara yang berapi-api, Prabowo masih bisa mengontrol emosinya dengan tetap fokus terhadap materi dan tidak menyerang opini lawannya dengan kalimat-kalimat yang tidak semestinya diucapkan.
Saya tentu sangat merekomendasikan buku ini kepada beliau, sebagai simbol penghormatan atas dedikasi beliau selama tiga kali ikut kontestasi pilpres ini. Secara tidak langsung, saya banyak mempelajari kerja keras serta komitmen berjuang dari beliau.
Terlepas dari hal itu, saya paham betul bahwa jadwal bapak Prabowo yang padat menjelang debat capres dan cawapres sesi kedua nanti, akan banyak menyita waktu. Apalagi untuk sekadar membaca. Kalaupun ada waktu, pasti tidak banyak.
Baca Juga: Membaca Peluang Berdakwah di Whisper