Keresahan ini berawal ketika saya mendapati satu reels yang menunjukkan seorang pria terkejut mengetahui bahwa perempuan cantik bisa kentut.
Saya garuk-garuk kepala. Heran, emang cowo doang yang punya sistem ekskresi dalam tubuhnya?
Namun, fenomena itu nyatanya membuat saya terus bertanya-tanya. Kok, bisa, sih, ada orang berpikir kayak gitu?
Saya mencari-cari jawaban sampai ke Quora dan menemukan pernyataan dari Jim Gleeson. Kurang lebih, ia mengatakan bahwa perempuan tidak berani membicarakan fungsi tubuhnya.
Bahkan, banyak perempuan mengamini anggapan kalau pergi ke toilet selalu dianggap mau touch up–meskipun ada benarnya–alih-alih buang air.
Dari pernyataan tersebut pertanyaan saya berlanjut, apakah perempuan juga tidak diperkenankan mengenal tubuhnya sendiri?
Perempuan dan Tubuhnya
Dea Safira pernah nge–mention ini dalam bukunya yang berjudul Sebelum Perempuan Bercinta (2021). Ia mengatakan bahwasanya mayoritas perempuan sudah dijauhkan dari pengetahuan tentang tubuh mereka sejak kecil.
Itu berarti perempuan terhalang dari tubuh dan dirinya sendiri. Tubuhnya sendiri menjadi hal yang tabu, menjijikkan, dan bahkan terlarang untuk dibicarakan.
Mirisnya, laki-laki merasa kecewa ketika mengetahui bahwa tubuh perempuan tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Hal ini malah mengindikasikan bahwa realitas memang dikendalikan oleh sudut pandang laki-laki.
Terus, yang paling aneh dan gak habis fikri adalah kepercayaan bahwa perempuan cantik tidak berfungsi layaknya manusia sebagai makhluk biologis. Padahal, perempuan cantik pun bisa kentut, buang air, dan melakukan hal yang dianggap jorok lainnya. That’s normal.
No offense, tetapi sepertinya mengetahui fakta bahwa Lisa Blackpink bisa mencret pun akan susah untuk diterima. Sudahlah, saya memang tidak mengharapkan apa-apa kecuali berkata, “Please, educate yourself!”
Awalnya, saya kira mereka hanya menindas perempuan yang dianggap tidak memenuhi standar. Ternyata, perempuan yang dianggap memenuhi standar pun tidak lepas dari kejamnya imajinasi mereka. Masih saja perempuan harus tunduk di bawah bayang-bayang para lelaki yang haus mata.
Mitos Kesempurnaan yang Di Luar Nurul
Lantas, dari mana, sih, keyakinan tersebut berasal? Menurut hemat saya, sedari dulu perempuan hanya dianggap sebagai objek pemuas berahi semata.
Seperti yang kita tahu objek adalah sesuatu yang dijadikan sasaran. Sedangkan subjek adalah pelaku yang melakukan. Dalam hal ini, laki-laki dan perempuan terjebak dalam relasi subjek-objek. Padahal, apa pun gendernya, relasinya harus setara sebagai subjek.
Berangkat dari perannya sebagai objek hasrat, maka perempuan harus menampilkan diri sesuai dengan yang diinginkan laki-laki. Perempuan harus putih, cantik, mulus, bersih, wangi, dan berbagai tuntutan tidak realistis lainnya.
Saya yakin beberapa orang, dan mungkin termasuk kita pun, pasti pernah merasa aneh jika berpikir ada idola cantik yang kentut atau buang air besar. Selama ini, mereka dilihat sebagai wujud yang sempurna tanpa cacat dan cela.
Hal ini terjadi karena standar-standar tersebut telah terkonstruksi di otak kita. Kiranya kita terlalu sering mendengar imajinasi laki-laki yang sering disematkan pada perempuan.
Ester Lianawati dalam Ada Serigala Betina Dalam Diri Setiap Perempuan (2020) pun mengatakan bahwa masyarakatlah yang menanam mitos kesempurnaan pada perempuan. Perempuan dipaksa untuk memenuhi tuntutan yang tidak realistis demi menjadi sempurna.
Asumsi liar saya, mereka yang menerapkan standar kesempurnaan adalah orang-orang yang insecure. Mengapa? Ya, karena mereka tidak mampu mencapai kesempurnaan itu sehingga mencarinya pada diri orang lain.
Baca Juga: Perempuan dan Hantu Keberdayaan
“Perempuan Cantik Tidak Selalu Bahagia!”
Mungkin sepasang sandal akan mendarat di wajah saya karena statement tersebut. Pasalnya, apa yang saya utarakan berbeda dari keyakinan banyak orang. Mayoritas dari kita pasti percaya kalau kecantikan selalu membawa keberuntungan. Layaknya potongan lagu Fortune Cookie yang dinyanyikan JKT48:
Penampilan itu menguntungkan
Selalu hanya gadis cantik saja yang ‘kan dipilih menjadi nomor satu.~
Saya juga awalnya setuju dengan jargon “Lo cantik, lo aman!” Tetapi, ternyata saya salah. Justru saya mendengar sendiri dari teman yang menderita karena kecantikannya. Bahkan, ia sampai trauma dan takut jika berteman dengan laki-laki.
Ia bercerita bahwa sedari dulu ia selalu dikejar oleh banyak makhluk berbatang yang baper kepadanya. Mau tak mau teman saya harus menolak mereka. Tetapi, ada salah satu dari mereka yang tidak terima, dan dengan ngerinya selalu meneror teman saya. Gila!
Saya juga pernah membaca novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan. Saya mendapatkan pemahaman bahwa jadi perempuan cantik pun hidupnya tidak kalah menderita. Pada novel tersebut, justru kecantikan perempuan dieksploitasi untuk pemuas nafsu para tentara.
Selain dua kisah tersebut, saya yakin banyak kisah-kisah lain yang serupa, bahkan mungkin lebih dari itu. Bagaimanapun, kita sebagai bagian dari masyarakat seharusnya memberikan edukasi bahwa perempuan juga manusia yang tidak sempurna dan kadang salah.
Kita juga harus merangkul dan memberikan ruang aman bagi perempuan yang jadi korban imajinasi liar lelaki.
Mau sampai kapan masyarakat terpenjara di rumah sakit jiwa? Melihat realitas hanya dari kacamata laki-laki dan tidak menganggap perempuan sebagai subjek yang setara.
Bayangin aja, standar yang gila tersebut akan semakin gila apabila semakin dijustifikasi. Biarkan saja mereka kecewa. Biarlah mereka menerima bahwa kebenaran itu memang pahit rasanya.
Saya harap tulisan ini juga bisa menjadi reminder untuk para perempuan di luar sana agar tidak terjebak pada ilusi tentang kesempurnaan. Fokuslah untuk memperbaiki diri tanpa menjadi iri.
Pasalnya, kesempurnaan perempuan hanyalah ilusi belaka yang dibuat pria untuk memuaskan dirinya. Jargon “Di dunia ini tidak ada yang sempurna” ialah benar adanya.