Perempuan Idaman Tidak Melulu Soal Pintar Memasak

Perempuan Idaman Tidak Melulu Soal Pintar Memasak

“Hah, tidak bisa nyambel? Tidak bisa masak? Masa sih kalah sama aku”. Sebuah pernyataan terbuka yang merujuk pada pada gagalnya masa PDKT. Padahal masih banyak kemampuan lain selain memasak, yaitu, menghabiskan makan dan cuci piring.

Pembahasan laki-laki mengenai kriteria pasangan tak akan pernah berhulu. Alih-alih, gagasan ideal mengenai kriteria pasangan justru kerap menimbulkan pro dan kontra. Sebagai perempuan yang sering nimbrung jagongan bareng para lelaki di kedai kopi, saya kerap terhenyak, kaget, tafakur, kemudian berkaca acapkali mereka melakukan perdebatan itu.

“Ah, apa aku sudah pantas? Apa aku sudah sesuai? Ah, tapi setiap individu pasti tak akan sama! Pasti kami juga memiliki penggemarnya sendiri,” mbatinku, disusul berbagai pembenaran lain yang saling serang tiada ampun.

Mulai dari tingkat kecerdasan, kemampuan berkomunikasi, cara bersolek, sifat keibuan, kemandirian, dan tentu saja memasak: sebuah kriteria yang mampu membuat setiap lelaki jatuh hati.

Ah, tentu saja! Siapa juga tak mau menyanding perempuan yang lihai di dapur? Tak hanya mitos cita rasa pujaan hati itu tak tertandingi, para lelaki jelas amat berbahagia jika punya pasangan yang mampu menekan pengeluaran rumah tangga.

Perempuan, Dapur, dan Sebuah Kegagalan dalam Hubungan Percintaan

Hubungan perempuan dengan dapur alias masak-memasak sudah terkonstruksi mapan di tengah masyarakat. Tidak mengherankan jika sebagian orang menganggap hal ini lumrah. Malah diyakini dan semakin digemari sebagai primadona bagi para lelaki.

Perempuan pun terjebak ke dalamnya. Konstruksi yang terbangun sejak dulu, lambat laun menjadi elemen penting dalam menambah kepercayaan diri mereka. Misal, ketika berhadapan dengan (calon) ibu mertua di lingkungan yang tradisi kendhuren-nya masih kental. Cakap di dapur sukses membuat satu misi perempuan selesai: jadi mantu yang tidak ngisin-isini.

Maka bagaimana nasib kami, sebenarnya saya sih, yang boro-boro masak, ngupas bawang motong cabe saja bikin harap-harap cemas? Sudah kayak nunggu Bandung Bandawasa menyelesaikan pembangunan seribu candi. Canda Bandung.

Ada yang bilang, perempuan dapat menaklukan laki-laki melalui perutnya. Jika tidak mampu, maka gagal. Rupanya itu nyata! Saya sendiri pernah mengalaminya. Ketidakahlian memasak berhasil menggagalkan proses pendekatan saya dengan seseorang.

Suatu hari dalam sebuah percakapan ringan, saya membuat sebuah pengakuan. Saya tak pandai memasak. Sejurus kemudian, si do’i terkejut dan lantas berkata, “Hah, gak bisa nyambel? Gak bisa masak? Masa sih kalah sama aku?” katanya.  Awwww, nyeri mendengarnya.

Beberapa minggu berlalu. Do’i meninggalkan diri ini dan menyisakan perasaan sedih yang luar biasa. Sejak saat itu, saya mulai bertualang. Mengukur sejauh mana kemampuan memasak menjadi elemen penting dalam PDKT, sekaligus mempertimbangkan apakah ada keahlian domestik lain yang dapat menjadi pelengkapnya.

Konstruksi yang Harusnya Lebih Komprehensif

Perlu ada rekonstruksi pemahaman, mengenai perkara perempuan dan dapur. Para lelaki harusnya bisa lebih komprehensif dan tidak melulu menjadikan masak-memasak sebagai kriteria idaman mereka. Perempuan dan dapur adalah keseimbangan antara kemampuan memasak, menghabiskan makanan dan mencuci piring.

Jika salah satunya timpang, akan sangat menyebalkan! Kenapa demikian? Saya punya alasan, boleh juga sebut sebagai pembelaan, kenapa keseimbangan dapur tidak cuma soal pandai memasak.

Pertama, menghabiskan makanan ini tentang bagaimana menghormati masakan dan menghargai makanan itu sendiri. Betapa menyebalkan bukan, jika sudah memasak enak-enak, tapi ujung-ujungnya makanan yang sudah dimasak dari bahan yang dibeli dengan menggunakan uang hasil kerja keras, terbuang tak termakan?

Menyisakan makanan itu mubadzir. Masa lupa? Sejak kecil, kita selalu dilarang membuat nasi nangis lho. “Ayo habiskan, nanti nasinya nangis.

Saya memang tidak ahli masak, tapi saya pintar menghabiskan makanan. Tidak hanya yang tersisa di atas meja, bahkan saya tidak akan menyisakan nasi dari piring setelah saya makan. Teman-teman sering tercengang, karena usai makan piring saya selalu bersih. Katanya, “seperti orang kelaparan saja.”

Bagi saya, kebiasaan menghabiskan makanan itu wajib dilaksanakan. Ini bentuk penghormatan terhadap juru masak dan bentuk kasih kepada uang pribadi yang tidak didapat dengan mudah. Memasak memang menghemat pengeluaran, tapi akan jadi pemborosan jika makanan yang dimasak justru terbuang sia-sia.

Kedua, jika hanya pintar memasak memang tidak ngisin-ngisini. Tapi hobi menumpuk piring kotor justru nggarai mumet. Coba bayangkan, kalau nanti di rumah ada perayaan besar-besaran. Kita masak banyak, tapi setelah itu saat menengok ke dapur, piring kotor menumpuk. Bikin kesal kan, Mom?

Itu kenapa percuma jika pintar memasak tanpa rajin mencuci piring. Konon, rajin mencuci piring dapat mengurangi stres, minimal stres karena piring kotor menumpuk yang berujung malas masak, atau bahkan malas makan.

Sebuah studi di Universitas Florida juga menemukan fakta bahwa, mencuci piring efektif mengurangi stres, kecemasan, menurunkan resiko depresi dan berkontribusi pada peningkatan kualitas tidur. Wangi sabun cuci dan gerakan berulang saat mencuci, mampu membuat pikiran rileks.

Para peneliti juga sudah mengamati bahwa peringkat saraf menurun 27% pada pencuci piring yang sadar, sementara inspirasi mental meningkat 25%. Dan, Wow!menakjubkan dan bahagia, memiliki pasangan yang tidak mudah stress dan penuh inspirasi. Saya memang tidak ahli masak, tapi saya rajin cuci piring dan selalu ambil bagian itu kalau ada acara di perkumpulan RT, lho.

Jadi, jika ada yang seperti saya, telah memiliki DUA dari TIGA syarat menciptakan keseimbangan dapur, beruntunglah. Tugas selanjutnya tinggal berkenalan dulu dengan peralatan dan berbagai macam bumbon. Kemudian, mulai mencoba resep-resep sederhana tapi mbingungi dari orang tua, internet maupun teman sejawat.

Bagaimanapun, ketiganya tetap harus beriringan, bahkan lebih baik lagi jika tumbuh menjadi sebuah kebiasaan. Konsep perempuan dan dapur juga perlu direkonstruksi, agar di kemudian hari, keahlian memasak tidak menjadi satu-satunya penyebab timbulnya keraguan saat mendekati lelaki dan ibu (calon) mertua idaman.

Percaya deh, hidup ini tidak melulu dengan kegagalan cinta yang disebabkan oleh minimnya kemampuan memasak.

Penulis
Arnie Perwita Sari

Arnie Perwita Sari

Sering percaya cocoklogi dan hal-hal yang berbau klenik.

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel