Merdeka Mengajar seharusnya bikin guru bisa lebih leluasa dan kreatif dalam mengajar. Tapi nyatanya, ada banyak guru yang dianggap hanya menjadi ‘badut budak’ Platform Merdeka Mengajar (PMM). Gimana itu maksudnya?
Jadi, mereka lebih banyak mengerjakan tugas administratif ketimbang eksplorasi. Seharusnya, guru bisa bebas mengeksplorasi metode pengajaran yang seru dan sesuai sama anak-anak.
Namun, dengan kurikulum yang ketat, evaluasi yang ribet, dan tekanan buat hasil ujian, membuat kreativitas guru semakin terbatas. Para guru menjadi sulit menemukan metode yang tepat dan membuat anak-anak menjadi tertarik.
Situasi ini tentu kurang menguntungkan dan membuat para guru menganggap hal tersebut sebagai suatu disrupsi. Saya coba jabarkan agar lebih mudah dipahami, deh.
Baca Juga: Uneg-uneg Guru Bahasa Jawa
Merdeka Mengajar atau Menghambat Mengajar?
Pertama, terkait kurikulum yang kurang fleksibel. Awal tujuan Merdeka Belajar, kan, membuat kurikulum yang sesuai perkembangan zaman. Tapi nyatanya, kurikulum kini malah terlalu terikat sama materi yang harus diajarkan. Jadi, seringnya nggak banyak ruang buat eksplorasi kreatif.
Kedua, masalah evaluasi kinerja yang keterlaluan. Nah, beban evaluasi kinerja yang tinggi dan banyak aturannya bisa bikin guru lebih fokus ke urusan administratif daripada mengekplorasi metode pengajaran yang beda dan inovatif.
Lalu, yang ketiga, soal tekanan dari hasil ujian. Beberapa guru mungkin merasa ‘dorong-dorongan’ banget ngarahin semua usaha mereka buat persiapan ujian standar. Akhirnya, kadang mereka kurang punya waktu buat kembangin keterampilan lain yang juga penting.
Intinya, banyak faktor yang bikin guru merasa terbatas dan nggak bisa maksimal ngajar dengan cara yang paling oke buat siswa. PMM seharusnya jadi semacam support buat semangat kebebasan dan kreativitas dalam mengajar, biar guru bisa lebih leluasa menyesuaikan metodenya sesuai kebutuhan siswa.
Tapi, kalau implementasinya nggak pas atau kebijakannya ambigu, dikhawatirkan malah bisa menimbulkan sejumlah masalah.
Misalnya, beban administratif yang terlalu berlipat ganda membuat guru mesti menyusun laporan dan urusan birokrasi yang terlalu menyita waktu luang. Kemudian, adanya ketidakjelasan dan tekanan dalam evaluasi kerja yang berdampak pada metode pengajaran.
Terakhir, ada keterbatasan sumber daya. Kebijakan pendidikan yang oke seharusnya didukung dengan sumber daya yang cukup. Kalau guru kurang akses ke pelatihan, bahan ajar yang bagus, atau dukungan lainnya, bisa susah buat mereka menerapkan prinsip PMM dengan efektif.
Saran Buat Kemendikbud
Jadi, intinya, PMM harusnya jadi pendorong buat kemajuan, bukan malah menambah masalah baru.
Selain itu, hal yang juga perlu digarisbawahi dan sering luput dari perhatian adalah pelaksanaan kebijakan pendidikan bisa beda-beda antara satu daerah dan sekolah dengan yang lain.
Ada guru yang mungkin ngerasa kesulitan dengan PMM, tapi di sisi lain, ada yang justru ngerasa ini bisa jadi dukungan buat meningkatkan kualitas pengajarannya.
Dalam setiap situasi, kerjasama antara guru, sekolah, dan pemerintah itu penting banget. Supaya kebijakan bisa diterapkan dengan efektif dan nggak nambahin beban yang nggak perlu buat guru.
Nah, buat ningkatin kualitas pengajaran serta kesejahteraan guru, Kemendikbud mungkin bisa mempertimbangkan solusi-solusi berikut:
- Memberikan pelatihan serta pengawasan terus-menerus. Pastikan guru-guru dapat pelatihan yang mantap buat ngelakuin kebijakan pendidikan kaya PMM. Pastikan juga guru mendapatkan pengawasan sehingga keterampilan terus berkembang.
- Mengurangi beban administratif dengan tujuan agar guru punya lebih banyak waktu dan tenaga buat fokus ngajar langsung. Jangan koar-koar ‘industri 4.0’ terus, tapi teknologi yang ada tidak dimanfaatkan buat otomatisasi tugas-tugas administratif yang nggak perlu.
- Membiarkan guru menjadi kreatif. Maksudnya, buatlah kebijakan yang berfokus pada kebebasan dan fleksibilitas untuk guru merancang pembelajaran sesuai kebutuhan siswa. Selain itu, akui dan berdayakan guru buat pake metode pengajaran kreatif yang bisa bikin siswa lebih semangat.
- Memastikan standar evaluasi yang jelas dan adil, serta berfokus pada hasil belajar siswa.
- Pengalokasian sumber daya yang mencukupi, termasuk buat pembelajaran online, teknologi, dan bahan ajar kreatif.
- Pastikan kesejahteraan guru, baik secara finansial maupun sosial, dengan ngasih kompensasi yang adil, tunjangan yang memadai, dan dukungan psikologis. Penting juga untuk mendorong lingkungan kerja yang positif biar guru merasa dihargai.
- Libatkan guru dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan pendidikan atau buatlah mekanisme yang memungkinkan guru dapat berpartisipasi dan memberi masukan kepada para pembuat kebijakan.
Semoga dengan langkah-langkah ini, pendidikan di Indonesia bisa makin berkembang dan guru bisa jadi lebih semangat!
Tapi, ya gitu deh, dampak dari PMM atau kebijakan pendidikan tergantung banget sama cara mereka diimplementasikan. Bergantung juga sama bagaimana aturannya diterapin di tingkat sekolah dan daerah. Semoga aja ke depannya bisa lebih baik buat para guru yang udah jadi pahlawan tanpa kenal lelah.
Sebab, fakta menyedihkannya, guru dianggap sebagai superhero yang kerja keras buat anak-anak, tapi masih ada yang kayak “Budak PMM” yang tunduk sama aturan dan kurikulum.
Kurikulum yang ketat, evaluasi kinerja yang bikin pusing, dan tekanan buat capai target ujian, semuanya bisa membuat guru kehilangan kebebasan dan kreativitas.
Dengan kurikulum yang lebih fleksibel, evaluasi yang nggak kebanyakan aturan, dan dukungan yang cukup pasti akan memberi dampak signifikan.
Agar guru bisa terus jadi pahlawan tanpa terlalu dibebani aturan yang bikin kehilangan semangat. Yang penting, tetap semangat mengajar untuk mencerdaskan anak-anak!