Mungkin kita sering mendengar lagu-lagu tema kisah percintaan namun membawa unsur marjinalisasi perempuan. Haa kayak gimana tuh? Seperti menjadikan perempuan sebagai objek pelecehan, sosok yang diduakan, disakiti, dan ditinggalkan. Terlebih yang menyanyikan atau menciptakan lagu tersebut adalah laki-laki.
Sehingga menciptakan kesan bahwa perempuan melulu ditempatkan sebagai simbol seks, direndahkan martabatnya, negatif, pasif, dan tergantung pada laki-laki. Tetapi sebaliknya dengan laki-laki yang penggambarannya selalu kuat, dominan, aktif, tegar, yang wah bangeett deh pokoknya.
Hal ini masih terkait dengan budaya patriarki yang mengakar. Dengan kasus seperti itu, perempuan adalah korban. Namun saking mengakarnya budaya patriarki yang merendahkan perempuan, perempuan bisa merepresi, menindas, atau merendahkan dirinya sendiri. Salah satu contohnya adalah lagu Sang Dewi. Loh kok bisa?
Lagu yang di-remake Lyodra bersama musisi Andi Rianto pada Agustus tahun ini lalu ini sukses memikat banyak pendengar dan menduduki jajaran video trending. Karena kepopulerannya, banyak juga konten di media sosial yang menggunakan lagu ciptaan Titi DJ ini, sebagai pelengkap manis atas video maupun gambar yang diunggah.
Ini bisa terjadi karena ‘Sang Dewi’ memang lagu bagus dan dinyanyikan oleh seseorang yang bersuara bagus pula⸻jebolan juara ajang pencarian bakat.
Namun, kandungan lirik lagu ‘Sang Dewi’ seakan mendukung perempuan ditempatkan sebagai pihak tersubordinasi. Ironisnya lagu ini dinyanyikan dan diciptakan oleh perempuan.
“Wanita mana yang sanggup hidup sendiri“
Pemosisian perempuan sebagai pihak yang tersubordinasi (bahkan juga direpresi) sudah kentara sejak di lirik pembuka. Lirik tersebut seakan mengungkapkan bahwa kelemahan perempuan yang ketika terluka cenderung berujung dengan bunuh diri, hingga akhirnya ditutup dengan kalimat tanya retoris yang berbunyi: “wanita mana yang sanggup hidup sendiri di dunia ini?“
Dengan menempatkan Titi DJ sebagai penyanyi dan kini dilanjutkan oleh Lyodra, seolah penciptaan makna yang terjadi adalah perempuan merepresi dirinya sendiri lewat pengakuan kelemahan dan kerapuhan untuk berdiri sendiri. Perempuan lagi-lagi (masih) ditempatkan sebagai sosok yang keberadaannya bergantung oleh sosok lain.
Bang serius amaat sii ini kan cuma lagu.
Entah mau diakui atau tidak, lirik ini pada dasarnya kembali mengekalkan konstruksi patriarki yang sudah sejak lama dilawan mati-matian.
Hal ini kembali mengingatkan saya pada gagasan yang disampaikan oleh Dorothy Dinnerstein (1977) dalam The Mermaid and the Minotaur: Sexual Arrangements and Human Malaise bahwa bukan hanya laki-laki yang merasa butuh untuk menguasai perempuan, tetapi perempuan sendiri juga merasa butuh untuk dikuasai oleh laki-laki. Atas dasar inilah, konstruksi patriarki atau subordinasi terhadap perempuan tidak melulu terjadi karena represi dari pihak yang merasa superior, namun juga bisa terjadi dari pihak yang sama-sama merasa inferior⸻ada yang ingin melawan, namun di sisi lain ada juga yang ‘meng-iyakan’.
Kau Mampu Terbang Bawa Diriku
Represi dari perempuan, oleh perempuan, dan untuk perempuan kembali berlanjut pada lirik selanjutnya yang berbunyi: “walaupun dirimu tak bersayap, ku akan percaya kau mampu terbang bawa diriku tanpa takut dan ragu.”
Lirik ini mengekspresikan ketakpercayaan terhadap kemampuan sendiri. Sosok sang dewi yang digambarkan sebagai perempuan yang memiliki sayap sendiri justru ‘dipaksa’ untuk bergantung dengan sosok lain yang tidak memiliki sayap.
Ironisnya lagi, sang dewi juga ‘dituntut’ untuk percaya bahwa sosok lain yang tidak bersayap itu akan membawanya terbang tanpa rasa takut dan ragu. Logikanya, benarkah perempuan harus percaya pada sosok lain yang akan membawanya terbang, padahal tidak memiliki sayap?
Walaupun manusia punya sayap itu nggak make sense siih, yaa namanya lagu kan kiasan hehe.
Pola seperti ini membuat saya teringat tentang kalimat klasik hasil konstruksi patriarki yang mengatakan bahwa perempuan itu suwargo nunut, neroko kathut (masuk surga karena ikut sosok lain dan masuk neraka juga karena terseret sosok lain). Agaknya hal seperti inilah yang dimaksud oleh Sigmund Freud (1966) dalam Femininity bahwa perempuan pada dasarnya memang lebih ingin dicintai daripada mencintai.
Sederhananya, menurut Freud perempuan sendiri yang dengan sukarela dan suka menempatkan dirinya sebagai objek daripada subjek. Pandangan seperti inilah yang hendak dilawan oleh pembawa misi kesetaraan, bahwa baik perempuan maupun sosok yang lain memiliki kesempatan dan kemampuan yang sama sebagai manusia yang utuh⸻tidak sekadar menjalani hidup dengan bayang-bayang nunut dan kathut.
“Wanita Seperti Diriku pun Ternyata Mudah Menyerah“
Deskripsi kerapuhan seorang perempuan kian terasa jelas ketika memasuki lirik yang berbunyi: “wanita seperti diriku pun ternyata mudah menyerah“. Jika lirik-lirik sebelumnya ungkapan kerapuhan lebih ditampilkan dalam bentuk ungkapan-ungkapan konotatif, kini akhirnya dihadirkan dengan denotatif lewat frasa mudah menyerah.
Awal lirik yang berbunyi “wanita seperti diriku pun ternyata” mengisyaratkan penegasan tentang yang istimewa (sang dewi). Artinya, jika yang sempurna seperti dewi saja mudah menyerah, maka sudah saatnya (menurut sang dewi) perempuan-perempuan lain mengikuti langkahnya (untuk menyerah).
Senada dengan yang disampaikan oleh Simone de Beauvoir (1959) dalam Brigitte Bardot and The Lolita Syndrome bahwa pada dasarnya belenggu terhadap perempuan tidak hanya bersumber dari anggapan superioritas pria dan inferioritas perempuan, tetapi juga bisa berasal dari ketiadaan dukungan dari sesama perempuan.
Hal ini disampaikan oleh Beauvoir melalui kritiknya atas para penonton perempuan yang cenderung mencibir Brigitte Bardot dengan kalimat “Dia bahkan tidak cantik, wajahnya saja seperti pembantu”. Ironisnya, para perempuan yang merasa ‘kalah’ dengan kecantikan Brigitte Bardot justru hanya melihat jiwa setan di dalam diri Brigitte Bardot, mengabaikan sisi bahwa sejatinya Brigitte Bardot sedang berjuang mati-matian memperjuangkan kebebasan untuk seluruh perempuan.
Sama halnya dengan sang dewi yang seolah mengabaikan perjuangan para perempuan ihwal kesetaraan.
Karena Kau Jadikanku Sang Dewi
Puncak dari represi sang dewi terhadap dirinya sendiri (dan semua perempuan yang disebut dalam liriknya) adalah ungkapan yang berbunyi: “ku takkan kecewa karena kau jadikanku sang dewi“.
Pada akhirnya sebutan sang dewi diperoleh karena ‘dijadikan’ oleh sosok lain, tidak ‘dijadikan’ oleh dirinya sendiri. ‘Sang dewi’ tetaplah dikreasikan sebagai perempuan yang memiliki kebergantungan dengan sosok yang membuatnya tidak akan kecewa gegara telah membawanya terbang tinggi ke taman surgawi.
Jadi, sepakatkah para perempuan dengan lagu ‘Sang Dewi’?