Jujur ya, setelah baca tulisan Alfian Bahri yang judulnya Malaka Project, Beasiswa Bukan Jalan Keluar Persoalan Pendidikan. Ditambah tulisan Ardiansyah yang judulnya Alfian, Malaka Project, dan Pendidikan untuk Semua, saya punya kegelisahan sederhana.
Sehebat apa sih Tan Malaka sampai-sampai namanya dijadikan rujukan buat influencer terkenal macam Ferry Irawan, Jerome Polin, Cania Cita, Coki Pardede dkk buat menghabiskan cuan mereka untuk proyek sosial berbasis pendidikan?
Kenapa sih sosok Tan Malaka selalu diselimuti kabut sampai orang-orang saling berdebat, saling berpolemik, buat mendukung atau mengkoreksi interpretasi tentang pemikiran-pemikirannya?
Lalu, apa yang membuat Tan Malaka begitu spesial bila dibandingkan tokoh-tokoh lain di Indonesia semisal Bung Hatta, Bung Karno, atau Bung Sjahrir?
Perdebatan tentang Tan Malaka Memang Tak akan Pernah Usai
Buat menjawab kegelisahan ini saya mulai maraton dengan menelusuri jejak-jejak digital Tan Malaka di media sosial maupun jejak-jejak literasinya di berbagai buku dan surat kabar.
Ternyata gagasan dan kiprah Tan Malaka memang kontroversial sejak dalam pikiran. Di satu sisi, tokoh yang punya banyak nama samaran ini dipuja bak legenda dan mitos.
Namun di sisi lain, ia juga begitu dibenci. Bahkan diberi label pengkhianat. Khususnya dari pimpinan partai terlarang yang dulu pernah tumbuh besar di Indonesia.
Dari temuan awal ini saja kita seharusnya mafhum, bila setelah kematiannya yang tragis, perdebatan dan kontroversi tentang Tan Malaka tak akan usai.
Wajar sih jika Alfian menggugat Ferry Irawan dkk. Karena mencantumkan nama Malaka dan madilog sebagai background proyek pendidikan, tapi meninggalkan semangat dialektika revolusionernya.
Malahan, para pesohor konten tanah air ini mengandalkan strategi jualan beasiswa, buat solusi kesenjangan dan kekusutan masalah pendidikan. Padahal kita sudah sama-sama tahu, ada banyak konspirasi dan persaingan tidak sehat dalam dunia perbeasiswaan.
Wajar juga bila Ardiansyah “sedikit” memaklumi para founding Malaka Project ini dengan memberikan asumsi: cuma ini kok yang mereka bisa, lagian mereka yang punya project, terserah mereka dong. Duit-duit mereka juga!
Tapi yang harus kita garis bawahi dari polemik dan perdebatan ini, adalah sejauh mana kita akan memperdebatkan isu catut nama dan beasiswa ini?
Memang salah satu cara memperbaiki peradaban ialah dengan mengkritik dan berdialektika. Namun, apakah kita mampu bersikap dewasa untuk mencari satu kesimpulan umum dan membuat sintesis yang disepakati bersama setelah perdebatan panjang ini?
Jika kita mampu bersikap dewasa, maka saya bisa bernafas lega karena perdebatan yang terjadi bukan didasari oleh ego intelektualitas yang ndakik-ndakik.
Tapi memang benar-benar didasari hasrat ingin menciptakan masyarakat baru dan mencari solusi dari permasalahan yang ada.
Magnet Penarik Semua Lapisan
Sadar atau tidak, salah satu kesimpulan umum yang bisa kita sepakati bersama adalah kita sama-sama kagum pada sosok Tan Malaka.
Baik Alfian, Ardiansyah, maupun para penggagas Malaka Project, sama-sama mengidolakan bangsawan dari tanah minang ini.
Kita, dalam kadar yang berbeda-beda, juga sama-sama terpengaruh oleh pikiran dan sepak terjang Tan Malaka sehingga ingin berjuang seperti dirinya.
Walaupun Alfian, Ardiansyah, Ferry Irawan dkk berasal dari kelas sosial berbeda, kita bisa bersatu dalam mengagumi Tan Malaka.
Bahkan ada ilmuwan kondang berkebangsaan Belanda bernama Harry A. Poeze, yang menghabiskan lebih dari separuh hidupnya untuk menelusuri jejak-jejak kehebatan pahlawan yang paling ingin dihilangkan oleh rezim orde baru.
Tan malaka ibarat magnet yang menarik banyak orang dari semua lapisan masyarakat untuk mempelajari, menekuni, mencerna, dan mengembangkan semua hal yang pernah ia lakukan atau pikirkan.
Haters dan Penggunjing
Ibarat pepatah terkenal: “tiada gading yang tak retak,” kehidupan Tan Malaka juga tidak sesempurna yang dibayangkan. Ada kalanya ia ditolak perempuan, disudutkan lawan politik, dibenci, difitnah, dan bahkan dinyinyiri orang lain.
Selain dari para kapitalis birokrat (kabir) dan para cukongnya, tentu haters Tan Malaka datang dari pimpinan partai merah dan terlarang itu.
Tokoh-tokoh central committee seperti Alimin, Musso, dan Aidit menganggap Tan Malaka sebagai pengkhianat yang membuat gagal perlawanan rakyat di tahun 1926-1927.
Walaupun Tan Malaka punya alasan kuat mengapa ia tidak mendukung gerakan rakyat itu, namanya haters tidak mau menerima logika apapun dari orang yang dibencinya. Semuanya hanya ada kebencian dan rasa tidak suka.
Uniknya, selain tokoh-tokoh di atas ada juga cendekiawan cum rohaniawan terkenal yang kedapatan nyinyir pada Tan Malaka, wabil-khusus pada karya terkenalnya, Madilog.
Romo Franz Magnis Suseno di bukunya berjudul Dalam Bayangan Lenin, Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka, menilai Madilog sebagai buku yang biasa-biasa saja dan tidak istimewa.
Bagi Romo Magnis buku Madilog ibarat buku didaktik standar yang berisi ilmu pengantar logika yang sudah banyak beredar di pasaran. Jadi kita tidak perlu menjadikan buku ini lebih spesial dibandingkan buku-buku sejenis di pasaran.
Sayangnya, pendapat ini tidak relevan dan kurang adil. Masa iya, kita mau membandingkan buku yang ditulis di ruang ber-AC dengan ribuan referensi melawan buku yang ditulis di pelarian dengan modal nekad dan kekuatan ingatan semata?
Baca Juga: Mlijo: Panggung Kekuasaan ala Foucault
Warisan Tan Malaka Buat Gen Z
Kritik Alfian pada Malaka Project dan tanggapan positif Ardhianyah, setidaknya punya sisi positif bagi saya sebagai Gen Z.
Dengan adanya polemik ini, setidaknya kita mulai mau membaca-baca ulang karya-karya Tan Malaka. Kita seakan dipacu oleh Alfian dan Ardiansyah, buat berepot-repot ria untuk menelusuri kembali jejak-jejak Tan Malaka yang tersebar di banyak media.
Bila sudah khatam dengan semua konten dan ulasan ringan, kita bisa lanjut buat membuka langsung buku-buku babon yang sudah banyak tersebar di pasaran.
Jika teman-teman Gen Z belum puas, baca ulasan lengkap Harry A Poeze yang berjudul Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 1 sampai 5.
Lalu lanjutkan dengan buku berjudul Dari Penjara ke Penjara, Madilog, Aksi Massa, Semangat Muda, Menuju Republik Indonesia, dan Gerpolek.
Bila lelah dan ingin sedikit romantis, kalian bisa baca roman karya Matu Mona berjudul Pacar Merah Indonesia. Dijamin anda akan suka dan terpengaruh seperti Gus Muhidin M Dahlan dalam menekuni Tan Malaka.
Jika hal-hal itu benar-benar banyak di antara kalian lakukan, maka saya ucapkan selamat buat Alfian, Ardiansyah, dan segenap kru Malaka Project.
Karena telah berhasil menyukseskan program minimum perjuangan. Untuk membentuk masyarakat baru, dengan jalan memperkenalkan warisan Tan Malaka buat generasi muda.
Saya yakin masyarakat baru bisa mulai terbentuk, dengan mencoba mengubah pola hidup dan paradigma para penduduknya.