Sepak Bola Masih Hipokrit Soal Kemanusiaan

Sepak Bola Masih Hipokrit Soal Kemanusiaan

Sepak Bola Memang Selalu Hipokrit untuk Urusan Kemanusiaan
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Sepak bola masih terkesan tebang pilih atas suara dan kelompok mana yang ingin mereka dukung.

Sepak bola bukan sekadar olahraga biasa. Sepak bola bisa menjadi panggung bebas, tempat segala hal bisa dipentaskan. Bahkan bisa menjadi media untuk menyuarakan hal-hal yang selama ini tidak pernah tersuarakan atau bahkan terbungkam. 

Dengan begitu, sepak bola bisa menjadi corong bagi suara kaum terpinggirkan, termarjinalkan, dan teralienasi. Nggak percaya?

Hal ini bisa terlihat ketika kampanye Black Lives Matter muncul sebagai solidaritas kepada warga kulit hitam sekaligus aksi protes kebrutalan polisi, sepak bola ambil bagian. Tulisan Black Lives Matter terpampang di mana-mana, termasuk di jersey belakang beberapa pemain. 

Bahkan sebelum kick-off, para pemain sempat melakukan aksi berlutut sebagai bentuk solidaritas kepada George Floyd, warga Amerika Serikat yang dibunuh oleh polisi. Dan aksi tersebut tetap bertahan sampai sekarang.

Nggak hanya soal Black Lives Matter, sepak bola juga ambil bagian dalam aksi solidaritas kepada Ukraina imbas invasi Rusia pada awal 2022. Sepak bola secara kompak memberikan ruang bagi apapun elemen Ukraina untuk bersuara. 

Para pemain berdarah Ukraina mendapat tempat. Bendera Ukraina dikibarkan di mana-mana. Bahkan beberapa pertandingan amal terselenggara guna membantu Ukraina. Lagi-lagi, sepak bola ikut andil dalam urusan kemanusiaan.

Pilih-pilih Soal Urusan Kemanusiaan

Sayangnya, ketika konflik Palestina-Israel kembali pecah pada Oktober 2023, sepak bola menunjukkan wajah hipokritnya. Terlebih ketika Israel secara brutal membombardir Gaza dan warganya, serta mengebom rumah sakit di sana. Sepak bola terdiam. Tidak ada yang bersuara untuk warga Palestina. Tidak ada yang bersuara untuk kekejaman dan penjajahan Israel. Sepak bola malah bersuara sebaliknya.

Liga Premier Inggris dan beberapa klub Inggris misalnya, malah berada di sisi Israel. Mereka menyebut bahwa apa yang dilakukan Hamas, organisasi militer di Palestina, ketika menyerang Israel adalah tindakan terorisme. 

Mereka seperti tidak melihat gambaran besarnya, dan seperti tutup mata dengan aksi terorisme dan penjajahan Israel selama 75 tahun. SIkap ini juga diikuti oleh beberapa liga sepak bola di Eropa dan klub-klub lain di Eropa. Maka ketika ada suara yang mengatakan sebaliknya—yaitu mendukung Palestina—pembungkaman adalah langkah yang diambil oleh klub dan otoritas liga.

Noussair Mazraoui, pemain bertahan Bayern Muenchen berkebangsaan Maroko, secara gamblang memberikan dukungannya untuk Palestina dan mengatakan bahwa apa yang dilakukan Israel tidak manusiawi. Lalu apa respon Bayern Muenchen? Yap benar. Mazraoui mendapat teguran keras dari Muenchen. 

Noussair Mazraoui mungkin masih beruntung hanya mendapat teguran. Nasib sial malah menimpa Anwar El Ghazi. Pemain dari klub Bundesliga FSV Mainz berdarah Belanda-Maroko itu malah dibekukan oleh klub, karena menyuarakan dukungan kepada Palestina melalui media sosialnya. 

Padahal, El Ghazi baru saja didatangkan Mainz pada September 2023 lalu dari PSV Eindhoven secara bebas transfer. Hal ini membuat El Ghazi bukan hanya tidak bisa bermain untuk Mainz, tapi tidak diperbolehkan berlatih di fasilitas milik Mainz.

Senasib dengan El Ghazi, Youcef Atal juga mendapatkan perlakuan serupa oleh klubnya karena memberikan dukungan kepada Palestina. Pemain bertahan dari klub liga Perancis OGC Nice yang berdarah Aljazair itu, juga dibekukan oleh klubnya. Sama seperti El Ghazi, Atal tidak bisa bermain dan berlatih di fasilitas milik OGC Nice.

Contoh lain adalah Karim Benzema. Kita semua tahu bahwa Benzema adalah pemain yang cukup vokal dalam urusan kemanusiaan, termasuk dengan apa yang menimpa Palestina akhir-akhir ini. Benzema yang memberikan dukungannya kepada Palestina memang tidak mendapat reaksi apa-apa dari klubnya Al-Ittihad. Tapi, Benzema malah mendapat fitnah dari Mendagri Perancis, Gerald Darmanin. 

Darmanin menuduh Benzema punya hubungan dengan kelompok Ikhwanul Muslimin. Tidak hanya itu, Benzema juga dituduh sebagai agen propaganda Hamas. 

Lebih lanjut, Senator Perancis Valerie Boyer juga menuntut agar gelar Ballon d’Or Benzema dicopot, dan kewarganegaraannya dicabut jika tuduhan itu benar. Yaa tentu saja tuduhan itu tidak benar, dan Benzema siap menuntut balik otoritas Perancis akan fitnah tersebut.

Apa yang menimpa Noussair Mazraoui, Anwar El Ghazi, Youcef Atal, dan Karim Benzema adalah bukti bahwa dalam urusan kemanusiaan, sepak bola itu hipokrit, sepak bola itu munafik, berwajah dua! 

Sepak bola memang masih jauh dari kata adil dalam menyikapi urusan kemanusiaan dan suara-suara yang ada di dalamnya. Bahkan sepak bola masih terkesan tebang pilih atas suara dan kelompok mana yang ingin mereka dukung.

Sepak bola selama ini bisa mendukung keadilan untuk kaum-kaum rentan LGBTQ, mendukung gerakan Black Lives Matter untuk melawan diskriminasi rasial, mendukung Ukraina untuk bebas dari invasi Rusia.

Tapi mengapa sepak bola tidak bisa mendukung Palestina, yang dijajah selama 75 tahun oleh Israel untuk merdeka dan bebas dari pembantaian dan kejahatan kemanusiaan? Mengapa ketika dukungan untuk Palestina itu muncul malah dibungkam? Apa itu namanya kalau bukan munafik dan diskriminatif? 

Editor: Mita Berliana
Penulis

Iqbal AR

Penulis lepas alias pengangguran. Kontributor lepas di beberapa media daring seperti Mojok.co., dan KumparanPlus. Rutin makan es krim.

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel