Terkadang kita tidak percaya dengan kemampuan sendiri sehingga timbul keinginan untuk menjadi orang lain. Misal, menjadi orang populer dan terkenal. Padahal, itu adalah salah besar karena kita sejatinya tidak perlu menjadi orang lain untuk disukai banyak orang. Apakah saya sudah terdengar bijak?
Saya masih ingat betul saat SMP, saya naksir seorang gadis. Dia cantik, berambut pendek, dan seingat saya dia memiliki lesung pipit.
Sebagai anak ingusan, saya tentu saja tidak berani mendekatinya. Saya mengatakan pada temen-teman terdekat saya bahwa saya mencintainya. Teman-teman saya, yang juga teman-teman dia, lantas mengatakan pada gadis itu bahwa saya suka padanya.
Saya malu betul, dan tidak pernah berani untuk menatap dia secara langsung. Terkadang, dan kebanyakan karena ketidaksengajaan, kami ngobrol berdua. Obrolan yang kikuk tentunya. Saya kikuk karena saya suka padanya, dan dia kikuk karena tahu saya suka padanya.
Karena kebodohan itulah saya lantas ingin menjadi Rangga saja, orang yang dingin, pandai membuat puisi, dan tentu saja tampan tiada tara. Saya membayangkan dia adalah Cinta, meskipun dia tidak pandai membuat puisi. Kebetulan, seperti Cinta di film AADC, gadis yang saya sukai juga gadis paling cantik di sekolah.
Boleh dibilang saya kala itu tidak memiliki saingan. Selain karena tidak ada siswa lain yang berani mendekatinya, saya waktu itu menjabat sebagai Ketua Osis, siswa paling terkenal di sekolah. Dengan status tersebut, saya ternyata masih tidak percaya diri juga untuk menyatakan rasa saya pada gadis itu.
Baca Juga: Penonton Bioskop Indonesia, Norak!
Dari film AADC saya terdorong untuk menjadi orang lain. Tapi, dari film lainnya saya tercerahkan supaya tidak perlu menjadi orang lain untuk disukai banyak orang.
Ketidakpercayaan pada diri sendiri dan keinginan untuk menjadi orang lain coba diangkat oleh Spike Jonze (sutradara) dan Charlie Kaufman (penulis skenario) dalam film Being John Malkovich. Berkisah tentang Craig, seorang pemain orang-orangan (puppet), yang karyanya tidak pernah diapresiasi orang lain. Setiap hari dia memeragakan permainan puppet-nya di jalanan, dan lewat itulah dia menghasilkan uang.
Dia ingin jadi seniman besar, namun itu dia, karyanya tidak mendapat apresiasi, sehingga sulit baginya untuk memeragakan karya seninya di sebuah panggung besar. Hingga suatu hari Craig menemukan sebuah lubang di dinding kantor.
Bukan lubang sembarangan, sebab lubang itu adalah sebuah portal menuju ke pikiran orang lain. Yang di tuju bukan orang sembarang pula, sebab portal itu langsung menuju ke pikirian John Malkovich, seorang aktor terkenal Hollywood!
Saat masuk ke portal tersebut dan berada di pikiran John Malkovich, kita bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi John Malkovich. Kita bisa merasakan betapa mudahnya berciuman dan tidur dengan seorang gadis jika kita adalah seorang aktor terkenal. Kita juga bisa merasakan sensasi menjadi orang terkenal, dikejar-kejar banyak orang, serta diwawancarai wartawan televisi nasional.
Baca Juga: The Age of Adaline: Merasakan Lelahnya Jadi Awet Muda
Craig mampu menguasai pikiran John Malkovich, sehingga John Malkovich bukan lagi John Malkovich yang dulu, sebab tubuhnya sepenuhnya dalam kendali Craig. Lewat tubuh John Malkovich inilah Craig memperkenalkan permainan puppet-nya. John Malkovich yang berada dalam kendali Craig ini lalu memutuskan pensiun sebagai aktor dan beralih profesi sebagai puppeter.
Craig, melalui tubuh John Malkovich, mulai memeragakan aksinya di panggung besar, dengan ribuan penonton dihadapannya, dan mendapat tepuk tangan begitu riuh dari mereka semua. Itu adalah saat-saat di mana Craig merasa betul-betul diapresiasi sebagai seorang seniman.
Melihat Craig di film ini mengingatkan saya pada diri saya saat SMP dulu, begitu terobsesi untuk menjadi orang lain agar keinginan mendapatkan gadis itu menjadi mudah untuk terkabul. Untunglah itu tidak berlangsung terlalu lama.
Bertahun-tahun kemudian, saat saya baru saja lulus SMA, seorang gadis dari nomor yang tidak dikenal menelpon saya. Dia adalah gadis yang dulu pernah saya sukai. Hampir setiap hari kita teleponan. Kadang saya menelponnya lebih dulu, kadang juga dia yang lebih dulu memulai.
Suatu kali saya mengutarakan padanya, kalau dulu saat SMP saya pernah jatuh hati padanya. Saya menduga dia akan menjawab bahwa dia juga dulu menyukai saya, hanya karena saya yang tidak berani mengungkapkannya lebih dulu maka dia memilih memendam perasaannya.
Dugaan saya keliru. Mendengar saya mengatakan itu, dia hanya tertawa, lalu mengubah topik pembicaraan ke arah lain.
Kejadian ini semakin membuat saya yakin kalau kita tidak perlu menjadi orang lain untuk disukai banyak orang. Sebab dengan cara tersebut, disukai satu orang saja sulitnya minta ampun. Namanya juga ndak suka. Mau bagaimana lagi?