Hanya orang gila saja yang rela membayar banyak untuk disiksa. Begitulah ilustrasi kuliah S3.
Studi doktoral memang begitu berat, terkhusus bagi mereka yang membayar sendiri dan bukan peraih beasiswa penuh. Pasalnya, menempuh jenjang puncak akademik ini sangatlah berbeda dengan fase sebelumnya.
Dibanding S1 dan S2, studi doktoral adalah semesta yang sama sekali lain. Jika disederhanakan, S1 itu dominan deskriptif dan S2 itu deskriptif-analitik.
Sedangkan kuliah doktoral itu, ya deskriptif, ya ilustratif, ya analitik dan kritis, ya mencintaimu bharang, sambil mendalam-meluas, sekaligus abstrak.
Saking ruwetnya, pada satu momen kau akan tiba-tiba melamun sembari merasa hidupmu sepahit empedu. Makna kehadiranmu di bumi ini terasa sempal. Kau seperti dirubung oleh kerumunan pertanyaan eksistensial yang amat menusuk-nusuk layaknya ratusan jarum.
Lho, kok, bisa? Oke, saya ceritakan. Kebetulan saya pemuda mentah yang lagi melakoni studi doktoral. Sekarang ini tengah menapaki masa injury-time di sebuah kampus negeri di Yogyakarta. Dan saya ingin membocorkan sesuatu. Sebuah rahasia yang, ssst, sedikit kotor.
Sini mendekat. Saya bisiki hal-ihwal yang jarang publik ketahui soal studi S3. Oh, ya, tulisan ini saya tujukan untuk mereka yang belum S3 agar bisa menimbang-nimbang apakah mau menjajaki jalan ini atau tidak.
Bagimu yang sudah S3 dan pengalamanmu lancar-lancar saja, sana minggir, husshh, pindah rubrik saja.
Intinya, saya ingin membagi pengalaman calon doktor dan bagaimana mereka menjalani hidup di tengah kepungan tugas plus aneka tantangan berlapis.
Dan ini berasal dari mereka yang bahkan menempuh S3 dengan beasiswa, lho, termasuk saya sendiri. Berikut saya wedarkan secuplik bocorannya.
Dikira Necis, Padahal Mengkis-mengkis dan Terjerat Pinjol
Tidak sedikit yang mengira kalau mahasiswa doktoral itu wow banget. Ada kelebat sosok Fahri dalam film Ayat-Ayat Cinta yang gentayangan di kepala warga +62 ketika membayangkan mahasiswa S3: cerdas, tampan, wangi, mentereng kariernya, dan sangat mantu-able.
Kalau perempuan, ya, minimal imajinasi publik merujuk ke figur Lintang (diperankan Tatjana Saphira) dalam Negeri van Oranje: sudah cantik, anggun, cerdas, kaya pula.
Di gradasi yang berbeda, mungkin ada juga yang merujuk sosok Gita Wirjawan, Bagus Mulyadi, sampai Bu Karlina Supelli yang idola itu.
Imajinasi kolektif masyarakat masih menyangka para mahasiswa S3 itu necis-necis, hidupnya tertata, dan masa depan terjamin.
Padahal, itu hanyalah kenyataan sinetronik yang cuma ada di sudut kepala. Di alam realitas nan kejam ini dunia tidak bekerja semau-karepe ndas-mu!
Banyak sekali dari mahasiswa S3 yang hidupnya kembang kempis. Mengkis-mengkis. Mereka meraba-raba peluang cuan demi menopang hidup dari hari ke hari, bulan demi bulan.
Ada yang nyambi jualan buku online, berdagang pakaian di aplikasi niaga daring, mengisi kaleng gas portable, dan sisanya jumpalitan dari proyek ke proyek hingga terjerat pinjol.
Terkait utang pinjol ini, ada rekan saya yang sampai sekarang terjerat dari berbagai aplikasi hingga dua digit! Hal begini terjadi, selain karena dia tulang punggung keluarga, juga karena keperluan menunjang studi S3-nya sekarang.
Baca Juga: Pinjol ini Membunuhku: Cerita dari ITB
Lihat, kan, bukan cuma pendekatan risetnya saja yang multi-inter-transdisiplin keilmuan (sesuai KKNI Level 9 berdasarkan Perpres No. 8 Th. 2012 untuk lulusan S3), melainkan aplikasi pinjolnya pun “lintas-limit” dan “multi-jenama/merk”, melibatkan berbagai aplikasi penghisap, sekaligus penolong.
Di tengah itu semua, stress akademik terus menggempur, menghantui, serta siap menerkam. Kesejahteraan psikologis kontan terganggu.
Sebuah riset di Belgia, contohnya, menemukan bahwa ada 1:2 mahasiswa doktoral yang mengalami tekanan psikologis, dan 1:3 punya risiko gangguan psikiatris. Riset yang sama juga menunjukkan kalau mahasiswa doktoral lebih rentan memiliki masalah kesehatan mental.
Riset di Amerika juga menyodorkan fakta getir, yakni sebanyak 12% dari 69 responden riset mahasiswa doktoral biomedis mengalami burnout, depresi, dan gangguan cemas.
Terus bagaimana di Indonesia sendiri? Kondisinya tidak lebih baik. Lebih parah bahkan. Contohnya seperti yang lagi ramai soal depresi calon dokter spesialis.
Ya, sepertinya memang deskripsi paling gamblang bagi mahasiswa S3 adalah kaum penganut “masokhisme psikologis”. Individu yang rela—bahkan mungkin menikmati—untuk disiksa, dan bahkan membayar untuk itu.
Kami Itu (Masih) Bodoh, Dul!
Satu lagi stereotipe mayoritas warga terhadap mahasiswa S3, yaitu dikira serba-tahu. Hey, sini, mending kuantar ruqyah dulu. Kami itu masih bodoh, Dul! Dan semakin hari semakin bodoh.
Kalau pinjam terminologi Al-Khalil bin Ahmad, sebagaimana dinukil Al-Ghazali di kitab Ihya’ Ulumiddin, kami tergolong ke tipologi ketiga. Yakni, orang yang tidak mengerti, tapi mengerti kalau dirinya tidak mengerti.
Karenanya, pliss… atuh, jangan tanyakan segala hal pada kami. Kami itu dungu, kok. Beneran.
Kalau ada mahasiswa S3 di sekitarmu yang bisa menjawab segala hal, mending tinggalin aja dia. Orang sepertinya nggak layak diajak nongkrong. Cocoknya ditempelin ke Google aja. Jadi aplikasi atau kumpul kebo sama AI.
Lagipula, mahasiswa S3 itu dibombardir aneka literatur lintas-topik yang cakupannya luas serta mendalam. Sehingga, semakin lama semakin terasa betapa ciutnya mental kami di samudera ilmu pengetahuan.
Per harinya, kami bisa baca 100 halaman lebih, dan semuanya sungguh menjemukan: bahasa ndakik-ndakik bertebaran, kaku, dingin, gelap dan sepi seperti nasibmu, sob.
Singkatnya, meski menekuri puluhan-ratusan referensi nan njelimet bin membosankan itu, tetap saja apa yang kami ketahui sekarang pun bisa saja salah di kemudian hari. Jadi, gausah berharap terlalu banyak. Apalagi menganggap kami serba tahu.
Baca Juga: Mahasiswa, Bukan Mahabisa!
Disorientasi, Krisis Eksistensial, dan Sindrom “Merasa” Paling Menderita
Meski demikian, harus diakui kami termasuk kalangan ber-privilese, mengingat lulusan S3 di Indonesia hanya 0,45 persen. Tetapi, hal ini tidak serta-merta membatalkan penderitaan dan konsekuensi yang kami kenyam.
Saban hari di masa studi akhir S3, tak jarang asam lambung kambuh. Sementara kantong asat, dan mata redup kehilangan semangat.
Teman saya yang terjerat pinjol tadi saja selalu sedia promag dan tepung garut andalan. Rekan yang perempuan—seorang ibu muda—bahkan harus puter otak sebanyak bilangan dzikir demi mengurus anak, sembari menulis dan bimbingan disertasi. Sementara biaya yang dikeluarkan untuk day-care di Yogya mana nggak ngotak pula.
Ada kalanya tiba periode obsesif dan stress tinggi menegang. Imbasnya bisa unik: sabun muka salah taruh ke rambut, kunci motor salah masukin ke motor orang lain, atau berkendara melamun sampai kosan malah bablas.
Bahkan pada momen ibadah salat saja, otak lepas kontrol dan membatin, “Wah, sub-bab ini kayaknya bisa dipindah ke bagian sini, deh, lalu yang itu dihapus, dimodifikasi, dan disusupkan referensi yang dulu itu.” Lihat, kan, ibadah sampai keganggu, lho, lurr. Dan masih berlimpah kisah ganjil sejenis.
Pada fase itu, tatapan kosong adalah pemandangan wajar. Kami hilang arah. Dan kerap terjangkit sindrom “si paling menderita”.
Sesekali, mencuat letupan bisik sambil kethap-kethip nyawang plafon di kamar, “sebenarnya untuk apa semua ini, njeeenk?!” Mana kalau lulus nggak ada jaminan, apalagi kalau nggak punya orang dalam—eh.
Dalam hal tuntutan pun, disuruh nulis paper seabrek, tetapi hasilnya berbanding terbalik dengan apresiasi yang cuma seiris upil.
Yang tersisa hanya rasa jumawa semu di 3-7 hari pertama pasca-terbit jurnal, yang toh tidak mengenyangkan. Percuma kenyang gengsi, tapi perut krucuk-krucuk.
Kami pun sering terbesit: kenapa semua itu begitu berat, hanya demi ijazah dan “toga” (yang kata dosen saya adalah singkatan dari “tolol tapi gaya”). Hadeuh.
Jadi, buat kalian yang mau lanjut S3, pikirkan matang-matang dulu. Kalau masih ngotot, silakan. Tapi, usahakan beasiswa, ya.
Jangan lupa siapkan promag, tepung garut, dan lima akun medsos palsu: jaga-jaga buat maido-hasanah (bukan mauidloh) dan muntahin emosimu di sana.