Sediksi – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina pada awal November 2023, sebagai bentuk sikap menentang serangan Israel di wilayah Gaza, Palestina.
Dari fatwa tersebut, MUI mengeluarkan ketentuan hukum yaitu mendukung agresi Israel maupun pihak yang mendukung Israel, baik langsung maupun tidak langsung hukumnya haram.
Selain itu, MUI mengimbau masyarakat Indonesia, terkhusus umat Islam, agar semaksimal mungkin menghindari konsumsi produk yang terafiliasi dengan Israel maupun negara yang mendukungnya.
MUI berkeyakinan bahwa Fatwa Nomor 83 tahun 2023 telah sejalan dengan sikap Pemerintah Indonesia.
Muncul kerancuan di publik terkait fatwa MUI
Sementara itu, publik mulai menjadikan fatwa MUI sebagai alasan menyeleksi produk-produk yang ada di pasaran untuk diboikot karena diduga terkait dengan Israel.
Di antara pendapat pro dan kontra, beberapa pihak mengaitkan fatwa MUI untuk menghindari produk terafiliasi Israel dengan status kehalalan produk yang telah mendapat sertifikasi.
Muncul kerancuan, karena kesan yang ditangkap publik setelah fatwa diumumkan yaitu MUI mengharamkan produk-produk yang terafiliasi dengan Israel.
Namun, asumsi tersebut telah dibantah melalui pernyataan Sekretaris Komisi Fatwa MUI Miftahul Huda.
Menurut Miftahul, dalam Fatwa MUI Nomor 83 tahun 2023 yang diharamkan adalah aktivitas atau perbuatan mendukung Israel, bukan zat dari produk yang dianggap terkait Israel.
“Jadi, misalnya produk itu sudah bersertifikat halal, maka kita tidak berhak untuk mencabutnya. Karena sistem sertifikasi halal sudah melibatkan banyak pihak,” papar Miftahul, Rabu, 15 November 2023.
Perbedaan fatwa halal MUI dengan sertifikasi produk halal
Walaupun MUI berwenang mengeluarkan fatwa halal, namun penerbitan sertifikasi produk halal tidak lagi dilakukan oleh MUI berdasarkan peraturan pemerintah yang berlaku sejak tahun 2017.
MUI merupakan organisasi masyarakat yang menjadi wadah para ulama, pemimpin organisasi, dan cendikiawan Islam mengeluarkan fatwa setelah melakukan ijtihad dan kajian berdasarkan hukum Islam atau syariat.
Fatwa yang dikeluarkan MUI bermacam-macam seperti tentang aqidah dan aliran keagamaan, isu sosial-kemasyarakatan, isu budaya, hingga mengenai kehalalan produk obat dan makanan.
Tetapi, khusus terkait fatwa produk halal, MUI bekerjasama dengan pihak-pihak lain untuk memastikan kehalalan suatu produk.
Siapa yang berwenang memberikan sertifikasi halal di Indonesia?
Pihak lain yang terlibat untuk mengesahkan dan mengeluarkan sertifikat produk halal bersama MUI yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
BPJPH yang berada di bawah Kementerian Agama merupakan lembaga yang saat ini berwenang untuk mengeluarkan sertifikat halal dan label halal untuk produk-produk di Indonesia.
Sedangkan MUI berperan memberikan fatwa produk halal, setelah melalui pengujian kehalalan produk oleh LPH dan mendapat pertimbangan dari BPJPH.
Ketentuan tersebut diatur melalui Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Peran MUI untuk memberikan fatwa kehalalan sebuah produk melalui sidang fatwa halal MUI juga tercantum di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
Produk apa saja yang perlu mendapat sertifikasi halal?
Berdasarkan PP No. 39/2021, produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal.
Bagi produsen yang menggunakan bahan dan proses tidak halal, wajib mencantumkan label tidak halal pada kemasan produknya.
Selain itu, peraturan pemerintah mengatur sertifikasi halal berlaku untuk produk barang maupun jasa.
Berdasarkan pasal 135 PP No. 39/2021, produk barang yang wajib mendapat sertifikasi halal antara lain:
- Makanan
- Minuman
- Obat
- Kosmetik
- Produk kimiawi
- Produk biologi
- Produk rekayasa genetik
- Barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan
Sedangkan layanan usaha yang menawarkan produk jasa dan wajib mendapat sertifikasi halal dari BPJPH meliputi:
- Usaha penyembelihan
- Usaha pengolahan
- Usaha penyimpanan
- Usaha pengemasan
- Usaha pendistribusian
- Usaha penjualan
- Usaha penyajian
Pemerintah kini tengah menargetkan untuk melakukan percepatan sertifikasi halal hingga 17 Oktober 2024 mendatang.
Utamanya untuk produk makan, minum, hasil penyembelihan, dan jasa penyembelihan.
BPJPH menerbitkan sertifikat produk halal yang berlaku selama empat tahun.
Pengusaha atau produsen wajib memperbarui sertifikat halal produknya maksimal tiga bulan setelah masa kedaluarsa.