Pro-Kontra Presidential Threshold yang Berkali-Kali Diuji ke MK

Pro-Kontra Presidential Threshold yang Berkali-Kali Diuji ke MK

presidential threshold berulang kali diuji ke Mahkamah Konstitusi

DAFTAR ISI

Sediksi – Pro-kontra penerapan presidential threshold pengajuan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) membuat UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (pemilu) berulang kali diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut ketentuan di pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017, pasangan capres-cawapres diusung oleh parpol maupun gabungan partai politik (parpol) yang menguasai minimal 20 persen dari keseluruhan kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah secara nasional di pemilu DPR sebelumnya.

Berbagai elemen masyarakat mengajukan judicial review terutama pasal 222 tentang syarat pencalonan presiden oleh parpol atau gabungan parpol.

Sampai tahun 2022, MK menerima 14 permohonan uji materi pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017.

Permohonan ke MK diantaranya meminta MK memutuskan pasal 222 bertentangan dengan UUD 1945 karena dianggap menghambat hak warga untuk mencalonkan diri sebagai capres, terutama bagi calon independen non-partai.

Permohonan lainnya menghendaki agar MK menurunkan ambang batas syarat pencalonan presiden untuk parpol dari yang awalnya memiliki minimal 20 persen kursi di DPR menjadi 0 persen.

Tujuan penetapan zero presidential threshold yaitu agar setiap parpol yang telah lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai peserta pemilu bisa mengusung calonnya masing-masing di pemilihan presiden (pilpres).

Namun, MK berkali-kali memutuskan menolak permohonan uji materi pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017.

MK menyatakan penetapan ketentuan ambang batas yang menjadi syarat bagi parpol boleh mengusung pasangan capres-cawapres merupakan open legal policy.

Artinya MK mengembalikan keputusan terkait presidential threshold kepada pembentuk undang-undang yaitu DPR dan pemerintah.

Persentase presidential threshold terlalu tinggi

Beberapa pihak menilai ketentuan ambang batas pencalonan pasangan capres-cawapres di Indonesia terlalu tinggi.

Jika melihat 3 pemilihan legislatif (pileg) terakhir, ketentuan tersebut menyulitkan parpol-parpol untuk berkompetisi.

Di pileg 2009, Partai Demokrat menjadi satu-satunya partai yang lolos ketentuan presidential threshold 20 persen dengan persentase perolehan kursi DPR sebesar 26,43 persen.

Sedangkan di pileg 2014, tidak ada parpol yang lolos syarat presidential threshold.

Hasilnya parpol pada pemilu 2014 melakukan koalisi dan hanya ada dua pasangan capres-cawapres yang maju ke pilpres 2014.

Di pileg 2019, hanya PDIP yang memenuhi persentase 20 persen kepemilikan kursi di DPR dengan perolehan sebesar 22,3 persen.

Sebagian parpol di DPR kini berlomba membentuk koalisi untuk mengusung capres-cawapres menjelang pembukaan pendaftaran pasangan capres-cawapres KPU pada tanggal 10 Oktober 2023.     

Pendapat pro presidential threshold

Walaupun banyak yang mengkritik, ada beberapa pendapat yang cenderung pro Presidential threshold.

Presidential threshold didukung karena dianggap menciptakan pemilu yang lebih efisien.

Dengan syarat ambang batas pencalonan yang ada, kandidat capres-cawapres yang berkompetisi di pilpres diperkirakan tidak akan terlalu banyak.

Kondisi tersebut diharapkan mendorong salah satu calon mendapat suara lebih dari 50 persen sehingga mengurangi potensi pilpres berlangsung dua putaran.

Ada kehawatiran jika pasangan capres-cawapres yang maju terlalu banyak, tetapi calon yang diusung tidak mumpuni justru hanya akan menurunkan kualitas pelaksanaan pemilu.

Presidential threshold juga diharapkan mampu mendorong parpol bekerja sama mengusulkan calon-calon yang memang punya gagasan dan memiliki elektabilitas di masyarakat.

Koalisi antar parpol sejak awal pencalonan diasumsikan meminimalisir koalisi berdasarkan kepentingan transaksional bagi-bagi kekuasaan sehingga gabungan parpol bisa memiliki agenda dan program kerja bersama capres-cawapres yang diusung.

Pendapat kontra presidential threshold

Pihak yang kontra dengan ketentuan presidential threshold menganggap persyaratan tersebut dibuat hanya untuk melanggengkan parpol besar yang sudah dari awal bercokol di Senayan.

Parpol besar diperkirakan hanya akan menjagokan elit-elitnya yang lawas.

Pendapat yang kontra menilai presidential threshold sudah tidak relevan untuk pemilu serentak.

Terutama karena presidential threshold yang digunakan mengacu hasil pileg periode sebelumnya.  

Selain itu, presidential threshold dikritik karena dianggap membatasi munculnya calon-calon alternatif lain yang lebih berpotensi dan memiliki pengalaman baik.

Parpol juga kesulitan untuk mengusung kadernya karena terjegal diawal, sebab parpol pengusung harus punya 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah di pileg sebelumnya.

Selain ketidaksetaraan kompetisi yang timbul antar parpol, presidential threshold dianggap merugikan masyarakat.

Akibat presidential threshold, pilihan kandidat capres-cawapres menjadi sangat terbatas.

Calon yang dianggap kompeten oleh masyarakat justru tidak diajukan oleh koalisi hanya karena parpol pengusulnya kalah posisi tawar (bargain) di koalisi.

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-artikel-retargeting-pixel