Sediksi – Beberapa waktu terakhir, publik dihebohkan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan pandangannya terkait penyerangan brutal yang dilakukan Israel di Gaza, Palestina.
Fatwa MUI tersebut ikut merekomendasikan agar masyarakat Indonesia tidak mendukung agresi yang dilakukan Israel dengan cara menghindari membeli produk-produk terafiliasi Israel.
Bahkan, MUI melalui Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) MUI Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Ikhsan Abdullah sempat membuka kemungkinan adanya pencabutan sertifikasi halal.
“Semua produk yang masuk apalagi dari luar dan beredar di Indonesia ini wajib bersertifikat halal. Bukan berarti produk tersebut haram,” ujar Ikhsan dilansir dari Liputan6, Rabu, 15 November 2023.
Menurut Ikhsan, sebuah produk tidak bisa beredar untuk dijual di Indonesia tanpa adanya sertifikasi halal.
“Dicabut sertifikasi halalnya dengan diharamkan itu beda. Dicabut sertifikasi halalnya itu belum tentu haram,” kata Ikhsan.
Sebenarnya, bagaimana peran MUI dalam memberikan sertifikasi halal sebuah produk?
Jawabannya terkait dengan sejarah sertifikasi halal di Indonesia.
Diawali dengan label babi merah
Pemerintah Indonesia mulai mengatur mengenai ketentuan kehalalan produk pada tahun 1976.
Tetapi, saat itu pemerintah belum menggunakan label halal.
Pemerintah mewajibkan produsen makanan dan minuman yang mengandung unsur babi agar mencetak label bergambar seekor babi di kemasan produknya.
Label babi tersebut dicetak dengan garis berwarna merah di atas dasar putih dan diikuti tulisan keterangan “Mengandung Babi”.
Peraturan tersebut diatur oleh Menteri Kesehatan Gerrit Augustinus Siwabessy lewat Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 280 tahun 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang Mengandung Bahan Berasal dari Babi.
Untuk pelaksanaan pengawasannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM).
Ketentuan pencantuman peringatan bahan mengandung unsur babi ini masih berlaku hingga sekarang.
Badan POM juga mewajibkan produsen pangan olahan untuk mencantumkan peringatan apabila sebuah produk dalam proses pembuatannya bersinggungan dan/atau menggunakan fasilitas bersama dengan bahan bersumber babi.
Produsen secara mandiri diminta mencantumkan label halal
Penggunaan label halal baru dilakukan pada tahun 1985 melalui keputusan bersama antara Menteri Kesehatan Suwardjono Surjaningrat dengan Menteri Agama Munawir Sjadzali.
Peraturan tersebut meminta produsen makanan dan minuman secara mandiri mencantumkan label halal pada kemasan produknya.
Perusahaan produsen makanan dan minuman boleh memasang label halal setelah membuat laporan komposisi dan pengolahan produk ke Departemen Kesehatan.
Kasus minyak babi tahun 1988
Indonesia kemudian sempat dihebohkan dengan kasus temuan makanan dan minuman mengandung minyak babi pada tahun 1988.
Kasus tersebut mencuat setelah seorang akademisi dari Universitas Brawijaya Malang, Tri Susanto mempublikasi hasil penelitiannya mengenai kandungan lemak babi pada sejumlah makanan yang beredar di Indonesia.
Penelitiannya dimuat di jurnal dan tersebar melalui pemberitaan sehingga mendapat perhatian masyarakat luas.
Masyarakat kemudian mulai heboh sebab penelitian Tri Susanto menemukan minyak babi pada sejumlah makanan dan minuman seperti susu, cokelat, es krim, biskuit, hingga kecap.
Keributan tersebut bahkan sempat menyebabkan produsen makanan dan minuman mengalami kerugian karena menurunnya kepercayaan masyarakat.
Pemerintah saat itu memutuskan untuk memberikan kewenangan kepada MUI melakukan sertifikasi halal dengan membentuk lembaga pemeriksa kehalalan produk.
Saat itu MUI telah dikenal sebagai organisasi masyarakat tempat berkumpulnya ulama, pemimpin organisasi Islam, serta cendikiawan Islam, sehingga dianggap mempunyai ilmu mengenai ketentuan haram dan halal sesuai syariat atau hukum Islam.
Dengan adanya kewenangan yang diberikan pemerintah, MUI lantas membentuk Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI pada tahun 1989.
Sejak saat itu, LPPOM MUI bertindak sebagai lembaga yang melakukan pengujian kehalalan produk.
Sedangkan MUI berperan untuk menerbitkan sertifikasi halal untuk produk-produk di Indonesia.
Label halal MUI
MUI juga memberikan label halal kepada produsen makanan maupun minuman.
Label halal MUI dapat ditemukan di berbagai produk pangan maupun minuman dengan logo bulatan hijau dan kaligrafi bertuliskan halal.
Pendaftaran dan pemeriksaan kehalalan oleh MUI untuk mendapat sertifikasi bersifat sukarela.
Ada juga produsen yang mencantumkan logo halal, namun tidak melalui sertifikasi dari MUI.
Mereka memberikan logo tersebut secara mandiri, setelah produknya diuji oleh Badan POM.
Namun kewenangan MUI untuk menerbitkan sertifikasi halal berubah di tahun 2014, ketika pemerintah bersama DPR mengesahkan Undang-Undang No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal.
MUI berhak mengeluarkan fatwa, BPJPH yang terbitkan sertifikat
Melalui peraturan pemerintah tentang jaminan produk halal, pemerintah mewajibkan sertifikasi halal sebagai syarat produk bisa diperjual-belikan di Indonesia.
Kewenangan MUI juga berubah.
Kini MUI tidak lagi bekerja sendiri untuk menerbitkan sertifikasi halal produk.
Pemerintah memutuskan membentuk lembaga khusus untuk menerbitkan sertifikasi halal yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berada di bawah Kementerian Agama.
Untuk pemeriksaan kehalalan produk, pemerintah memberi wewenang pada Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang telah melalui audit.
Sementara, MUI masih dilibatkan dalam proses sertifikasi halal, yaitu sebagai pihak yang mengeluarkan fatwa halal atau haram sebuah produk.
Logo halal gunungan
BPJPH sebagai lembaga yang berwenang untuk menerbitkan sertifikasi halal per tahun 2017 mulai melakukan beberapa penyesuaian.
Selain menyosialisasikan sertifikasi halal sebagai ketentuan wajib, BPJPH juga menerbitkan logo halal baru untuk digunakan pada kemasan produk.
Logo baru tersebut mulai diperkenalkan ke publik dan resmi digunakan pada tahun 2022.
Bentuk logo halal gunungan khas BPJPH berupa tulisan kaligrafi berjenis khat kufi berwarna ungu.
Tulisan tersebut jika dibaca yaitu kata halal dengan huruf hijaiyah ha, lam alif, dan lam dalam satu rangkaian.
Logo halal gunungan juga disertai tulisan “Halal Indonesia” yang dalam penggunaannya tidak boleh dipisahkan.
Saat ini, beberapa produk pangan dan minuman sudah mulai menggunakan logo halal gunungan yang dikeluarkan BPJPH sebagai tanda bahwa produk tersebut telah memiliki sertifikasi halal di Indonesia.