Dengan meningkatnya ketidaksetaraan dan diskriminasi berbasis air, keadilan terhadap akses air menjadi semakin mendesak. Bagaimana tidak, air merupakan kebutuhan yang digunakan sehari-hari.
Bertambahnya industri, perkebunan, perkembangan kota-kota besar, agribisnis dan pertambangan mengklaim bagian yang semakin besar dari cadangan air permukaan dan air tanah yang tersedia.
Perebutan air dan polusi pada akhirnya menghasilkan kemiskinan dan berpeluang membahayakan ekosistem. Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, air akan menimbulkan potensi konflik di tingkatan masyarakat jika terjadi krisis.
Apalagi air bersih merupakan suatu kebutuhan utama bagi manusia, ketersediaan harus tetap terjamin dalam waktu, kuantitas dan kualitasnya.
Kebutuhan akan air bersih ini bisa menjadi masalah di berbagai negara, terutama negara dengan jumlah penduduk yang tinggi. Permasalahan krisis air bersih muncul karena permintaan tidak bisa diimbangi oleh persediaan.
Permintaan yang terus bertambah sedangkan persediaan air yang memang terbatas cenderung berkurang karena berkurangnya debit sumber air baku, seperti mata air, danau, sungai dan air tanah akibat dari degradasi lingkungan.
Dasar Hukum Keadilan Air
Mengutip paper dengan judul Hak Atas Air dalam Konstitusi Negara dan Pengelolaannya di Indonesia oleh Wiwik Harjanti, Indonesia sebagai negara berbentuk republik harus memantapkan isi republik menurut hakekat pengertian asalnya, yakni res republica yang artinya untuk kepentingan umum.
Hak atas air di Indonesia sendiri dijamin oleh konstitusi dan negara wajib memenuhinya. Ketentuan mengenai jaminan hak atas air bagi seluruh rakyat ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yakni penguasaan negara terhadap air sebagai kekayaan alam yang bersifat nasional untuk pemenuhan kesejahteraan rakyat.
Hak atas air sendiri merupakan hak asasi yang bukan datang dari negara. Konteks ekologis tertentu dari eksistensi manusialah yang memunculkan hak atas air.
Karena itulah hadirnya negara dalam pengelolaan air sebagai wujud hak menguasai yang terdapat dalam pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Aturan ini merupakan bentuk perlindungan hak-hak asasi agar terjaga dan terjamin bagi seluruh rakyat, yang tidak dapat dihilangkan oleh siapapun karena hak atas air merupakan hak yang bersifat kodrati.
Dampak Privatisasi Air
Seiring perkembangan zaman, di Dunia tak terkecuali di Indonesia, petumbuhan ekonomi kapitalisme telah menciptakan komodifikasi pada barang-barang yang digunakan oleh banyak orang seperti bibit, gen, kesehatan, budaya, pendidikan, bahkan air.
Mengutip jurnal berjudul, Dampak Privatisasi Terhadap Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Air dalam Perspektif Hukum Islam oleh Ardiansyah, dalam dimensi ekonomi, beberapa orang berpendapat bahwa air adalah komoditas, yang secara jelas dapat diperjualbelikan, dipertukarkan dan menghasilkan keuntungan.
Komodifikasi merupakan transformasi status dari barang milik bersama yang mana alokasi dan penggunaannya ditentukan oleh prinsip kebersamaan, keputusan demokrasi serta hak-hak publik, yang akhirnya menjadi barang-barang yang dimiliki oleh perorangan atau badan swasta. Ini berarti suatu barang kemudian digunakan untuk menciptakan keuntungan pribadi daripada nilai manfaatnya.
Sejak air dipandang sebagai barang ekonomi inilah muncul mekanisme pasar yang menentukan dan menciptakan keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan. Sejalan dengan era kapitalisme global, muncul gerakan besar dari sektor swasta untuk melakukan hubungan dengan pemerintah baik di level lokal maupun nasional dalam rangka privatisasi air.
Privatisasi atau swastaisasi dalam pengelolaan sumberdaya air diartikan pengusahaan sumberdaya air dengan melibatkan swasta dan atau perorangan dengan tujuan mendapat modal, teknologi, efisiensi dalam pelayanan jasa air atau pemanfaatan potensi sumberdaya air.
Privatisasi air selalu identik dengan kenaikan tarif dan mekanisme pasar, di mana air “mengalir kepada yang mampu secara ekonomi”. Sejalan dengan hal ini menurut laporan Bank Dunia bahwa yang mengalami kesulitan mendapatkan air bersih adalah masyarakat miskin, utamanya yang berada di daerah pedesaan.
Industri Ekstraktif
Perambahan wilayah perairan oleh industri ekstraktif memberikan gambaran lain, contoh dari ketidakadilan atas akses air. Di banyak bagian dunia ini, perusahaan pertambangan memanfaatkan air di tangkapan air hulu sehingga mengalihkan dan mencemari aliran hilir yang mana kebanyakan petani, masyarakat adat dan kadang-kadang seluruh kota bergantung.
Dikutip dari jurnal Water Justice, oleh Rutgerd Boelens, Jeroen Vos dan Tom Perreault, di dataran tinggi Negara-negara Andes, misalnya, perusahaan pertambangan di sana membeli hak atas air dan memperoleh kendali de facto atas sumber daya air.
Situasi ini terkadang menimbulkan konflik. Ini terjadi karena banyak pihak saling berupaya memperoleh akses atas air.
Baca Juga: Kami Tak Mau Jadi Petani Bukan Karena Gengsi
Di Indonesia sendiri, dampak dari industri ekstraktif terhadap ketersediaan air sangat terasa. Laporan Tempo di Muang Dalam, sebuah wilayah yang terletak di Lempake, Samarinda Utara, saat ini dihadapkan pada ancaman serius dari kegiatan tambang ilegal.
Praktik tambang ilegal ini memiliki dampak yang merugikan bagi lingkungan dan masayrakatat setempat. Sejak tahun 2020, semenjak pertambangan ilegal masuk ke desa mereka, perlahan senyum para masyarakat Muang Dalam perlahan mulai hilang.
Tambang ilegal memang telah menjadi masalah serius di Indonesia, terutama di daerah-daerah dengan potensi sumber daya alam yang melimpah.
Muang Dalam salah satunya merupakan daerah yang memiliki kekayaan alam yang melimpah terutama dalam hal sumber daya mineral. Akan tetapi, kekayaan alam ini telah dimanfaatkan secara illegal oleh sekelompok individu yang tidak memperdulikan dampak negatifnya.
Dari laporan Tempo, pertambangan ilegal memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat di Muang Dalam, salah satunya pencemaran air. Pertambangan yang tidak terkendali menghasilkan limbah beracun dan dibuang secara langsung ke sungai serta sumber air tanpa perlakuan yang memadai.
Akibatnya, air jadi tercemar dan kualitasnya memburuk serta mengancam kesehatan manusia di sekitar dan lingkungan. Penduduk setempat yang mengandalkan sumber air tersebut terutama ibu-ibu untuk keperluan sehari-hari terpaksa menggunakan air yang terkontaminasi, sehingga meningkatkan risiko terkena penyakit dan kondisi kesehatan yang buruk.