Ingatan saya masih sangat jelas tentang apa yang terjadi pada 1 Oktober 2022. Tepat satu tahun lalu. Betapa kesalnya saya ketika mengetahui tim yang saat itu saya dukung, Arema FC kalah dari rivalnya, Persebaya di Stadion Kanjuruhan.
Selepas wasit meniup peluit panjang, TV langsung saya matikan, medsos juga langsung saya tutup. Saya masih kesal, saya masih emosi. Saya butuh menenangkan diri.
Tapi tak lama, banyak sekali notifikasi dari beberapa kawan di gawai saya. Semua notifikasi mengabarkan hal yang sama: Kanjuruhan chaos, polisi menembakkan gas air mata, dan sudah ada beberapa korban jiwa.
Saya mencari beberapa informasi di media sosial. Beredar kabar mengenai jiwa-jiwa yang terenggut oleh kebiadaban apparat, yang dengan bodohnya menembakkan gas air mata ke arah tribun.
Malam itu, korban jiwa terus bertambah. Mula-mula 10, 20, lalu menjadi 50, 70, hingga akhirnya melampaui 135 lebih korban jiwa. Sebagian di antaranya adalah anak-anak.
Hati saya teriris, dan sudah tidak peduli lagi dengan kekalaha Arema FC dari Persebaya.
Hari-hari Pasca 1 Oktober 2022 itu Kelam Belaka
Saya memang bukan korban Tragedi Kanjuruhan. Saya juga tidak punya kerabat atau teman dekat yang jadi korban jiwa. Namun, semua jiwa-jiwa yang terenggut di Kanjuruhan, mereka adalah manusia.
Bagaimanapun juga mereka adalah saudara saya, sesama manusia. Mereka adalah adik dan kakak saya sesama manusia. Mereka adalah manusia, yang nyawanya tak bisa direnggut seenaknya saja!
Sejak 1 Oktober 2022, perhatian saya berganti total. Persetan dengan sepak bola, persetan dengan Arema FC.
Beberapa diskusi dan advokasi yang membahas langkah-langkah memperoleh keadilan bagi keluarga korban saya ikuti. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Solidaritas.
Saya memantau diskusi di Mata Najwa. Memantau beberapa diskusi lain di TV. Ikut dan urun pendapat ketika ada diskusi di Twitter Space, hadir dalam diskusi dan advokasi yang diadakan oleh beberapa lembaga di Malang. Semua yang berkaitan dengan topik ini, saya ikuti.
Dan tidak henti-hentinya menyebarkan unggahan soal perjuangan para keluarga korban memperoleh keadilan. Hal ini juga agar mendorong semua stakeholder, mulai dari level federasi (PSSI), PT. Liga Indonesia Baru (LIB), Manajemen Arema FC, Aremania, bahkan sampai level Presiden untuk ikut berjuang.
Hasilnya? Seperti kita tahu, sangat mengecewakan!
Kalau diingat, diskusi di Mata Najwa hanya mempertontonkan kebodohan sikap dari Aremania. Ketika ada kelompok suporter lain, termasuk suporter rival yang ingin membantu, Aremania malah mengatatakan, “biarkan kami selesaikan masalah kami sendiri,”
Congkak dan bodoh! Tak heran jika misi memperoleh dan memperjuangkan keadilan menjadi sangat susah.
Mendesak para stakeholder juga tak berbuah apa-apa. PSSI tak bergeming. Mereka hanya bikin janji palsu.
Harapan sempat muncul ketika Erick Thohir jadi Ketua Umum PSSI. Tapi harapan itu terbang melayang, mengingat Erick Thohir nyatanya juga terlihat tak peduli.
PT. LIB juga membisu, hanya menghukum Arema FC berlaga di luar Malang dan tanpa penonton. Arema FC dan Aremania juga diam saja seperti orang dungu.
Pengadilan? Ah, Panpel Arema FC dan komandan polisi yang memerintahkan untuk menembakkan gas air mata aja hanya dihukum ringan, kok.
Perjuangan ini nyaris tak dapat dukungan.
Keluarga korban, bersama Arek-arek Malang yang masih punya hati nurani seakan berjuang sendiri. Tak ada bantuan, tak ada dukungan, hanya keluarga korban dan Arek-arek Malang yang berjalan beriringan.
Perjuangan tak boleh berhenti, meski tak ada siapapun yang mendampingi. Kanjuruhan harus tetap digaungkan, keadilan harus tetap diperjuangkan.
Aksi Long March 29 Januari 2023
Tanggal tersebut menjadi penanda semakin terasingnya para keluarga korban. Arek-arek Malang mengadakan aksi long march yang berakhir di depan kantor Arema FC di Jl. Mayjend Pandjaitan no. 42.
Namun, pihak Arema FC “menyewa preman-preman” untuk menghadang Arek-arek Malang. Sayang, aksi ini berakhir chaos, yang berimbas dengan rusaknya bagian depan kantor Arema FC.
Sialnya, aksi hari itu berbuntung panjang dengan diciduknya beberapa kawan. Beberapa dari mereka akhirnya dibebaskan, dan 8 orang sisanya dijadikan terdakwa.
Nama Ambon Fanda, tokoh suporter yang selama ini berdiri bersama keluarga korban tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu terdakwa.
Pelapornya? Ya, Arema FC. Manajemen Arema FC lah yang melaporkan 8 orang ini hingga akhirnya jadi terdakwa.
Perjuangan ini mulai terlihat semakin jelas. Siapa yang peduli dengan keadilan bagi keluarga korban dan kemanusiaan, siapa yang abai dan merasa persetan dengan keluarga korban dan kemanusiaan.
Barisan Arek-Arek Malang punya sikap jelas. Mereka berdiri bersama keluarga korban, tetap memperjuangkan keadilan, apapun yang terjadi.
Arema FC, Aremania, PSSI, bahkan negara, jelas abai dan tidak peduli. Terlihat dari sikap dan keputusan mereka selama ini yang sama sekali tidak pernah berpihak pada keluarga korban.
1 Oktober 2023 adalah Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan
Sudah satu tahun pula para keluarga korban berjuang memperoleh keadilan. Sudah satu tahun keluarga korban bersuara di berbagai tempat, meminta dan memperjuangkan keadilan untuk anak, ibu, ayah, atau saudara mereka yang dibunuh.
Dan sudah satu tahun suara mereka dianggap seperti angin lalu, tak didengar, dan tak dipedulikan.
Ini adalah satu tahun yang berat. Satu tahun yang penuh air mata, penuh sakit hati, dan satu tahun yang menodai kemanusiaan.
Arema FC, Aremania, PSSI, dan negara hanya menganggap 135 lebih nyawa yang hilang hanya sebagai angka belaka.
Sementara itu, barisan Arek-arek Malang dan keluarga korban menganggap bahwa 135 lebih nyawa yang hilang adalah catatan hitam dalam sejarah kemanusiaan Indonesia, yang harus diperjuangkan keadilannya.
Kini, sepak bola sudah bergulir kembali. Stadion sudah mulai penuh. Kompetisi sudah berjalan kembali. Rivalitas sudah mulai dipupuk lagi.
Kanjuruhan perlahan dilupakan, bahkan tak lama lagi akan segera memulai proses renovasi. Arema FC sudah membuang tagar #UsutTuntas dari setiap unggahannya. Lebih dari 135 nyawa perlahan dilupakan.
Namun, di sudut-sudut jalan, suara perjuangan akan tetap bergaung. Barisan Arek-Arek Malang tidak akan pernah lelah untuk berjuang, berdiri berdampingan dengan keluarga korban.
Ini bukan hanya bicara nyawa. Tapi ini bicara tentang keadilan dan kemanusiaan.
Perjuangan jelas masih panjang, dan saya akan selalu bersama Arek-arek Malang dan keluarga korban yang berjuang.
Jangan pernah lelah menggaungkan Kanjuruhan. Jangan pernah berhenti membicarakan Kanjuruhan.