Sediksi – Pasar Buku dan Seni Velodrome Malang tampak sepi. Beberapa toko bahkan belum buka padahal waktu sudah menunjukkan jam 11 siang.
Saya berkunjung di hari Sabtu. Konon, kata ulasan seorang pengunjung di Google Maps, hari Sabtu Velodrome ramai.
Lengangnya pengunjung pagi ini bukanlah kebetulan. Sepi begini adalah kondisi hari-hari yang selalu dihadapi para pedagang di Jl. Simpang Terusan Danau Sentani No.3 Madyapuro, Kedungkandang, Kota Malang.
Macam-macam situasi membuat Pasar Buku Velodrome tampak terasing. Sebelum dikenal sebagai Pasar Buku Velodrome sesuai lokasinya saat ini, dulunya berada di Jalan Sriwijaya dekat Stasiun Kota Baru, dekat Balai Kota, dan berarti tepat di tengah kota.
Pemindahan dari Jalan Sriwijaya ke Velodrome pada 2009, ternyata tak semudah yang dibayangkan.
Sepi pembeli, menjajal peruntungan di pasar online
Fakih Amrullah masih beres-beres untuk merapikan buku dagangannya di kios 16. Buku-buku loak berjajar disusun sampai setinggi langit-langit kios. Ada buku pelajaran, majalah, novel, komik, fatwa MUI, dan lain sebagainya.
Meski tak suka membaca, Fakih sudah malang melintang dalam jual beli buku loak sejak STM, sekitar tahun 1998. Ia punya koleksi buku terbitan tahun 60an. Tadinya ia termasuk pedagang yang direlokasi dari pasar buku di Jl Sriwijaya, di depan Stasiun Malang Kota Baru.
Saya langsung menyapanya dengan basa-basi, “masih sepi ya, Pak?” sembari bercanda.
“Saya buka jam 8 tapi di sini sebagian saja yang buka. Rata-rata memang buka jam 8. Sekarang ini kan online jadi kadang buka kadang enggak,” jawabnya.
Peralihan perilaku belanja ke online disadari Fakih secara penuh. Suatu hal yang tak bisa ditunda maupun ditolak.
Tak mudah untuk serta-merta meninggalkan penjualan langsung menuju online. Fakih masih terus mengupayakan peruntungan berjualan langsung. Di sisi lain, ia pun membuka toko buku online di Facebook. Diakui Fakih, penjualan di online lebih baik. Ia bisa menjual 3 sampai 4 buku setiap hari.
“Anggaplah pendapatan (jualan offline) 100 ribu tiap minggu. Satu bulan 400 ribu,” kata lelaki tiga anak tersebut. Namun, ia berulang kali bilang jumlah tersebut tak tentu.
Pasar Buku Velodrome memang seperti memasuki masa senjakala. Pandemi memperparahnya, membuat penjualan amat menurun. Kala itu orang-orang tak berani keluar rumah dan bisa diduga, penjualan di Velodrome merosot.
Beruntungnya Fakih punya pekerjaan lain untuk menyambung hidup keluarganya. Sudah lama berjualan buku loak tak begitu menguntungkan, ia menyadari orang tak minat baca dan dari tahun ke tahun penjualan terus menurun. Maka sejak lama ia menekuni dua pekerjaan.
“Saya tetap bertahan karena saya kerja dua cabang. Kalau jualan buku aja kemungkinan bisa bertahan juga tapi ya megap-megap,” ujarnya.
Juragan komik yang jualan buku untuk hiburan
Riyanto (62) bisa disebut kolektor sekaligus pedagang buku loak di kios 23. Kesukaannya adalah buku-buku Soekarno, Gusdur, dan sastra seperti Pramoedya Ananta Toer. Ia juga memiliki Babad Tanah Jawi.
Ia mengambil dua kios untuk seluruh koleksinya. Memang kebanyakan komik. Bahkan komik dari tahun 80an. Selain itu ada cergam, majalah, novel, buku pelajaran umum, dan banyak lagi.
Sejak SMP Riyanto hobi mengumpulkan biografi orang terkenal. Kemudian ketertarikannya semakin dalam dan mulai mengumpulkan buku-buku genre lain.
“Saya cuma suka ngumpulin. Nggak tahu dalamnya apa. Mek suka ngumpulkan, tok. Saya memang suka gambar-gambar lama, gambar-gambar mobil misalnya,” kata Riyanto.
Disinggung soal pendapatan, lelaki paruh baya itu tersenyum. Berat menjawab sebab lagi-lagi tak ada hitungan pasti.
“Waduh nggak ada ramai-ramainya. Emang lagi bulannya sepi,” kata Riyanto.
Karena saat ini dia jualan untuk hiburan, dirinya tak terlalu ambil pusing soal pendapatan. “Ya, tinggal ngoperkan barang yang harganya 1,5 juta. Beres,” ujarnya.
Sebuah buku karya Pramoedya Ananta Toer pernah laku 14 juta. Diambil oleh seorang kolektor buku langka. Sayangnya, Riyanto lupa judul buku dan siapa pembeli tersebut. Sebab banyak kolektor yang datang padanya.
Akan tetapi, untuk koleksi lainnya seperti Babad Tanah Jawi, Soekarno, dan karya-karya Gusdur tak mau ia jual. Kala saya candai beberapa kali mengenai harga jual yang ditawarkannya, ia kekeuh semua itu tak akan dijual.
Pernah punya perpustakaan kemudian tutup karena keadaan
Riyanto pernah memiliki sebuah perpustakaan kecil di depan Universitas Negeri Malang selama 8 tahun. Namanya Perpustakan Singgi.
Perpustakaan Singgi tutup karena beberapa alasan. Salah satunya karena pemilik menaikkan sewa kontrakan sebab melihat kunjungan ramai.
“Dulu pertama ngontrak itu Rp1,25 juta untuk satu tahun. Terus kelihatan rame karena dekat jalan. Langsung itu minta 4,5 juta,“ kata Riyanto.
Saat ini ia tak lagi berkeinginan menghidupkan perpustakaan Singgi. Minat baca anak muda sudah surut. Diakui Riyanto, bahkan keempat cucunya sendiri pun tak senang membaca. Selain itu, usianya yang sudah sepuh menjadi kesulitan tersendiri kala harus membuat pembukuan rutin.
Disinggung perihal penerus usahanya, ia cuma bilang, “dipikirin nanti lah, ya.”
Menjual koleksi buku pribadi saat kepepet
Sejak awal relokasi ke Velodrome 14 tahun lalu, Munib merasakan naik turun penjualan. Awalnya pemerintah beberapa kali berkunjung tapi Munib menolak menjelaskan lebih lanjut perihal lainnya kalau disinggung soal kepedulian pemerintah saat ini.
Di kios 9 milik Munib, saya temukan banyak jenis majalah. Horizon, Hidayah, alkisah, Tempo, Trubus, Jaya Baya, Kartini, Rolling Stone, dan banyak lagi. Munib mengistimewakan majalah karena itu yang sering laku.
Penjualan langsung yang sepi membuat Munib cari cara lain. Ia mencoba peruntungan di pasar online dibantu istrinya setahun belakangan.
“Kalau online hampir setiap hari ada satu dua sampai lima yang terjual. Kalau offline nggak tentu,” katanya.
Dari 70an lebih kios tersisa tak sampai 45 kios saja. Rekan pedagang Munib banyak yang banting setir. Itu pun tak semua kios yang masih beroperasi adalah toko buku, ada pula yang beralih fungsi jadi warung kopi.
“Ada yang ngojek, nge-grab, jualan soto. Kondisi kayak gini mau apa lagi,” katanya berat.
Pernah terlintas di pikiran Munib menempuh jalan yang sama. Ia pernah kerja bangunan dan terpikir kembali ke sana.
Jalan lain ia temukan saat kepepet kebutuhan, yaitu menjual koleksi-koleksi bukunya. Ia menjual semua koleksi pribadi sampai habis untuk membangun rumah.
Dulu ia memiliki buku-buku Soekarno dan buku-buku Jawa. Kini yang masih tersisa adalah koleksi komik, cergam, dan roman Siti Nurbaya terbitan Balai Pustaka sebagai kenang-kenangan.
Ia tak lagi keluar kota seperti Bangil, Pasuruan, Sidoarjo, Surabaya, maupun Semarang untuk berburu buku.
Bisa dikatakan sekarang Munib hanya meneruskan perjalanan sembari berharap segera keluar dari masa pancaroba Velodrome.
Pasar Buku Velodrome: Direlokasi dari tengah kota jauh ke pinggiran
Sekitar tahun 2000an, mahasiswa mulai bergiat membangun komunitas baca. Munib adalah salah satu anggota yang ikut. Komunitas tersebut memotivasinya untuk membaca buku.
Selain sebagai wadah untuk meningkatkan literasi baca. Komunitas yang dijalankan sebulan sekali itu juga wadah tukar pendapat.
“Kalau dulu di Sriwijaya suka baca karena banyak komunitas anak-anak mahasiswa kalau di sini jarang. Di sana ada yang ngumpulin anak-anak mahasiswa namanya Mas Nasir,” kenang Munib.
Untuk diketahui, lokasi Velodrome tak berada persis di pinggir jalan. Fakih menjelaskan waktu ‘agak’ ramai di Velodrome ialah hari Minggu karena bertepatan dengan pasar minggu.
“Karena kondisi ekonomi kayak gini, agak jauh, penerangan kurang, jalan juga kurang. Kalau malam nggak ada cahaya, minatnya juga kurang,” tutur Fakih menjelaskan kondisi Velodrome.
Sejak awal relokasi, penerangan sudah minim. Baginya (seharusnya) ikon literasi terbaik mahasiswa Malang ini tak bisa beroperasi dengan maksimal. Makanya para pedagang kebanyakan menutup lapaknya jam 5 sore, tepat sebelum matahari terbenam.
Fakih mengeluhkan kealpaan kepedulian pemerintah kota. Katanya dulu pedagang pernah melaporkan perihal Velodrome yang sunyi senyap ke Dinas Pasar, tetapi responnya kurang cepat tanggap. Bisa dikatakan tak ada perkembangan berarti pasca-laporan.
“Kalau untuk perkembangan enggak ada, cuma dulu itu ada bantuan paving. Paving cuma itu aja yang tengah, sama yang tempat duduk-duduk itu. Lainnya enggak ada,” terangnya.
Adapun paving yang tampak di depan kios-kios Velodrome adalah inisiatif para pedagang sendiri agar pengunjung lebih nyaman saat berkunjung.
“Alhamdulillah di sini dari awal sampai akhir usaha sendiri,” katanya sedikit satir.
Kiat merawat buku agar awet saat keadaan tak berpihak
Tak lengkap rasanya berkunjung ke pasar buku loak tanpa menanyakan salah satu hal penting. Mengenai tips perawatan agar buku-buku berumur panjang.
Satu hal yang diingatkan Munib, perubahan warna kertas buku menjadi kuning adalah keniscayaan. Begitu pun dengan kondisi mudah patahnya apalagi jika umur buku sudah puluhan tahun. Baginya yang penting adalah menghindari kondisi lembab dan jangan sampai kena air.
“Kalau buku untuk disimpan (di lemari) nggak usah disampul, nanti cepat lembab kalau disampul. Kalau ditempatkan di tempat terbuka, nggak apa-apa dikasih sampul,” terangnya.
Buku yang disampul dan ditempatkan di ruangan terbuka juga harus dipastikan menerima cahaya yang cukup. Kemudian dibersihkan tiga bulan sekali.
Untuk majalah, ia menyarankan untuk menaburi sedikit tepung di tengah-tengah majalah supaya lebih awet. Tips ini didapatkannya dari orang-orang China.
Kalau Riyanto beda lagi. Ia menyarankan untuk memberi sedikit kapur ke tulang buku bagian dalam agar awet. Tips ini didapatkannya dari pengalaman sendiri.
Pada akhirnya, meski senjakala Pasar Buku dan Seni Velodroom tampak di depan mata, para pedagang tetap menaruh harapan. Meski tidak tahu sampai kapan keadaan sulit ini berakhir, mereka tetap gigih membuka lapak buku loak setiap harinya walau sepi pembeli.