Belakangan ini, saya, serta mungkin banyak anak muda Kalimantan lainnya, semakin resah dengan maraknya stereotipe aneh soal Kalimantan.
Mulai dari dianggap tidak lebih dari sekedar tempat jin buang anak, sarangnya para kuyang alias makhluk jejadian berupa kepala terbang, para pemburu kepala manusia, sarang ilmu hitam, hingga isinya yang katanya cuman hutan lebat serta jejeran sungai.
Dan satu lagi, semenjak viralnya film Kota Gaib Saranjana hingga menembus 1 juta penonton itu, streotipe konyol menahun tentang Kalimantan seakan semakin dikuatkan.
Kebanyakan orang di Indonesia bahkan lebih mengenal serta mengimani keberadaan Saranjana—yang letaknya entah di mana itu—dengan segala kemegahan, kemajuan teknologi, serta peradabannya dibandingkan Banjarmasin, Samarinda, Palangka Raya, dan Pontianak yang keberadaannya nyata dan jelas-jelas bukan kota gaib.
Saya kira berbagai upaya pemerataan pembangunan serta pemilihan lokasi IKN sebagai ibu kota baru Indonesia di Kalimantan bisa sekadar meredakan berbagai streotipe konyol tersebut.
Namun, yang ada malah pulau ini semakin dinyinyiri. Bahkan, persoalan deforestasi hutan dan amdal yang tidak jelas di Kalimantan malah dilihat sebagai upaya untuk mengurangi populasi kuyang dan sejenisnya. Astaga!
Hal-hal tersebut membuat saya bertanya-tanya, salah apa, sih, Kalimantan? Seakan-akan kawasan ini tidak berkontribusi apapun pada Indonesia, layaknya Jawa dengan Jakartanya.
Sejarah Indonesia Dimulai dari Kalimantan
Seringkali dianggap cuman berisi hutan dan tidak memiliki peradaban maju—selain Kota Gaib itu—barangkali menjadi penegas bahwa kebanyakan orang Indonesia itu tidak belajar sejarah dengan baik.
Sini, saya kasih fakta sejarah, ya, biar anda-anda sekalian yang suka nyinyiran Kalimantan itu dapat hidayah.
Di Indonesia, pembabakan zaman sejarah alias era di mana suatu kebudayaan sudah mengenal tulisan itu dimulai di Kalimantan, bukan Jawa atau Jakarta. Kalau tidak percaya coba saja cek artikel Kompas yang berjudul Prasasti Yupa: Fungsi dan Isinya.
Sebagai negara yang berperingkat 71 dari 77 negara dalam perankingan literasi oleh PISA, saya ngerti, kok, kalau kebanyakan orang Indonesia itu cuman sebatas bisa membaca dan hanya sedikit yang bisa memahami teks.
Fakta penemuan prasasti Yupa abad ke-4 masehi di Kalimantan Timur alias prasasti tertua di Indonesia itu sepertinya hanya sekadar dimaknai sebagai peninggalan orang zaman dulu.
Bagi yang memahami pentingnya keberadaan tulisan pasti ngeh bahwa perwujudan sebuah tulisan atau aksara untuk merekam pemikiran, kejadian atau momen, serta pewarisan ide seperti yang terekam di tujuh prasasti Yupa tersebut merupakan penanda kemajuan zaman.
Pun, dengan isi prasasti tersebut. Selain mencatat silsilah raja-raja Kutai, aksara di batu yang ditulisi untuk juga merekam tentang Raja Mullawarman yang bersedekah dengan menyumbang 20 ribu sapi kepada para Brahmana saat itu.
Jadi, dengan fakta seterang itu harusnya ngerti lah bahwa Kalimantan, selain memiliki peradaban yang maju, juga sejahtera semenjak dulu kala, jika sumber dayanya tidak dikuras ke luar pulau.
Selanjutnya, dari sisi timur Kalimantan kita beralih ke bagian selatan. Dan kali ini tentang sebuah buku yang ditulis seorang ulama di abad ke-18 yang masih terus dipelajari hingga sekarang.
Tidak dikisahkan bisa terbang, bisa berjalan di atas air, atau memiliki kesaktian seperti orang suci atau para wali pada umumnya, Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjary, yang berasal dari tanah Banjar di Kalimantan Selatan, memiliki karomah pada tahapan berbeda: beliau itu menulis.
Menulis sebagai upaya untuk mewariskan ilmu pengetahuan tentang keislaman adalah karomah dari Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjary pada tingkatan advance.
Kitab Sabilal Muhtaddin, yang ditulis di abad ke-17 di Kalimantan Selatan ini, berisi tentang tuntunan ibadah dan hukum fiqh, serta menjadi rujukan umat Islam bermahdzab Syafi’i seantero Nusantara.
Ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu yang merupakan lingua franca kala itu, alih-alih bahasa daerah seperti kitab-kitab terdahulu, sehingga tulisan beliau mudah dimengerti oleh muslim se-nusantara, yang artinya menjangkau kawasan-kawasan Asia Tenggara lainnya.
Kitab yang ditulis di oleh ulama asal Kalimantan ini bukan hanya menjadi rujukan untuk kawasan Asia Tenggara. Kitab Sabilal Muhtaddin juga diajarkan di Makkah, terkhusus bagi mereka yang berbicara bahasa Melayu dan belum pandai berbahasa Arab.
Dan lagi, melalui kegiatan menulis yang merupakan tahap tertinggi dari kemampuan berbahasa dan penanda kecerdasan ini, orang Kalimantan yang sering digambarkan hidup di hutan ini ternyata pemikirannya telah melampaui dan menerobos zaman.
Jawa Bergemerlapan Cahaya karena Derita Bumi Kalimantan
Selain kegemilangan Kalimantan di masa lampau yang kebanyakan orang tidak tahu dan lebih memercayai bahwa isinya hanya hutan dengan seliweran lalu lalang kepala kuyang berkerlipan, sesungguhnya Kalimantan juga memiliki sumber daya alam yang luar biasa.
Salah satunya adalah batu bara. Sebagai salah satu daerah penghasil batu bara terbesar di Indonesia, Kalimantan sudah menyumbang banyak untuk negeri ini.
Bahkan, rumornya, jika sehari saja batu bara asal Kalimantan tidak dikirim ke Jawa, maka PLTU-PLTU di sana akan berhenti beroperasi dan Jawa akan lumpuh.
Ini kemudian mengingatkan saya pada kejadian di tahun 2012 ketika para aktivis di Kalsel memblokir Sungai Barito agar tongkang-tongkang batu bara tidak bisa menyuplai batu bara ke Jawa. Kabarnya, hal tersebut sampai membuat pemegang tampuk kekuasaan di Jakarta ketar-ketir.
Pemblokiran yang bahkan direstui oleh Rudi Arifin (gubernur Kalsel kala itu) nampaknya membuktikan bahwa bisa jadi rumor di atas itu benar.
Baca Juga: Kenyang Makan Stereotipe Superlemot di Medan
Jawa dengan Jakartanya, dengan berbagai kegemilangan pembangunan serta semarak gemerlap cahaya lampu di langit malam itu terlahir dari derita tanah Kalimantan yang perutnya dibelah dan sakitnya diabaikan.
Dan nahasnya, kekayaan alam Kalimantan tidak begitu dinikmati oleh warganya sendiri. Justru efek negatif dari eksploitasi SDA berlebihan yang seringnya mereka rasakan, seperti kerusakan ekologi.
Misalnya, seperti yang dikutip dari Kompas, studi yang dilakukan oleh Dr. Bernaulus Saragih dari Universitas Negeri Mulawarman menunjukkan bahwa jumlah kerugian ekologis akibat eksploitasi SDA di Kalimantan Timur ditaksir mencapai 6,3 triliun rupiah per tahun.
Sementara sepertiga dari total penduduk Kaltim yang berjumlah 3,6 juta jiwa setidaknya merasakan dampak dari kerusakan lingkungan tersebut.
Sehingga, lengkap sudah bagaimana Kalimantan begitu dianaktirikan. Para pemegang tampuk kekuasaan di pusat cuman melihatnya sebagai barang yang bisa diekspolitasi seenaknya. Sementara banyak warga sana yang hanya melihat pulau ini sekadar sarang kuyang.
Padahal, pulau Kalimantan memiliki banyak andil untuk Indonesia, berbanding terbalik dengan streotipe kebanyakan orang tentangnya. Dan sesungguhnya, bisa saja pulau ini semaju Jawa jika SDA-nya tidak terus-terusan dikeruk untuk kepentingan lain.