Sialnya, Bernadya Tidak Sedang Adu Mekanik

Sialnya, Bernadya Tidak Sedang Adu Mekanik

Sialnya, Bernadya Tidak Sedang Adu Mekanik
Ilustrasi oleh Rizqi Nurhuda Ramadhani Ali

Kesederhanaanlah yang menjadi kunci mengapa lagu-lagu ciptaan Bernadya mampu membaur dengan budaya keseharian. Kalau liriknya sudah relate, maka aransemennya juga harus relate.

Sepanjang yang saya tahu, Bernadya tidak sedang terjebak dalam kontestasi aransemen musik maupun diskursus linguistik. Sejatinya, ia hanya ingin pesan dalam liriknya didengar dan mudah untuk dijamah segala lapisan masyarakat.

Untaian kata demi kata yang diucapkannya butuh untuk tetap stand out. Sehingga, hal ini tidak akan tercapai bila sang produser lebih mengedepankan aransemen yang kompleks bin njelimet—tuntutan yang tampaknya digugat Fadhli Amir melalui tulisan opininya yang berjudul Untungnya, Bernadya Menulis Lagu Ini.

Pasalnya, salah satu paragraf dalam tulisan Fadhli menyiratkan demikian:

“Overall, seperti tipikal lagu pop folk Indonesia pada umumnya yang cenderung malas mengeksplorasi jembatan chord. Tidak memorable dan berlalu begitu saja. Kalau pun ada bunyi drum, yang dipukul dominan floor dan tom.”

Coba sekarang bayangkan jika Bernadya nekat menggunakan passing chord dan altered chord yang nama akordnya menyerupai rumus matematika itu. Apakah lagunya menggugah untuk dinyanyikan dan dimainkan ulang oleh mas-mas patah hati yang hanya menguasai akord standar?

Kesederhanaan itulah yang menjadi kunci mengapa lagu-lagu ciptaannya mampu “entering the zeitgeistalias membaur dengan budaya keseharian. Kalau liriknya sudah relate, maka aransemennya juga harus relate.

Menilai Sebuah Karya Butuh Kepekaan

Sepertinya, Bernadya sadar jika ia memosisikan dirinya di atas menara gading musik maka itu hanya akan membuat lagu-lagunya berjarak. Mas-mas pop punk yang ingin meng-cover lagunya pun minder duluan ketika mendapati ada angka-angka di deretan akord lagunya.

Lagipula, kompleksitas musik itu hanya ilusi. Tahu nggak, sih, kalau G#aug-1addb8/G itu sebenarnya cuma akord C major biasa? Memang kedengeran keren, apalagi buat mereka yang awam musik.

Belum cukup soal harmoni, Fadhli juga seakan gusar pada aspek ritmisnya. Kegusaran itu tertuang pada paragraf berikut ini:

“Pun, begitu dengan intronya. Petikan gitar dengan sound yang clean. Ketukannya pun begitu-begitu saja.”

Sayangnya, saya jauh lebih gusar dengan kepada apa diksi “ketukannya” itu ditujukan. Dalam teori musik, apabila diksi “ketukan” tidak diberi konteks, maka ia akan melekat pada atribut musik bernama birama.

Jenis birama yang umum digunakan dalam musik pop adalah 4/4. Namun, sialnya Bernadya bukanlah seorang musisi bergenre progresif layaknya Dream Theater yang gemar mengeksplor bilangan birama aneh macam 11/16 atau 7/8.

Kemudian, apabila diksi “ketukan” tersebut digunakan pada cara memainkan petikan gitarnya, maka itu juga tidak menyelesaikan masalah.

Masa-masa kala Iwan Fals menentang rezim totaliter di hadapannya, apakah ia bersuara lantang sambil memamerkan petikan gitar akrobatik? Jelas tidak.

Jika dibalik, apakah Polyphia butuh vokalis bersuara diva untuk membayangi petikan gitar rumit ala instrumental math rock yang mereka bawakan? Tidak juga.

Jadi, ketika menilai sebuah karya, dibutuhkan pula sebuah kepekaan. Kita harus peka terhadap untuk tujuan apa karya ini dibuat. Apakah untuk mengejar target estetika, mencapai target kapital, atau hanya sekadar untuk menyuarakan keresahan.

Dalam hal ini, pendekatan materialistis yang digunakan untuk menilai album terbaru gubahan Bernadya agaknya kurang tepat. Penilaian atas musik-musiknya lebih tepat ditempatkan pada koridor semiotika.

Andai materialitasnya harus dibahas, maka tulisan ini hanya akan berisi racauan teknis mumbo jumbo tentang proses produksi sebuah musik. Mulai dari pemilihan efek gitar, jenis mikrofon, hingga metode mixing mastering.

Pencapaian estetika tentu bukan diraih oleh keruwetan komposisi belaka, tapi juga visi di baliknya.

Sialnya, Menggubah Musik Sederhana Tidaklah Sederhana

Dulu waktu saya masih hijau dalam dunia musik, saya meyakini bentuk tertinggi dari sebuah musik adalah kompleksitas. Ia haruslah memiliki ribuan sinkopasi dan beragam rupa tutti yang bisa bikin kepala pening.

MUSIK HARUS RUMIT!

DREAM THEATER ADALAH RAJA SEGALA MUSISI!

CIH, MUSIK POP ITU CUMA BUAT ORANG LEMAH!

Tidak perlu malu, hampir setiap musisi pasti pernah mengagungkan kerumitan seolah-olah hidup ini kurang rumit saja. Namun, setelah beranjak dewasa, pasti mereka sadar kalau ngenakin lagu itu jauh lebih sulit dan… KOMPLEKS!

Memproduksi sebuah lagu sederhana itu benar-benar sulit. Kepadatan aransemen, pilihan sound, dan kemampuan menahan diri agar tetap minimalis, semua harus diperhitungkan secara presisi.

Cara memainkannya saat proses rekaman pun tidak kalah sulit. Tidak boleh asal menebar kebrutalan seperti musik metal atau tidak boleh “yang penting bunyi” seperti latihan di studio. Harus ada setidaknya sejumput emosi yang dituangkan.

Semua orang pasti bisa pencet akord Cdim#9 di keyboard, atau pasti ada saja gitaris spesialis kebut-kebutan di setiap kampung di Indonesia. Namun, coba hitung berapa banyak yang bisa bermain dengan groove?

Memangnya gitaris yang hobinya pamer kecepatan itu sudah pasti tahu cara genjreng gitar dengan artikulasi yang seharusnya? Atau, coba lihat kelakuan drummer yang suka spam chops tapi bikin si bassist bete karena beat-nya nggak kawin sama sekali.

Band yang punya rate mahal dan band reguler kafe yang cuma dibayar 2 M (makasih, mas) pasti punya aftertaste yang berbeda, meski memainkan lagu serupa.

Trik ngenakin lagu ini hanya bisa dicapai lewat jam terbang dan latihan rutin. Hal itulah yang menjadikan sebuah lagu sederhana nan enak didengar memiliki sisi kompleks di baliknya. Semua hal tak harus dibawa terlalu serius dan serba ndakik-ndakik, kok.

Namun, kalau mau dibawa lebih jauh ke ranah teknis, bahkan suara lirih Bernadya yang dianggap monoton itu punya nama resminya, yaitu pianissimo.

Sialnya, Kesederhanaan Bukanlah Dosa

Pernah nonton film Perfect Days? Film tersebut cukup booming di kalangan sinefil ketika dirilis tahun lalu. Isi filmnya seolah stagnan, hanya memotret keseharian seorang pria tua. Tidak ada konflik, tidak ada villain. Sangatlah sederhana.

Namun, anehnya saya tidak mendapati satupun kritikus yang melabelinya sebagai film monoton. Mereka paham Perfect Days memang sengaja dibuat seperti itu. Emosi dan konflik yang meledak-ledak disisihkan demi memberi ruang bagi keheningan.

Jadi, akan terasa bijak rasanya jika kita memperlakukan lagu-lagu Bernadya layaknya para kritikus memperlakukan Perfect Days.

Bernadya tidak sedang meluapkan emosinya secara serampangan. Ia hanya mengajak kita hanyut dalam keheningan yang konstan. Suaranya yang lirih tak berdaya sembari merapal lirik-lirik suram adalah teman sempurna untuk berefleksi.

Corak musiknya yang sederhana seolah ikut mengutuki diri kala kedua jarum jam menunjuk angka 12. Meratapi masa lampau, lalu mendongak dan berjalan teguh ke depan agar bumi tetap berputar.

Meskipun nomor terakhir di albumnya menyuarakan optimisme bak suar pengharapan, tapi jangan lupa, Bernadya justru mengakhirinya dengan sebuah akord minor.

Sialnya, hantu masa lalu akan terus menggoda untuk dijumpai.

Editor: Ahmad Gatra Nusantara
Penulis

Risang Parandika

Masih sibuk mengorbit pikiran sendiri.
Opini Terkait

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel