Baru Saja Diresmikan, Ini Beda Bursa Karbon dengan Pajak Karbon

Baru Saja Diresmikan, Ini Beda Bursa Karbon dengan Pajak Karbon

chris leboutillier / unsplash

DAFTAR ISI

Sediksi – Pemerintah Indonesia berencana menggunakan bursa karbon dan pajak karbon sebagai cara menekan emisi karbon.

Presiden Joko Widodo telah meresmikan IDXCarbon sebagai wadah perdagangan karbon di Indonesia pada Selasa, 26 September 2023.

Namun, hingga saat ini pemerintah dikabarkan masih menyusun aturan pajak karbon melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

“Pajak karbon itu ada dua, satu yang sifatnya sukarela dan satu lagi adalah kewajiban. Yang sukarela tadi baru diluncurkan Bapak Presiden melalui bursa karbon,” ujar Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto, dikutip dari Katadata.

Regulasi pajak karbon Indonesia masih dalam tahap pengkajian dan rencananya akan disesuaikan dengan Mekanisme Penyesuaian Karbon Perbatasan (CBAM) Uni Eropa yang diterapkan tahun 2026.

Menurut Airlangga, industri di Indonesia akan ikut terdampak CBAM Uni Eropa sehingga pemerintah perlu mendorong komitmen pengusaha untuk mengurangi emisi gas rumah kaca lewat pajak karbon dan bursa karbon.

Lantas apa perbedaan antara bursa karbon dengan pajak karbon?

Baca Juga: Gratifikasi Mau Dipajakin, Biar Apa Sih?

Pajak karbon

Pajak karbon merupakan pungutan wajib yang dikenakan atas penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas alam, maupun batu bara dengan tujuan mengurangi gas rumah kaca.

Saat ini Indonesia belum meregulasi secara khusus tentang pajak karbon.

Pajak karbon telah dimasukkan dalam UU HPP tahun 2021.

Pada Oktober 2021, pemerintah mematok pajak sebesar Rp 30 per kilogram karbondioksida ekuivalen.

Namun, ketentuan tersebut tengah dikaji ulang oleh Kementerian Keuangan berdasarkan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Besaran tarif pajak karbon rencananya ditetapkan sebesar Rp 74 per kilogram karbondioksida ekuivalen.  

Pemerintah berencana mengenakan pajak kepada individu maupun badan usaha yang membeli barang mengandung karbon atau aktivitasnya menghasilkan residu karbon.

Dengan ketentuan tersebut, pemerintah menargetkan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 26%-29% di tahun 2030.

Bursa karbon

Bursa karbon merupakan sistem transaksi jual beli kredit karbondioksida yang diberikan melalui sertifikat.

Perusahaan atau badan usaha dapat membeli sertifikat karbon dengan nilai tertentu.

Jika perusahaan tersebut menghasilkan emisi karbon lebih sedikit dari nilai yang ia beli di sertifikat, maka perusahaan tersebut bisa menjual kredit karbonnya ke perusahaan lain yang jumlah emisi karbonnya lebih banyak.  

Saat ini Bursa Karbon Indonesia diisi oleh beberapa pelaku usaha di sektor energi, sektor listrik, bahkan perbankan.

Pihak-pihak tersebut melakukan jual beli difasilitasi oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai penyelenggara.

Baru Saja Diresmikan, Ini Beda Bursa Karbon dengan Pajak Karbon - carbon trade unsplash
Carbon trade / unsplash

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memberikan izin untuk BEI dengan mengeluarkan surat nomor KEP-77/D.04/2023 pada 18 September 2023.

Sebelumnya OJK menerbitkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/SEOJK.04/2023 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon atau disingkat menjadi SEOJK 12/2023.

“Penerbitan SEOJK 12/2023 dilaksanakan untuk menindaklanjuti ketentuan tata cara penyelenggaraan perdagangan karbon di bursa karbon, operasional dan pengendalian internal penyelenggara bursa karbon, serta ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara perizinan penyelenggara bursa karbon dalam PJOK 14/2023,” jelas Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK Aman Sentosa dikutip dari Antara.

Pembukaan perdagangan karbon di BEI telah dibuka per Selasa, 26 September 2023.

Direktur Utama BEI Iman Rachman menyampaikan jika harga kredit karbon yang diperdagangkan bervariasi pada setiap proyek menyesuaikan masing-masing perusahaan.

Bursa Karbon Indonesia menurut pegiat lingkungan

Beberapa pegiat lingkungan melihat diresmikannya bursa karbon justru memberi peluang perusahaan untuk menghasilkan polusi semaksimal mungkin.

Mengutip VOA, pegiat lingkungan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik mengatakan jika perusahaan akan punya kecenderungan menghasilkan polusi sampai batas maksimal lalu membeli kredit karbon dari perusahaan lain yang masih punya cadangan karbon.

“Yang seharusnya didorong bukan hak berpolusi tapi sama-sama menurunkan produksinya atau bertransisi dari energi kotor ke energi bersih. Ketimbang kita berdagang karbon antar PLTU misalnya, yang itu akan memungkinkan menambah beban pada pengguna listrik misalnya dari segi harga,” ujar Iqbal.

Iqbal juga melihat perdagangan karbon berpotensi meyebabkan konflik lahan dan hutan dengan masyarakat adat.

Hutan yang dikelola masyarakat adat terancam digunakan sebagai lahan konsesi untuk perusahaan-perusahaan dengan izin pemerintah.

Iqbal menyampaikan jika hal semacam itu telah terjadi di negara lain, contohnya di Kongo.

“Itu bahkan ada perpindahan massal dari wilayah hutan untuk carbon trading, makanya disebut green grabbing. Jadi mengambil lahan dari masyarakat adat atas nama hijau,” kata Iqbal.

Menurut Iqbal pemerintah masih harus memperjelas lagi kemanfaatan lingkungan dan ekonomi bagi masyarakat dengan adanya bursa karbon.

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-artikel-retargeting-pixel