Beda Sikap 3 Kementerian Tanggapi TikTok Sebagai Socio Commerce

Beda Sikap 3 Kementerian Tanggapi TikTok Sebagai Socio Commerce

socio commerce/microsoft edge/unsplash

DAFTAR ISI

Sediksi – Tiga kementerian di dalam pemerintahan punya sikap berbeda menanggapi isu TikTok sebagai social commerce di Indonesia.

Aplikasi asal negeri tirai bambu ini beberapa waktu belakangan ramai dibahas karena menggabungkan fungsi media sosial dengan transaksi jual beli online di aplikasinya.

Saat ini ada tiga kementerian yang bereaksi menanggapi isu TikTok karena dianggap menjadi salah satu penyebab pasar menjadi sepi pembeli, seperti yang terjadi di Pasar Tanah Abang, Jakarta.

Tiga kementerian tersebut antara lain Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM), Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Kemenkop UKM ingin izin dagang dan izin medsos dipisah

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki menilai TikTok merusak iklim dagang UKM lokal dengan Project S TikTok.  

Teten juga menentang keberadaan TikTok yang dianggapnya melakukan monopoli karena menjalankan dua bisnis sekaligus yaitu sebagai media sosial (medsos) dan platform dagang digital.

Mengutip Liputan6, Teten menyampaikan pada awal September di Jakarta, “Dari riset dan survei kita tahu orang belanja online itu dinavigasi, dipengaruhi perbincangan di media sosial. Belum lagi sistem pembayaran dan logistiknya mereka pegang semua.”  

Menurut Teten, pemerintah semestinya bersikap lebih tegas terhadap perizinan aplikasi sejenis TikTok.

Ia mencontohkan negara-negara lain yang pemerintahnya menolak TikTok seperti India dan Amerika Serikat.

Teten mengatakan, pemerintah harus mengatur pemisahan antara izin bisnis dagang dengan izin bisnis medsos karena hai ini terkait dengan cross border commerce.

Diperlukan regulasi yang bisa melindungi UKM Indonesia agar tetap bisa bersaing di pasar digital.

UKM lokal untuk mendistribusikan produk telah melalui proses yang panjang seperti mengurus izin edar, mengurus Standar Nasional Indonesia (SNI), dan melakukan sertifikasi halal.

Proses tersebut tidak dilakukan oleh peritel luar negeri yang menjual produknya langsung ke konsumen dengan memanfaatkan social commerce.

Oleh karena itu, Teten meminta agar ritel dari luar negeri dilarang menjual langsung ke konsumen.

“Mereka harus masuk melalui mekanisme impor biasa terlebih dahulu, setelah itu baru boleh menjual barangnya di pasar digital Indonesia,” jelas Teten.

Kemendag siapkan revisi permendag

Sejalan dengan Kemenkop UKM, Kemendag menyatakan akan meregulasi ulang perizinan social commerce di Indonesia.

Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan melihat perlu antisipasi agar kehadiran social commerce seperti TikTok tidak mengancam industri lokal dan UKM.

Zulkifli Hasan mengaku jika beberapa pelaku usaha lokal mendatanginya dan mengeluhkan dampak dari TikTok ke industri dalam negeri.

“TikTok itu social commerce, keuangan, perdagangan, social media jadi satu. Itu kalau tidak diatur kolaps,” ujar Zulkifli dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR, 21 September 2023.

Bahkan ia dan Menkop UKM Teten Masduki sempat terpikir untuk memblokir TikTok, meskipun akhirnya rencana itu tidak jadi dilakukan karena kewenangan pengaturan medsos ada di Kominfo.

Zulkifli meutuskan untuk merevisi Peraturan Menteri Perdagangan No. 50 Tahun 2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE).

Zulkifli menyampaikan jika Kemendag sudah menyelesaikan pembahasan dan saat ini sedang tahap harmonisasi dengan kementerian lain.

Hal pertama yang akan diatur yaitu terkait izin social commerce yang tidak boleh hanya satu izin untuk menjalankan dua bisnis, media sosial dan e-commerce sekaligus.

Social commerce harus mengurus izin dagang terpisah dari izin bisnis media sosial.

Kedua, tentang sertifikasi barang yang dijual oleh TikTok, harus memiliki izin SNI.

Ketiga, social commerce seperti TikTok tidak boleh menjadi produsen karena izinnya sebagai platform media sosial.

Keempat, barang yang diperbolehkan untuk diimpor merupakan barang dengan harga minimal 100 dolar Amerika Serikat atau setara 1 juta rupiah per transaksi.

Kelima, barang yang boleh dijual dengan impor merupakan barang yang tidak bisa diproduksi di pasar Indonesia.

Hal itu sebagai cara melindungi UKM dan industri lokal di Indonesia.

Kominfo tidak akan blokir TikTok

Sementara itu, menanggapi ribut-ribut sosial media TikTok, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi memiliki tanggapan yang berbeda.

Budi mengungkapkan jika TikTok sudah mempunyai izin sebagai media sosial dan e-commerce.

Menurut Budi, Kominfo tidak akan memblokir TikTok karena sampai saat ini tidak ada regulasi yang dilanggar TikTok.

“Saat saya tanya mengenai izin, mereka bilang bahwa sejak Juli sudah mempunyai izin e-commerce,” kata Budi, dikutip dari Antara.

Ia sempat mendengar tentang adanya isu predatory pricing yang membuat pelaku usaha di toko-toko fisik dan pasar sepi pembeli, karena konsumen beralih ke penjual di TikTok Shop yang menjual barang lebih murah.

Namun, pihaknya belum bisa mengambil tindakan lebih jauh dan sedang mengkaji dampak sosical commerce dengan berkoordinasi dengan kementerian terkait.

“Kita saat ini masih mengkaji dinamikanya, karena seperti yang dikhawatirkan, apa memang betul dia predatory pricing?” ucap Budi.

Pola belanja konsumen berubah

commerce/markus winkler/unsplash
Markus winkler/unsplash

Mengutip CNN Indonesia, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Eddy Misero menyampaikan sepinya pasar dan toko-toko fisik bukan hanya karena faktor TikTok atau socio commerce sejenisnya.

Ada faktor lain, yaitu pola belanja konsumen yang berubah.

Berbelanja dengan menggunakan aplikasi dianggap lebih praktis dan mudah, apalagi harganya cukup bersaing.

Ditambah lagi cara promosi yang dilakukan di media sosial jauh lebih menarik pembeli.

Menurut Eddy hal ini menjadi tantangan bagi pelaku usaha konvensional agar bisa memanfaatkan teknologi sehingga bisa bersaing masuk ke pasar digital.

Bagi Eddy, inovasi dari teknologi ini baik, masalahnya lebih ke banyaknya barang-barang impor murah yang membuat pedagang dan UMKM lokal kalah bersaing.

Lebih jauh, ia berharap pemerintah bisa membangun kesadaran konsumen untuk mendukung dan memilih membeli barang dari UMKM lokal saat berbelanja menggunakan social commerce.

Baca Juga
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-artikel-retargeting-pixel