Buruh Sawit Masih Jauh dari Sejahtera, Sasaran Praktik Upah Murah

Buruh Sawit Masih Jauh dari Sejahtera, Sasaran Praktik Upah Murah

Buruh Sawit yang Masih Jauh dari Kata Sejahtera

DAFTAR ISI

Sediksi.com – Sektor perkebunan kelapa sawit masih mempunyai PR yang harus segera diselesaikan. Pekerja atau buruh harian lepas menjadi sasaran untuk praktik upah murah yang sering terjadi di perkebunan kelapa sawit.

Menurut riset Sawit Watch memperkirakan ada 70% dari 10-15 juta pekerja yang terlibat dalam rantai pasok industri ini adalah buruh harian lepas. Dikutip dari BHR Institute, Buruh Harian Lepas (BHL) merujuk kepada pekerja yang mengandalkan tenaga saat bekerja di lapangan.

Contoh dari BHL adalah pekerja pemanen sawit, pembrondol, penyemprot, pembabat lahan, sopir alat berat, perawat tanaman sawit, maupun pengangkut hasil panen.

Kurangnya Jaminan Kesehatan Buruh Sawit

Mari menilik pembahasannya dari sisi jaminan kesehatan dahulu. Dari apa yang pernah dilaporkan dalam tulisan Mongabay berjudul ‘Kondisi Buruh Sawit Memprihatinkan’, buruh di sektor perkebunan sawit kondisi mereka memprihatinkan.

Salah satu kondisinya adalah minim kepesertaan buruh sawit dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS-TK). Padahal dari pihak deputi kepesertaan skala besar BPJS-TK mengatakan kalau mereka selalu berkoordinasi dengan perusahaan terkait agar pada buruh didaftarkan dalam programnya.

Kendala dalam pemeriksaan langsung adalah karena area perkebunan yang sangat luas, dan dari perusahaan sendiri beralasan bahwa banyak dari pekerja mereka yang tidak mencapai 20 hari kerja/bulan, dan hanya bekerja dua hari dalam satu minggu.

Seperti dikutip dari Mongabay, walau hanya dua hari kerja dalam seminggu atau berapapun, buruh sawit memiliki risiko pekerjaan yang tinggi dan bahaya. Serbuk sari dari tanaman sawit bisa berakibat buruk pada mata sampai membuat kebutaan ketika memanen tandan buah segar.

Paparan zat kimia dalam pupuk maupun pestisida yang diaplikasikan ke tanaman sawit dalam jangka panjang yang dialami oleh buruh sawit dapat menyebabkan persoalan yang serius seperti masalah reproduksi dan lain-lain.

Belum masalah lain seperti cedera ketika menngangkat buah sawit, menghadapi hewan liar yang tidak bisa ditebak kapan datangnya adalah hal yang sehari-hari harus dirasakan oleh buruh sawit tanpa ada jaminan kesehatan yang membuat mereka makin rentan.

Target Panen yang Kelewatan

Sebuah kasus yang terjadi di perkebunan sawit daerah Sumatera Utara, yakni dari PT Daya Labuhan Indah yang telah dilaporkan Project Multatuli baru-baru ini adanya demo ratusan buruh pemanen sawit akibat perusahaan kekeh menerapkan sistem perhitungan berat janjang rata-rata (BJR) yang dianggap memperberat kerja buruh pemanen.

Dikutip dari Project Multatuli, sistem baru menerapkan BJR dengan hanya menghitung berdasarkan tahun tanam. Sedangkan ada kondisi dimana restan atau tandan buah tidak bisa terangkut ke pabrik kelapa sawit dan tertinggal semalanan di tempat pengumpulan hasil atau loading ramp.

Hal itu menyebabkan penurunan atau penyusutan bobot tandan buah. Keadaan ini kerap terjadi saat musim puncak buah.

Perhitungan BJR sebelumnya di PT Daya Labuhan ini dihitung berdasarkan berat, dari dibawah 3 kg dengan basis/target/hari 450 kg sampai 25-27 kg dengan basis/target/hari 1000 kg.

Sedangkan perhitungan yang baru hanya berdasarkan tahun tanam, yakni tahun tanam 2009 dibebankan basis/target/hari 1100 kg, dan tahun tanam 2015 dibebankan basis/target/hari 900 kg.

Sistem BJR lama menurut buruh sawit lebih masuk akal, BJR lama menggunakan hitungan adaptif dengan menyesuaikan bobot tandan buah sawit teraktual. Jika terjadi kondisi restan sekalipun buruh tetap berpotensi mampu memenuhi target harian lebih mudah.

Hasil dari demo buruh sawit tersebut menurut laporan Project Multatuli gagal total, keresahan yang dilayangkan oleh buruh tidak ditanggapi dengan serius oleh perusahaan dan malah mengatakan bahwa kebijakan itu haknya perusahaan, dengan alasan perusahaan bisa merugi. Tapi menurut buruh jika dihitung-hitung buruh sawitlah yang dirugikan.

Selang seminggu pasca aksi di lapangan perusahaan tersebut, perusahaan justru melayangkan surat peringatan kepada buruh yang aksi dengan alasan “Tidak mentaati perintah yang layak dari atasannya dan menentang penugasan yang wajar.”

Selain itu, penetapan SP 1 berdampak mengurangi bonus tahunan untuk buruh sebesar 25% dan menghanguskan uang beasiswa untuk anak buruh yang berprestasi.

Masih Menghadapi Upah Minim

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) bagi buruh harian lepas diatur dalam pasal 10 PP 35/2021 tentang Perjanjian kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan.

Pada pasal 10 ayat 1 peraturan ini menyatakan bahwa untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam volume dan waktu pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran.

Upah bagi pekerja harian pada prinsipnya ditetapkan berdasarkan satuan waktu secara; per jam, harian atau bulanan dan satuan hasil. Maka daripada itu, dalam hal pekerja yang diperkejakan harian, upah dapat ditetapkan secara harian

Standar untuk pengupahan BHL saat ini diatur dalam pasal 17 PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

  1. Bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 6 (enam) hari dalam seminggu, upah sebulan dibagi 25 (dua puluh lima); atau
  2. Bagi perusahaan dengan sisten waktu kerja 5 (lima) hari dalam seminggu, upah sebulan dibagi 21 (dua puluh satu)

Oleh karena itu perhitungan upah bagi pekerja harian lepas dapat disumpulkan upah minimum dibagi 21 hari kerja.

Akan tetapi dalam praktiknya dilapangan masih tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut laporan dari BHR Institute pada tahu 2021 dari hasil riset Koalisi Buruh Sawit menunjukkan ada beberapa wilayah yang melakukan praktik upah murah.

Wilayah tersebut antara lain ada di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Utara dan Papua. Kalimantan tengan yang seharusnya dengan perhitungan upah harian berdasarkan UMK adalah sebesar 84.116,- per hari, sedangkan riil-nya di lapangan hanya 59.400,- per hari yang diterima BHL.

Kalimantan Timur seharusnya 92.200, upah riil sebesar 91.060, Sumatera Utara yang seharusnya 80.480, praktik riil dilapangan hanya 78.600, dan di Papua yang seharusnya 96.672, yang terjadi di lapangan upah riil-nya hanya sebesar 61.295,- per hari.

Temuan tersebut dikuatkan dalam Workers in the Palm OilIndustry: Exploitation, Resistance and Transnational Solidarity. Laporan tersebut menyatakan bahwa permasalahan inti dari pekerja di industri kelapa sawit adalah tingkat upah yang sangat rendah untuk pekerja pekerbunan. Di samping itu juga mengenai kontrak kerja.

Kabar dari pemerintah sendiri memang ada tanggapan pada tahun kemarin dikutip dari Republika, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) menyoroti tentang persoalan hak-hak buruh perkebunan sawit yang masih memiliki PR besar ini.

Hal yang disorot oleh Ida Fauziyah (Menaker) seperti isu pekerja anak atau dibawah umur, upah murah, upah kerja lembur yang tidak dibayar, dan praktik-praktik lain yang bertentangan dengan undang-undang terkait.

Ada juga soal isu Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang utamanya mengatasi atau mengantisipasi dampak penggunaan pestisida yang dapat berdampak buruk bagi pekerja/buruh perkebunan sawit.

Dari Menaker sejumlah masalah ini akan ia coba atasi dengan melakukan tiga hal. Pertama, menyamakan persepsi dengan mengacu pada undang-undang yang ada. Kedua mengumpulkan setiap informasi terkait kondisi hubungan kerja di sektor sawit baik sebelum atau sesudah pandemi Covid-19. Ketiga, Ida akan berusaha menampung gagasan atau rekomendasi terkait hubungan kerja di sektor perkebunan sawit.

Akan tetapi, apakah usaha penanganan dari pemerintah ini akan efektif menyelesaikan berbagai masalah di sektor perkebunan kelapa sawit yang selama ini terjadi, mengingat berbagai laporan tentang perjuangan buruh sawit dalam memperjuangkan hak-haknya dengan aksi langsung maupun melalui berserikat beberapa kali menemui kegagalan di hadapan perusahaan sendiri.

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-artikel-retargeting-pixel