Sediksi – Pernikahan tidak hanya melibatkan cinta dan komitmen, tetapi juga norma-norma sosial dan hukum yang mengatur hak dan kewajiban pasangan.
Setiap budaya dan zaman memiliki cara yang berbeda dalam mendefinisikan dan mempraktikkan pernikahan, beberapa di antaranya mungkin terlihat aneh atau bahkan tidak adil bagi kita saat ini.
Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi salah satu hukum pernikahan paling aneh yang ada di kerajaan Majapahit, sebuah kerajaan yang kuat dan berpengaruh yang memerintah sebagian besar Asia Tenggara dari abad ke-13 hingga abad ke-16.
Hukum ini berkaitan dengan istilah wulanjar gadis rasa janda, yang secara harfiah berarti “gadis yang merasa seperti janda”.
Apa itu Istilah Wulanjar Gadis Rasa Janda?
Istilah wulanjar gadis rasa janda adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seorang wanita yang telah bertunangan dengan seorang pria selama lebih dari lima bulan, tetapi belum menikah dengannya.
Menurut hukum perkawinan Majapahit, seperti yang tercatat dalam Kakawin Negarakertagama, sebuah karya sastra yang menggambarkan sejarah dan budaya kerajaan, wanita seperti itu dianggap sebagai janda yang belum menikah dan belum melahirkan.
Ia tidak lagi terikat dengan pertunangannya dan ayahnya memiliki hak untuk menikahkannya dengan pria lain. Pria yang telah memberinya hadiah pertunangan, yang disebut tukon atau mahar, tidak memiliki klaim atas wanita tersebut dan harus kehilangan hadiahnya.
Mengapa ada hukum seperti itu? Salah satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa hukum ini dimaksudkan untuk mencegah pertunangan yang terlalu lama yang dapat menyebabkan perselingkuhan atau aib.
Penjelasan lain yang mungkin adalah bahwa hukum ini dimaksudkan untuk melindungi kesuburan wanita dan memastikan bahwa ia dapat menghasilkan keturunan bagi suaminya.
Apapun alasannya, hukum ini mencerminkan sifat masyarakat Majapahit yang ketat dan patriarkis, di mana perempuan hanya memiliki sedikit otonomi dan tunduk pada otoritas ayah dan suami mereka.
Cara Majapahit Mengatur Pernikahan
Istilah wulanjar gadis rasa janda bukanlah satu-satunya aspek yang tidak biasa dalam hukum pernikahan Majapahit.
Kerajaan ini memiliki sistem peraturan dan hukuman yang rumit dan terperinci yang mengatur berbagai aspek pernikahan, seperti pertunangan, mas kawin, perceraian, perzinahan, inses, dan poligami.
Aturan-aturan ini didasarkan pada prinsip-prinsip dan adat istiadat Hindu, serta tradisi dan praktik-praktik lokal.
Salah satu aturan yang paling penting adalah bahwa pernikahan harus disetujui oleh kedua keluarga dan raja. Raja memiliki kekuasaan untuk memberikan atau menolak izin pernikahan, serta menjatuhkan denda atau hukuman bagi mereka yang melanggar hukum pernikahan.
Sebagai contoh, jika seorang wanita menikah dengan seorang pria tanpa persetujuan ayahnya atau tanpa membayar kembali tukon dari pelamar sebelumnya, dia dan suaminya akan didenda empat lakh (satu unit mata uang) oleh raja.
Jika seorang pria menikahi seorang wanita yang sudah menikah dengan pria lain, dia akan dieksekusi dengan dilemparkan ke sungai dengan sebuah batu yang diikatkan di lehernya.
Aturan penting lainnya adalah bahwa pernikahan harus dilakukan dalam kasta atau kelas sosial sendiri. Masyarakat Majapahit dibagi menjadi empat kasta utama: brahmana (pendeta), ksatriya (prajurit), waisya (pedagang), dan sudra (pelayan).
Setiap kasta memiliki tugas dan haknya masing-masing, dan pernikahan antar kasta dilarang keras. Jika seorang pria menikahi seorang wanita dari kasta yang lebih rendah, ia akan diturunkan ke kasta wanita tersebut dan kehilangan status serta hartanya.
Jika seorang wanita menikah dengan seorang pria dari kasta yang lebih tinggi, ia akan dinaikkan ke kastanya tetapi tidak akan mewarisi hartanya.
Apa yang Dapat Kita Pelajari dari Hukum Perkawinan Majapahit?
Hukum pernikahan Majapahit mungkin terlihat keras dan menindas bagi kita saat ini, tetapi hukum ini juga mengungkapkan beberapa aspek menarik dari budaya dan sejarah Majapahit.
Hal ini menunjukkan kepada kita bagaimana Majapahit dipengaruhi oleh agama Hindu, yang dibawa oleh para pedagang dan misionaris India sejak zaman kuno.
Selain itu, hal ini juga menunjukkan kepada kita bagaimana Majapahit memandang pernikahan sebagai sebuah institusi yang sakral dan penting, yang tidak hanya mempengaruhi individu, tetapi juga keluarga, masyarakat, dan negara, dengan balutan khas patriarki jaman kerajaan dahulu.
Itulah ulasan mengenai istilah wulanjar gadis rasa janda, sudah jelas jika Hukum pernikahan Majapahit juga mengajak kita untuk merefleksikan pandangan dan nilai-nilai kita sendiri mengenai pernikahan jaman dulu.
Sekian artikel mengenai istilah wulanjar gadis rasa janda, semoga artikel ini dapat menambah wawasanmu, terimakasih.