Kelemahan Meritokrasi: Mendorong Diskriminasi dan Elitisme

Kelemahan Meritokrasi: Mendorong Diskriminasi dan Elitisme

kelemahan Meritokrasi

DAFTAR ISI

SediksiMeritokrasi merupakan sistem yang memberi penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, kemampuan, dan usaha mereka.

Kedengarannya seperti cara yang adil dan efisien untuk mengalokasikan sumber daya dan peluang dalam masyarakat, namun jika ditelaah lebih jauh, banyak sebenarnya kelemahan meritokrasi ini.

Lagipula, siapa yang tidak ingin hidup di dunia di mana yang terbaik dan tercerdas diakui dan dihargai atas pencapaian mereka, terlepas dari latar belakang atau keadaan mereka?

Faktanya, meritokrasi memiliki banyak kekurangan dan kelemahan yang merusak janjinya akan kesetaraan dan keadilan. Dalam artikel ini, kita akan membahas beberapa kelemahan meritokrasi dan mengapa meritokrasi bukanlah sistem yang ideal untuk organisasi sosial.

Kelemahan Meritokrasi

Kelemahan Meritokrasi: Mendorong Diskriminasi dan Elitisme - Kekurangan Meritokrasi
Image from onemanadreaming

Meritokrasi didasarkan pada keberuntungan, bukan prestasi

Salah satu kritik utama terhadap meritokrasi adalah bahwa sistem ini didasarkan pada keberuntungan, bukan prestasi.

Meritokrasi mengasumsikan bahwa setiap orang memiliki akses yang sama terhadap peluang dan sumber daya, dan bahwa keberhasilan atau kegagalan mereka hanya bergantung pada bakat dan usaha mereka sendiri.

Namun, kenyataannya tidak demikian. Banyak faktor yang memengaruhi prestasi seseorang, seperti bakat genetik, pola asuh, pendidikan, kesehatan, jaringan sosial, dan kondisi lingkungan, sebagian besar ditentukan oleh keberuntungan, bukan karena pilihan atau kendali. Istilahnya adalah prestasi bisa dibentuk karena ada privilege.

Selain itu, meskipun seseorang memiliki kelebihan, hal tersebut tidak menjamin kesuksesan, karena kesuksesan juga bergantung pada keberuntungan, seperti berada di tempat dan waktu yang tepat, bertemu dengan orang yang tepat, atau menghadapi situasi yang tepat.

Meritokrasi mendorong keegoisan, diskriminasi, dan elitisme

Kelemahan meritokrasi lain adalah mendorong keegoisan, diskriminasi, dan elitisme. Meritokrasi mendorong budaya kompetitif dan individualistis, di mana orang termotivasi oleh kepentingan pribadi dan keuntungan pribadi, bukan oleh tanggung jawab sosial dan kesejahteraan bersama.

Meritokrasi juga memperkuat ketidaksetaraan dan

, dengan melegitimasi dominasi kelompok-kelompok yang memiliki hak istimewa dan meminggirkan kelompok-kelompok yang kurang beruntung.

Meritokrasi menciptakan jurang pemisah antara yang menang dan yang kalah, yang punya dan yang tidak punya, orang dalam dan orang luar.

Selain itu, meritokrasi dapat membuat orang menjadi lebih bias dan berprasangka, karena mereka cenderung mengaitkan kesuksesan mereka sendiri dengan prestasi dan kegagalan orang lain dengan kurangnya prestasi, terlepas dari penyebab yang sebenarnya.

Hal ini dapat menyebabkan kurangnya empati, kasih sayang, dan solidaritas, serta kecenderungan untuk menyalahkan dan menstigmatisasi korban ketidakadilan dan kemalangan.

Meritokrasi juga dapat membuat orang menjadi kurang kritis dan lebih resisten terhadap perubahan, karena mereka menjadi puas diri dan defensif terhadap posisi dan status mereka sendiri.

Meritokrasi ‘merusak’ demokrasi

Kelemahan meritokrasi yang terakhir adalah merongrong demokrasi. Meritokrasi bertentangan dengan prinsip demokrasi tentang persamaan hak dan perwakilan, karena memberikan lebih banyak kekuasaan dan pengaruh kepada segelintir orang yang dianggap berjasa, dan lebih sedikit kepada banyak orang yang dianggap tidak layak.

Dalam pandangan Young (1950) sendiri, orang yang melahirkan istilah ini, meritokrasi dianggap sebagai masyarakat dengan kondisi di mana elite baru akan bersosialisasi hanya pada kelompok yang memiliki latar belakang sosial dan kelas ekonomi yang sama.

Seperti, puncak kepemimpinan akan dipimpin para ‘elit’ yang jumlahnya sangat sedikit. Sedangkan berbanding terbalik dengan demokrasi, kebebasan politik dan individu akan berkurang karena semua ‘dipaksa’ untuk bekerja keras untuk mendapatkan penghargaan yang setimpal.

Sebagai kesimpulan, mungkin meritokrasi ini bukanlah solusi untuk masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam masyarakat, namun gagasan tentang meritokrasi cukup menarik karena memiliki kemampuan dan bakat adalah segalanya.

Dari berbagai kelemahan meritokrasi tadi, alih-alih meritokrasi, kita membutuhkan sistem yang didasarkan pada kesetaraan, keragaman, dan solidaritas.

Sebuah sistem yang mengakui dan menghormati keragaman semua orang, dan yang memberikan kesempatan dan sumber daya yang sama bagi semua orang untuk berkembang dan berkontribusi.

Sebuah sistem yang menumbuhkan budaya kerja sama dan saling mendukung, bukan persaingan dan individualisme. Sebuah sistem yang mengedepankan kebaikan bersama dan kepentingan umum, daripada keuntungan pribadi dan kepentingan elit.

Sistem seperti ini bukanlah hal yang mustahil atau utopis. Hal ini mungkin dan diinginkan, jika kita bersedia untuk menantang dan mengubah status quo, dan bekerja sama untuk dunia yang lebih baik dan lebih adil.

Baca Juga
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-artikel-retargeting-pixel