>
Liputan: Keluh Kesah Mahasiswa Akhir Terhimpit Skripsi

Keluh Kesah Mahasiswa Akhir Terhimpit Skripsi

kisah mahasiswa abadi mengerjakan skripsi
ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Skripsi menjadi momok bagi sebagian mahasiswa. Tugas akhir ini ibarat Benteng Takeshi, penuh rintangan dan harus hati-hati. Mengandalkan seluruh kemampuan baik fisik apalagi pikiran.

Sediksi menemui tiga mahasiswa akhir yang berada di semester dua digit menceritakan perasaan mereka mengerjakan skripsi di waktu-waktu kritis. Perasaan bercampur aduk, masalah silih berganti tapi skripsi harus dijalani.

Harus kuat mental: Ajukan 50 judul, berakhir dengan penolakan 

Rasa sedih, putus asa, dan kecewa menyesaki relung hati Julyana Tamba, mahasiswa jurusan politik di salah satu kampus di Malang. Ia memasuki semester 12. Julyana pernah mengajukan 50 judul skripsi kepada dosen pembimbingnya, dan semuanya ditolak!

Ia makin merana karena di sisi lain, ia melihat teman-temannya sudah lancar meluncur dengan judul yang diterima, mengerjakan proposal, bahkan ada yang sudah seminar proposal. Sedangkan dirinya masih harus berjuang dengan judul yang ditolak puluhan kali.

Rendah diri sudah pasti, minder, dan kecewa pada diri sendiri. Ia menyalahkan diri sendiri kenapa proses yang ia alami jadi terjal. Sedangkan temannya seperti mulus-mulus saja.

“Sudah dua tahun ngerjain skripsi. Satu tahun struggle di judul tambah lagi ada drama-drama pengganti pembimbing, jadi satu tahun itu sempat di urusan yang agak-agak nggak penting. Satu tahun lagi aku mulai ngerjain skripsi dan udah sempro (seminar proposal)” ujar Julyana.

Menuju sidang akhir, Julyana kesulitan tentang teori. Sebenarnya skripsi yang dikerjakannya bukan topik yang diinginkan. Ia ingin topik lain tapi terhalang keinginan dosen. 

Tekanan menjadi-jadi saat ia juga harus menghadapi masalah keluarga. Belum lagi beban keuangan karena pendapatan orangtua yang berkurang akibat pandemi.

Frustrasi gegara sistematika skripsi yang ribet

“Aku mau sempat nyerah, loh. Dosen nggak ngasih solusi,” kenang Yora (22) soal pengalamannya mengerjakan skripsi, 

Mahasiswa Sastra Inggris di salah satu kampus di Malang ini menuturkan, di kampusnya, mahasiswa wajib menyerahkan judul dan proposal untuk mengajukan dosen pembimbing skripsi. Itu pun hanya bisa dilakukan di semester 8. Pengajuan pertama, ditolak. 

Kala itu semangatnya sudah menurun, belum lagi dosen sementara yang tidak membantu. Di pengajuan kedua barulah ia mendapat dosen pembimbing. Proposal kedua yang diajukannya hanya ditulis dalam waktu tiga jam.

Bimbingan skripsi yang seharusnya menjadi wadah tukar pendapat dan pikiran juga tak terlalu berjalan lancar. Kadangkala ia menunggu begitu lama padahal sudah janjian. Di saat Yora menghilang lama, sekitar berbulan-bulan, dosennya pun tak mencari.

Suasana skripsi sulit ditambah dengan masalah pribadi campur aduk jadi satu. Yora berpesan untuk jangan terlibat cinta-cintaan saat skripsian. Menurutnya intrik pribadi ini dapat membagi fokus.

“Orang kalau udah berhubungan dengan perasaan tuh tolol termasuk saya dan jangan ada pikiran karena mau di sini (Malang) kamu melalaikan skripsi, selesaikan, terus cari kerja. Salahnya aku di situ, aku nggak mau pulang, jadi aku masih menunda-nunda,” tutur Yora.

Mulai skripsi biar ada kerjaan

Cerita Rayyan agak berbeda dengan dengan dua narasumber lainnya. Mahasiswa Ilmu Komunikasi UB ini memberikan kisah alternatif yang berbeda soal skripsian.

Rayyan akhirnya mengerjakan skripsi biar ada kerjaan. Ia mulai serius mengerjakan skripsi di akhir semester 9 tepat dua bulan lalu.

“Sebelumnya main-main aja, ngerjain tapi nggak terlalu serius. Awalnya masih kayak belum serius lama-lama ngerasa kayak nggak ada kerjaan, terus akhirnya aku seriusin skripsi biar ada kerjaan, gitu,” ujarnya.

Dirinya sempat mengganti dosen pembimbing karena kurang cocok dengan kajiannya. Sebulan kemudian ia baru mulai mengerjakan skripsi dengan serius.

Lebih dari setengah angkatannya sudah lulus. Tidak seperti mahasiswa lainnya yang cenderung panik karena teman-teman lulus duluan, Rayyan tipe mahasiswa santai yang kebetulan tak diburu-buru keluarga juga. Diakuinya, keluarganya tak pernah menekan untuk segera lulus

“Sebenarnya awal-awal tuh nggak ngerasa apa-apa sih, karena emang dari akunya tuh nggak ada tekanan buat lulus tepat waktu atau lulus cepat tapi makin ke sini karena ngeliat udah banyak teman-teman yang lebih banyak lagi sempro, lebih banyak lagi ujian, agak-agak pengen cepat-cepat sih sebenernya, ya teman-teman juga udah nggak di Malang soalnya,” jelas Rayyan.

Lingkaran pertemanannya memang kecil. Hal ini memberi keuntungan dan kerugian. Keuntungannya adalah ia tidak ikut kena ombak buru-buru selesai skripsi seperti mahasiswa umumnya. Kerugiannya adalah satu-persatu temannya yang lulus itu segera memberi rasa sepi. 

Soal lulus tepat waktu

Momen perayaan ujian yang lazim terjadi di kampus-kampus juga sedikit banyak berpengaruh pada keadaan mental para mahasiswa. Di satu sisi, itu bisa memotivasi, di lain sisi, perayaan itu juga bisa menjelma jadi tekanan.

“Apalagi di Instagram, mereka yang sudah selesai kuliah terus membagikan momen. Ngeliat itu pasti ada rasa minder, tekanan buat diri sendiri, ditambah orangtua juga kadang nelpon nanya kapan ujian, kapan lulus, kapan wisuda. Pasti ada tekanan buat aku,” terang Julyana.

Mau tidak mau ia harus menjalankan. Katanya ia belajar menelan kesedihan bulat-bulat. Walaupun kadang mesti mengerjakan sambil nangis karena harus segera merampungkan skripsinya.

Awalnya ia sempat punya teman mengerjakan skripsi selama beberapa bulan. Namun, temannya itu harus kembali ke kota asal. Ujung-ujungnya support system paling utama tetap diri sendiri.

“Cuma aku yang menguatkan diriku sendiri, yang memotivasi diri sendiri. Orangtua pastilah doain, dukung juga, walaupun kadang mereka ya marah-marah menekan kita,” katanya.

Menurutnya, sudah jadi konsekuensinya karena lama lulus. Orang-orang pun melempar pertanyaan-pertanyaan sakti yang muncul seperti kapan lulus, kapan wisuda, dan kapan-kapan lainnya. Selain itu, teman-temannya yang sama-sama mengalami hambatan dalam skripsi adalah support system lain yang paling mengerti.

Sampai saat ini Julyana masih berjuang untuk ujian akhir. Sulitnya bertemu jadwal dengan dosen membuat skripsinya masih terbengkalai berbulan-bulan. Pada saya, ia meminta didoakan agar urusan skripsinya segera kelar.

Perayaan di Instagram yang bikin minder

Tak jauh beda dengan Julyana, Yora juga sempat menonaktifkan akun Instagram karena tidak tahan melihat banyak perayaan kelulusan di Instagram.

“2022 masih biasa, 2023 makin banyak yang udah lulus. Aduh aku nggak mau liat-liat itu terus. Bapak Ibu juga sebenarnya nggak nuntut tapi kayaknya masanya udah selesai jadi harus diselesaikan, kuliah kan (harusnya) empat tahun. Pressure-nya di situ,” kata Yora.

Yora senang melihat teman-teman yang bikin banner beserta nama dan gelarnya, lalu diberi hadiah oleh teman-teman, dan selempang kelulusan. Ia bertanya-tanya kapan ia yang berada di posisi tersebut sembari membayangkan siapa yang akan datang merayakan kelulusannya nanti karena teman-temannya sudah selesai lebih dulu.

“Aku sampai menonaktifkan Instagram. Aku nggak mau lihat orang wisuda,” kata Yora.

Awalnya Yora santai saja dengan skripsinya, ditambah dengan kecintaannya kepada Malang. Ia urung segera menyelesaikan karena masih ingin tinggal di kota ini.

Perubahan suasana kuliah dari daring karena pandemi ke luring menjadi alasan lainnya. Ia masih terbawa suasana santai kuliah saat pandemi, bahkan sampai waktu skripsi tiba.

Pada akhirnya, ia sengaja menyempatkan diri mengerjakan di perpustakaan kampus untuk mendapatkan kembali euphoria mahasiswa dan perkuliahannya.

Taktik skripsian tanpa depresi

Tidak pernah menangis apalagi depresi karena skripsi, begitulah Rayyan sebagai mahasiswa semester 10.

“Enggak ada nangis tapi kalau misal lagi buntu nggak tahu mau nulis apa atau nggak ngerti sesuatu, rasanya tertekan. ‘Seharusnya nggak kayak gini, seharusnya bisa’ gitu aku mikirnya,” katanya.

Tanpa drama menangis dan depresi, Rayyan justru segera menggeber vespanya menuju tempat-tempat ‘healing’, misalnya ke Bromo.

“Itu bagian dari pelarian lah. Pelarian saat buntu, habis jalan-jalan balik ngerjain skripsi jadi cepat, maksudnya kayak nggak banyak hambatan dan mikirnya jadi lancar,” sambungnya.

Rayyan pun memakai sistem hari kerja dalam mengerjakan skripsi. Dalam sehari rata-rata mengerjakan skripsi selama dua jam. Kalau serius sekali barulah mengerjakan setengah hari. Hari aktif mengerjakan skripsi paling serius adalah tiga hari saja. Ia pantang mengerjakan skripsi di hari Sabtu dan Minggu.

Rayyan memahami betul bahwa skripsi yang dia kerjakan bukanlah misi mengubah dunia. Alih-alih berpikir demikian, ia justru menemukan bahwa skripsi lah yang membentuk pola pikirnya.

“Skripsi bagus buat kita punya kerangka berpikir yang runut. Makanya ngerjainnya jangan terpaksa, kalau bisa enjoy aja,” ujarnya sembari tersenyum.

Akan tetapi, kalau boleh mengulang waktu. Rayyan ingin mengerjakan skripsi lebih awal atau sesuai pada waktunya. Tidak menunda tidak juga main-main. Rupanya menunda-nunda skripsi sama artinya dengan menunda rencana-rencana lain.

Penulis

Sara Salim

Melanjutkan hidup dari satu topik ke topik lain.