4 Faktor Penyebab Bisnis Studio Musik Gulung Tikar

4 Faktor Penyebab Bisnis Studio Musik Gulung Tikar

Studio Musik: Nasibnya Kini
Ilustrator: Ahmad Yani Ali R.

Jika selera pasar saat ini musik-musik 'akustik', apa perlu kita main ke studio musik?

Jika kamu adalah anak-anak band yang tumbuh di era akhir 90an hingga awal 2000an, saya pastikan sekarang mulai bertanya-tanya ketika rindu suasana jamming di studio musik. Apalagi di masa pandemi seperti ini, rasa kangen untuk sekadar nyetem gitar makin tak terbendung. Demi kesehatan bersama jadi gak masalah sih gak kumpul-kumpul sementara. Saya cuma mau berbagi rasa kangen ke studio musik.

Sadar atau tidak, tanpa pandemi sekalipun keberadaan studio musik mulai langka baik di kota-kota besar maupun di kota-kota kecil. Dalam pengamatan saya, sedikitnya ada empat faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Berikut analisis santainya.

1. Arah Pasar Musik

Studio musik pernah menjadi salah satu tempat anak “gaul” berkumpul. Kemudian, saling kenal dan berbagi tentang musik, baik yang sudah senior maupun junior. Dan kebanyakan pemilik studio musik adalah mereka yang memang sudah senior di dunia musik. 

Namun pada era 2010an, sepertinya telinga orang Indonesia mulai menyukai musik yang terdengar lebih slow dan kalem. Pada masa ini musik–yang dulunya penuh dengan harmonisasi dan distorsi berbagai alat musik, mampu dikemas lebih sederhana dengan tema “akustik”. Sehingga hal ini mempengaruhi keberadaannya, karena latihan akustikan bisa dilakukan di rumah dengan bermodal gitar dan kahon yang tidak terlalu berisik dan menganggu. Akibatnya, berkurangnya minat anak muda untuk datang dan latihan di studio musik.

Hari ini, EDM (Electronic Dance Music) merajai dunia, rata-rata musik mengarah ke sana. Hal ini sangat mempengaruhi keberadaan studio musik apalagi studio musik yang tidak menyediakan jasa rekaman. Sebab, EDM yang seharusnya juga hasil kolaborasi dari berbagai macam alat musik, sekarang bisa dengan mudah dihasilkan hanya dengan aplikasi seperti MIXXX, DJ PROMIXER, dan masih banyak lagi, dengan bermodalkan laptop DJ (Disc Jokey) sehingga mampu menghasilkan harmonisasi musik yang apik.

2. Kemudahan Teknologi

Perkembangan teknologi memang tidak bisa dihindari. Teknologi mempengaruhi semua level kehidupan, mulai dari komunikasi, pola hidup, film, hingga dunia musik. Seperti halnya di atas, musik EDM bisa dibuat dengan bermodalkan laptop melalui aplikasi yang bisa menciptakan harmonisasi yang cukup mengagumkan. 

Selain itu, membangun home recording juga lebih mudah serta murah. Menariknya, itu bisa terus digunakan tanpa menggerus biaya. Ini lebih efisien daripada menghabiskan waktu di studio musik. Tak cuma waktu, biaya pun jelas berkurang. Dengan biaya 7.5 juta, kamu sudah bisa membangun home recording sendiri. Cukup menggiurkan, bukan?

Setelah memiliki alat rekaman sendiri, sekarang proses menyunting musik pun cukup mudah. Bermodalkan aplikasi seperti Audacity kita sudah bisa melakukan proses sunting sendiri. Lalu, cek Youtube untuk melihat apakah musik kita siap untuk didengar dan dipasarkan ke khalayak. Mudah, bukan?

3. Musik dan Stigma Negatif!!

Sampai hari ini mungkin masih banyak orang tua yang memiliki sentimen tersendiri dengan dunia musik. Dunia musik masih dianggap bukan pekerjaan yang menjanjikan, padahal sudah banyak bukti bahwa musik bisa menghantarkan seseorang untuk hidup lebih layak. Akan tetapi, mitos selalu berulang. Kerja di kantor dengan kemeja rapi, berdasi, dan sepatu fantovel masih dianggap orang tua sebagai pekerjaan yang paling baik. Apa hanya karena gengsi kalau anaknya tidak berseragam?

Baca Juga: Gagal Jadi PNS? Jangan Bersedih, Ini Cara Mewujudkan Cita-Citamu yang Tertunda

Begitu pun studionya, yang dari dulu selalu dianggap dekat dengan kenakalan remaja, seperti minuman keras hingga narkoba. Hal ini masih menjadi ketakutan tersendiri (mungkin) bagi sebagian orang tua. Jika kalian sudah nonton film yowis ben, di dalam film itu jelas menunjukan bahwa orang tua lebih percaya jika anaknya melakukan latihan band di rumah. Bapaknya Nando (salah satu peran di yowis ben) membelikan satu set lengkap alat band di rumahnya agar Nando dan teman-teman dapat latihan di rumah saja. Jadi, tak mengherankan apabila merunut pada film itu, zaman sekarang tak lagi diminati. 

4. Biaya Listrik Mahal

Saat ini biaya listrik juga menjadi concern permasalahan yang ada di Indonesia. Hal ini juga menjadi salah satu permasalahan yang menyebabkan mulai punahnya studio musik.

Bayangkan, sekarang harga listrik antara Rp1000 hingga Rp1600 per kWh, sangat berbeda jauh dengan harga listrik era 2000an awal tidak lebih mahal dari Rp500 per kWh. Sehingga dengan sepinya peminat untuk datang ke studio musik dan semakin mahalnya biaya untuk bayar listrik membuat pegiat bisnis studio musik gulung tikar.

Itulah empat alasan mulai punahnya studio musik, tapi saya yakin with or without studio musik, musik serta bakat-bakat anak Indonesia akan selalu berkembang. Buktinya, nama-nama baru di belantara musik air terus bertambah. Ya, sekalipun itu artis-artis aji mumpung.

Editor: Fajar Dwi Ariffandhi
Penulis
Muhammad Lail Ramadhan

Muhammad Lail Ramadhan

Perangkat ASN (Anaknya Suka Nidur)
Topik
notix-opini-retargeting-pixel