Akan Aku Hadapi Dunia Asalkan Ada Cowok K-POP!

Akan Aku Hadapi Dunia Asalkan Ada Cowok K-POP!

Akan Aku Hadapi Dunia Asalkan Ada Cowok K-POP!
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Selain alasan karya, dalam industri K-pop, hubungan penggemar dan idola adalah kunci. Ini yang jadi pembeda dengan industri pop lainnya. Dalam hal ini, mereka tidak hanya jualan karya, tetapi juga menjajakan perasaan terhubung antara penggemar dan sang idola.

Sewaktu remaja, aku sempat berpikir akan berhenti jadi fangirl idol K-pop ketika berumur 25 tahun. Kayaknya di umur 25 tahun nanti, aku gak bakal ngefangirl lagi, deh.

Nyatanya, pemikiran itu menguap begitu aku menginjak fase quarter life crisis. Baru kusadari kemudian, kehadiran cowok K-pop membuat hidup yang ada-ada saja jadi agak mendingan. Mungkin sebetulnya lebih baik ketimbang mendingan.

Banyak orang bertanya, memangnya apa sih kontribusi cowok K-pop buat kehidupanku sehari-hari?

Meski terdengar agak alay, kehadiran cowok K-pop setidaknya bisa meredam gejolak di hidup yang ada-ada aja dan penuh kejutan.

Sebetulnya, agak sulit menjelaskannya dan bisa jadi akan terdengar tak rasional, tetapi tak apa. Lewat tulisan ini akan kujelaskan mengapa kehadiran cowok K-pop membuatku lebih percaya diri bahwa segalanya bisa dihadapi.

Membentuk ikatan

Terkadang ada hari-hari yang sangat melelahkan. Tanggungan pekerjaan baru usai setelah energi terkuras. Belum lagi, hal-hal lain yang mesti dihadapi sepanjang hari.

Hari sialan macam itu bisa selamat karena sebuah notifikasi di Weverse, platform komunitas penggemar.

Kala itu, Jeon Wonwoo, rapper grup Seventeen, mengunggah sesuatu di platform itu. Wonwoo adalah biasku. Bias adalah sosok favorit dalam suatu grup idol.

“Hai Carat (sebutan penggemar Seventeen), aku sudah menuntaskan kegiatanku. Hari ini aku telah bekerja keras. Begitu pula dengan kalian.”

Membaca pesan singkat itu, aku merasa ada yang mengerti dan memahami perasaan lelahku. Kau tahu, hal sekecil itu bisa membuat dada tiba-tiba hangat.

Hampir setiap hari para member Seventeen bertukar kabar di Weverse dengan para penggemar. Kalimat-kalimatnya pun kerap kali memberikan harapan kalau hidup memang layak untuk diperjuangkan.

Interaksi semacam itu membuat penggemar dan idol, yang bagai bumi dan langit, jadi terasa lebih dekat.

Selain alasan karya, dalam industri K-pop, hubungan penggemar dan idola adalah kunci. Ini yang jadi pembeda dengan industri pop lainnya. Dalam hal ini, mereka tidak hanya jualan karya, tetapi juga menjajakan perasaan terhubung antara penggemar dan sang idola.

Itulah mengapa K-POP juga memiliki solidaritas fandom yang kuat. Tidak hanya solidaritas yang terbentuk, hubungan antar idol K-POP dengan fans juga menghadirkan sesuatu yang disebut parasocial relationship.

Parasocial relationship atau hubungan parasosial merupakan hubungan sepihak yang terbentuk ketika salah satu pihak memberikan minat, waktu, dan energi kepada pihak lain.

Sayangnya, pihak lain itu tidak mengetahui keberadaan pemberi energi emosional tersebut. Artinya, itu merupakan hubungan satu sisi.

Hubungan parasosial itu tidak hanya sebatas mengikuti konten tetapi orang juga memandang selebriti sebagai teman atau orang kepercayaan.

Dengan hubungan parasosial, banyak dari penggemar K-pop termasuk saya memiliki identitas baru dan sering dijadikan sebagai zona aman hingga alasan untuk bertahan hidup.

Perasaan terikat pada sosok selebriti juga dapat menciptakan rasa nyaman atau tempat berlindung yang aman. Hal ini membantu orang bertahan melalui tantangan hidup yang paling sulit.

Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Time, hubungan parasosial ini semakin meningkat sejak COVID-19. Ketika banyak orang yang terisolasi di rumah dan tidak dapat menghabiskan waktu bersama teman dan keluarga mereka lalu tertarik pada komunitas online, termasuk fandom.

Ngefangirling menjadi cara untuk bertahan hidup

Sadar atau tidak, nge-fangirling menjadi cara seseorang untuk bertahan hidup di dunia yang ada-ada aja. Nah, dengan menjadi fans ada tiga kebutuhan dasar psikologis yang terpenuhi yaitu validasi, kepuasan atau kesenangan, dan gairah.

Validasi sendiri adalah kebutuhan untuk mendapatkan dukungan sehingga kita menjadi puas dan menerima dengan diri sendiri. Kerap kali kita ngefans dengan seseorang karena memiliki pengalaman dan nilai yang sesuai dengan kita.

Kita merasa dipahami oleh si idol karena kata-kata penyemangat mereka di platform komunitas dan diwakilkan oleh sosok tersebut. Penggemar cenderung menganggap fans sebagai sosok yang ideal dan menjadi role model kita.

Perasaan ini semakin dipahami setelah kita bertemu dengan fans lain yang mirip dengan kita. Penggemar itu menjadi merasa tidak sendiri dan mendapatkan keyakinan bahwa apa yang kita rasakan itu wajar.

Menjalani kehidupan yang monoton orang dewasa sungguh menjemukan. Manusia cenderung mencari hal yang dapat memberikan rasa senang dan puas secara berulang.

Kesenangan sendiri bisa diperoleh dari dua faktor, internal dan eksternal. Eksternal adalah hal-hal yang memuaskan sensasi tubuh seperti suara yang merdu. Sementara itu internal adalah hal yang memuaskan karena kriteria pribadi seperti wajah yang tampan, cerita yang unik, dan menarik.

Terakhir adalah gairah yaitu kebutuhan untuk terstimulasi dan bergairah dalam hidup. Gairah memicu kita untuk mencari pengalaman yang menimbulkan rangsangan dan energi. Dengan gairah kita bisa mendapatkan dorongan energi untuk beraktivitas dan mengurangi rasa bosan pada hal yang monoton dalam kehidupan sehari-hari.

Hmm, jadi udah ada sedikit paham kan mengapa banyak kaum hawa yang merasa lebih hidup setelah mendapatkan update dari cowok K-pop.

Ya, karena kebutuhan psikologis kita terpenuhi, menjadi jomblo tidak masalah asalkan ada cowok K-pop, senggaknya dunia jadi nggak sepi-sepi amat!

Aku K-popers terus kenapa, hah?

Orang-orang mungkin menganggap fangirling itu buang-buang waktu. Padahal, bagi pelakunya, fangirling bisa memberi sesuatu yang kini digelorakan di sana-sini, yakni mengenal diri sendiri.

Mengenal diri sendiri juga berarti memberi perhatian lebih dengan memahami kondisi pikiran, emosi, sensasi tubuh, serta interaksi diri dengan orang lain.

Dengan ini kita juga bisa mengenali kelebihan dan kekurangan, nilai, keyakinan, serta mengevaluasi dan membandingkan hal tersebut dengan standar diri dan lingkungan.

Menjadi fans sendiri bisa menjadi salah satu cara untuk membentuk identitas dengan menjawab “siapa aku?”

Identitas ini juga akan memberikan dampak psikologi dan bentuk perilaku yang berbeda pada seseorang. Menjadi fan berarti membentuk identitas personal dan mengambil karakteristik atau ciri dari hal yang diminati.

Peneguhan identitas ini melekat pada kedirian. Buatku, fangirling lebih dari menggemari idola. Ia membuatku mengenali siapa aku sesungguhnya. Kegiatan ini menyuntikkan energi yang terkuras di kehidupan yang seringkali tak terduga dan menyelamatkanku dari asam lambung kehidupan.

Cowok-cowok K-pop membuatku yakin dunia ini patut diperjuangkan.

Jadi, berkat mereka aku lebih berani buat mengatakan, “terobos ajalah anying!”

Editor: Rifky Pramadani J. W.
Penulis

Anatasia Anjani

Sarjana komunikasi yang menekuni dunia tulis menulis di berbagai situs media nasional. You can recognize me by my signature voice.
Opini Terkait
Opini Menjadi Jomblo Idealis Morrissey min min
Ustadz Aa Gym

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel