Membaca Ulang Cerita Rakyat Kita Setelah Dewasa

Membaca Ulang Cerita Rakyat Kita Setelah Dewasa

Membaca Ulang Cerita Rakyat Kita Setelah Dewasa
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Seturut tumbuh kembang kita menjadi dewasa, sudut pandang kita jelas akan berubah, dan cerita rakyat kita terasa amat janggal. Muaranya pada persoalan penokohan.

Coba ingat-ingat lagi apa yang kamu dapatkan dari membaca atau mendengar cerita rakyat kita. Mungkin sekadar ingat, mungkin pula kamu merasa ini cerita apaan banget dah!

Pernah tidak, terpikir kalau cerita rakyat mempermainkan alur berpikir kita jadi agak morat-marit.

Benarkah tokoh-tokoh antagonis di cerita rakyat sepenuhnya bersalah?

Benarkah tokoh-tokoh protagonis di cerita rakyat tidak problematik?

Mungkin saat kita masih anak-anak, para antagonis di cerita rakyat tampak mengerikan, culas dan jahat. Mereka menyiksa tokoh-tokoh protagonis yang baik hati, polos, pemberani, cantik atau tampan, dan sebagainya.

Semua atribut buruk rasanya bisa ditempelkan ke jidat tokoh antagonis. Itu, dulu.

Seturut tumbuh kembang kita menjadi dewasa, sudut pandang kita jelas akan berubah, dan cerita rakyat kita terasa amat janggal. Muaranya pada persoalan penokohan.

Apa yang saya pahami sekarang jelas berbeda dengan makna yang saya peroleh waktu masih kanak-kanak. Semua orang Indonesia yang tumbuh bersama cerita rakyat barangkali merasakan hal serupa.

Membaca ulang cerita rakyat kita dengan sudut pandang yang lebih dewasa membuat kisah tokoh-tokohnya sulit diterima nalar. Silakan cerna kembali kisahnya dari sudut pandang orang dewasa.

Buto Ijo di Timun Mas – Menagih hutang malah digalakin

Buto Ijo adalah adalah sosok antagonis dalam cerita itu. Ia seorang (atau seekor, atau apapun itu lah) raksasa yang datang menagih janji ke seorang nenek. Janji adalah hutang, bukan?

Sebelumnya, mereka terikat perjanjian untuk menggunakan kemampuan sihir si Buto Ijo guna memberi si Nenek seorang cucu.

Tentu, bersekutu dengan kekuatan gaib ada konsekuensinya. Buto Ijo memberi syarat kalau kelak si cucu, yang diberi nama Timun Mas, berusia 6 tahun dia akan mengambilnya. Untuk dimakan! Si Nenek menyanggupi.

Pada saat perjanjian tiba, si Nenek malah ingkar. Berkali-kali pula. Baru 9 tahun kemudian Timun Mas ‘diserahkan’. Celaka bagi Buto Ijo, ia dijebak. Ia ditipu, mesti melakoni bermacam rintangan, dan kemudian mati mengenaskan karena tenggelam di lautan lumpur.

Dua tokoh dalam cerita ini sama-sama sulit dinalar, dan lebih cocok jadi alur cerita sinetron.

Sangkuriang – Kisah aneh manusia menikahi hewan

Sejujurnya aku ingat cerita rakyat ini terasa agak aneh saat pertama kali kubaca di usia 6-7 tahun. Otak mudaku lebih tidak bisa mencerna, kok bisa perempuan cantik menikah dengan seekor anjing?

Untung anjingnya ternyata jelmaan titisan dewa. Nah kalau anjingnya murni anjing? Apa tidak sawan itu menghabiskan seumur hidup dengan status sebagai ‘istrinya anjing’.

Sekarang, saat kubaca kembali kisahnya, rasanya jauh lebih disturbing karena aku menyadari beberapa hal.

Pertama, aku bingung apa sebenarnya pesan moral dari legenda satu ini. Kenali calon pasanganmu sebelum menikah?

Kedua, betul bahwa Sangkuriang tidak tahu kalau perempuan cantik yang dicintainya adalah ibunya sendiri. Sangat wajar dia tidak percaya saat perempuan itu tiba-tiba mengatakan dia adalah ibunya.

Dayang Sumbi diberkahi penampilan awet muda, meski sebetulnya ia lebih cocok disebut paruh baya. Bagaimana bisa seseorang dengan tubuh dan pikiran dewasa mau membalas perasaan bocah bau kencur?

Sejak awal memang tak masuk akal. Setelah mengawini anjing, kemudian diajak kawin sosok yang ternyata anaknya sendiri? Bikin ingin mengumpat saja!

Roro Jonggrang – Kisah nelangsa seorang bucin akut

Duh, cerita rakyat tentang kebucinan tingkat akut Bandung Bondowoso untuk Roro Jonggrang.

Dalam beberapa versi, dikisahkan bahwa selain candi, Roro Jonggrang juga memberikan syarat berupa harus dibangunnya sumur bernama Jalatunda dalam waktu semalam.

Bandung Bondowoso yang sakti mudah saja merampungkannya, dan menunjukkan pekerjaan sepele macam itu ke Roro Jonggrang.

Nahasnya, sang putri malah menjungkalkannya ke sumur Jalatunda, dan memerintahkan bawahannya untuk mengubur sang pangeran hidup-hidup.

Untung, sekali lagi, karena Bandung Bondowoso sakti, ia selamat. Apakah Bandung marah nyaris dibunuh seperti itu oleh perempuan yang dia cintai? O, tentu tidak.

Si bucin itu malah lanjut membangun 1000 candi yang kemudian kembali digagalkan oleh Roro Jonggrang. Sebetulnya, Roro Jonggrang punya alasan masuk akal untuk menolak, yaitu karena Bandung Bondowoso adalah orang yang membunuh ayahnya.

Lagi-lagi, apa yang dilakukan tokohnya sulit dipahami, terutama Bandung Bondowoso. Kalau boleh berpesan, saya ingin pinjam kata-kata bucin yang jamak di media sosial, “bucin boleh, bego jangan!”

Bawang Putih Bawang Merah

Cinderella dengan kearifan lokal, versi tanpa ada pangeran. Di akhir cerita, Bawang Putih bukan ditemukan dan dibawa pangeran pampan ke istana.

Ceritanya begini, si Bawang Putih adalah anak tiri yang tinggal bersama ibu tirinya dan anak ibu tirinya itu, si Bawang Merah. Mereka bertiga tinggal di rumah warisan ayah kandung Bawang Putih yang sudah wafat.

Celakanya, Bawang Putih kelewat polos dan kemudian justru diperbudak oleh ibu tiri dan saudara tirinya. Ia tak melawan entah karena polos atau memang pengecut.

Cerita berbalik arah jadi menguntungkan si Bawang Putih saat ia memperoleh bantuan kekuatan ajaib. Seorang nenek memberinya sebuah labu berisi emas, permata, dan perhiasan. Senang dong, keluarga mereka tiba-tiba jadi OKB.

Bawang Merah pun iri. Ia mencari nenek itu dan meminta labu yang sama. Kali ini, berbeda, sebab isi labu itu hewan-hewan berbisa seperti ular. Saat dibawa pulang semua terkejut, minta ampun dan meminta maaf pada Bawang Putih atas kelakuan mereka selama ini.

Bawang Putih memaafkan mereka, dan cerita selesai.

Satu hal yang aneh, kenapa nama mereka kudu sebumbu itu sih? Lagipula, sudah beda ibu kandung, namanya malah disamakan. Kurang kreatif ah. Mestinya diperjelas saja karena status mereka berbeda, misalnya Bawang Putih dan Lengkuas.

Cerita rakyat kita bikin gemas karena saat dibaca dengan sudut pandang dewasa sulit diterima nalar. Memang, tujuannya untuk memberi nilai moral pada anak-anak dan berakhir happy ending.

Cerita yang rumit sulit dipahami anak-anak. Alur yang panjang dan bertele-tele cocok jadi sinetron kejar tayang yang idenya tak jelas dan amburadul.

Kita yang dewasa bisa tetap melanjutkan kehidupan nyata orang dewasa yang mesti realistis, bagaimana dengan mereka yang masih kanak-kanak?

Ada yang mau menjajakan cerita rakyat keliling versi baru?

Editor: Rifky Pramadani J. W.
Penulis

Yolanda Tasya Amalia

Lulusan HI yang senang beropini atas apapun dalam bentuk tulisan, bukan verbal.
Opini Terkait

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel