Demokrasi vs Algokrasi: Akankah AI Lebih Cerdas dari Wakil Rakyat Kita?

Demokrasi vs Algokrasi: Akankah AI Lebih Cerdas dari Wakil Rakyat Kita?

Lewat algokrasi, politik uang, suap maupun bentuk-bentuk keserakahan lain diyakini akan berkurang karena orang tidak harus lagi berburu dan mempertahankan jabatan politik dan menyuap.

Demokrasi, secara sederhana dipahami oleh khalayak sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Rakyat memilih orang-orang yang mereka percayai untuk menjadi wakil mereka di kursi pemerintahan. Adalah tugas para wakil rakyat yang terpilih untuk kemudian menyuarakan, memikirkan, dan memperjuangkan nasib serta kepentingan rakyat yang mereka wakili.

Idealnya, hasil akhir demokrasi adalah berubahnya kehidupan rakyat. Bagaimanapun, rakyat memilih wakil mereka dengan harapan mereka bisa mengubah kehidupan mereka ke arah yang lebih baik: meningkatnya kemakmuran dan kesejahteraan mereka, lahir maupun batin.

Sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat, agaknya kita patut bersyukur bahwa benih demokrasi yang kita semai terus tumbuh dan berkembang, khususnya sejak roda reformasi menggelinding puluhan tahun silam.

Kendatipun demikian, kita harus jujur untuk mengakui bahwa terus tumbuh dan berkembangnya benih demokrasi di negeri ini masih belum membawa perubahan signifikan kepada kehidupan rakyat kebanyakan. Faktanya, sebagian besar para wakil rakyat yang dipilih untuk menyuarakan, memikirkan, memperjuangkan nasib dan kepentingan rakyat ternyata masih cenderung menyuarakan, memikirkan serta memperjuangkan kepentingan pribadi maupun kelompok mereka.

Baca Juga: Saat Kepercayaan Rakyat Anjlok, Pemerintah Kudu Ngapain?

Demokrasi pada akhirnya hanya membawa perubahan signifikan pada segelintir kelompok masyarakat (elite). Nasib rakyat tidak terlalu banyak berubah. Demokrasi jadi identik dengan transaksi kepentingan jangka pendek, bukan proses jangka panjang yang menyentuh kepentingan rakyat. Kondisi seperti ini menelurkan kesenjangan sosial yang lebar antara wakil rakyat dan rakyat yang mereka wakili.

Sir Winston Leonard Spencer Churchill (1874-1965), seorang negarawan mashur dari Inggris, sudah sejak lama mengingatkan bahwa sesungguhnya demokrasi adalah bentuk pemerintahan paling buruk. Hanya saja, karena bentuk-bentuk pemerintahan lainnya jauh lebih buruk, maka demokrasi ‘terpaksa’ masih menjadi pilihan.

Democracy is the worst form of government except all those other forms that have been tried from time to time

Sir Winston Leonard Spencer Churchill

Baca Juga: Demokrasi ala Game Werewolf

Lantas, bisakah kita menjadikan mesin sebagai bentuk tata kelola pemerintahan yang jauh lebih baik daripada demokrasi?

Seperti sama-sama kita saksikan dan alami, saat ini teknologi terus berkembang dan kian canggih. Digitalisasi dan transformasi digital menjadi keniscayaan. Di masa depan, bakal semakin banyak jenis pekerjaan yang dilakukan lewat sistem terotomatisasi.

Dengan kata lain, berbagai tugas pekerjaan yang sekarang dikerjakan oleh tenaga manusia, bakal dikerjakan oleh robot/mesin pintar. Maka, bisa saja suatu saat nanti kita mengganti para wakil rakyat kita dengan robot atau mesin pintar.

Sebuah penelitian dari Center for the Governance IE University, Spanyol, menunjukkan bahwa banyak orang di Eropa mendukung penggunaan mesin AI untuk menggantikan anggota parlemen. Penelitian ini melibatkan 2.769 orang dari 11 negara di seluruh dunia. Mereka ditanya tentang pendapat mereka terkait pengurangan jumlah anggota parlemen di negara mereka dan memberikan posisi tersebut kepada mesin AI yang akan menggunakan data mereka.

Hasilnya, 51% dari responden asal Eropa setuju dengan ide ini. Di luar Eropa, sebanyak 75% dari orang yang disurvei di Tiongkok juga mendukung gagasan ini. Survei tersebut juga menunjukkan bahwa orang yang lebih muda cenderung lebih terbuka terhadap ide itu. Lebih dari 60% dari responden yang berusia 25-34 tahun di Eropa dan 56% dari mereka yang berusia 34-44 tahun mendukung gagasan ini. Namun, mayoritas dari mereka yang berusia di atas 55 tahun tidak setuju dengan ide ini.

Bagi mereka yang percaya pada teknologi, gagasan untuk mengganti wakil rakyat dengan robot atau mesin pintar sama sekali bukan sesuatu yang mustahil. Pasalnya, di masa depan, robot dan mesin pintar bakal sepenuhnya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita. Termasuk menjadi bagian dari kehidupan politik kita.

Oleh sebab itu, tak menutup kemungkinan demokrasi kelak digantikan oleh algokrasi (algo: algoritma; kratos: pemerintahan, red). Pada sistem ini, keputusan-keputusan besar politik diarahkan dan diimplementasikan oleh suatu algoritma, bukan lagi para politisi yang umumnya memiliki kecenderungan untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Lewat algokrasi, algoritma komputer–bahkan teknologi blockchain, dapat kita manfaatkan untuk mengambil alih sebagian (mungkin pula seluruhnya) beban tata kelola negara. Dengan kata lain, kita menggunakan teknologi untuk menjalankan negara

Dari sisi anggaran negara, sistem ini kita akan menghemat uang lumayan besar. Pasalnya, kita tak perlu lagi menganggarkan gaji, tunjangan, serta beragam tetek bengek fasilitas untuk para wakil rakyat di parlemen. Kita juga tak perlu mengeluarkan ongkos besar untuk biaya hajatan pesta demokrasi berupa pemilihan umum untuk memilih mereka. 

Lewat algokrasi, politik uang, suap maupun bentuk-bentuk keserakahan lain diyakini akan berkurang karena orang tidak harus lagi berburu dan mempertahankan jabatan politik dan menyuap.

Setidaknya bagi orang-orang yang percaya kemajuan teknologi dapat membawa perubahan, algokrasi adalah gagasan yang sangat memungkinkan untuk terwujud. Meskipun, dalam prosesnya, akan ada banyak masalah yang perlu dibenahi.

Negeri ini masih sangat rentan perihal keamanan siber. Kebocoran data, serangan dunia maya, maupun kesalahan komputasi terus-terusan mendera dan meninggalkan pertanyaan penting: Mungkinkah negara ini siap mengadopsi algokrasi di kala infrastruktur untuk menangkal ancaman siber masih begitu rentan?.

Satu hal lain yang paling penting adalah siapa kira-kira pihak atau otoritas yang paling berwenang memprogram mesin pintar sebagai pengganti wakil rakyat? Apakah mereka orang yang tepat untuk memastikan mesin ciptaannya dapat bersikap imparsial, independen, serta aspiratif dalam pengambilan keputusan?

Karena jika mereka yang bertanggung jawab dalam menciptakan mesin cerdas ini tidak berpegang pada etika, moral, dan norma yang berlaku, maka hasilnya mungkin tidak akan berbeda jauh. Algokrasi hanya akan mengurangi jumlah wakil rakyat yang serakah, bukan keserakahan yang mungkin ada pada pihak yang mengoperasikan mesin tersebut.

Editor: M. Erza Wansyah
Penulis

Djoko st

Bloger yang lebih banyak main sepeda untuk melihat lanskap Bumi.
Opini Terkait
Ramai ‘Kamisan Date’, Emang Apa Salahnya?
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih
Dua Lagu Satu Cerita Tentang Hukuman Mati di Indonesia
notix-opini-retargeting-pixel