Merasa nggak, kalo saat ini kita semua tuh berada di zaman dengan dinamika dunia yang serba cepat?
Hal ini membuat kita apa-apa pengen yang cepat juga.
Seperti, kita mau transportasi cepat ‘lahir’ kereta cepat, mau makan cepat saji, munculah beragam sajian fast food. Mau paket diantar dalam tempo cepat, muncul beragam layanan express.
Pokoknya serba cepatlah!
Sampai-sampai, yang mau kuliah cepat selesai pun ada joki skripsi. Mana sering ada promo lagi. Eitts tapi ini nggak boleh yaaa~
Perusahan dengan tagline serba cepat, juga sebenarnya hadir karena kerinduan kita, konsumen, untuk dilayani dengan cepat.
Sebut saja, federal express, speedo, kall kwik, fast food, dan beragam layanan serba cepat lainnya turut mewarnai sejarah dunia.
Hal ini terjadi karena keenganan kita untuk menunggu.
Baca Juga: Tech Winter Terus, Kapan Summer-nya?
Di lampu merah saja kadang kita terobos, atau jalan one way kita lawan arah, biar apa? biar byuurr xixi. Nggak.. nggak… ya biar cepaatt. Tapi ini nggak boleh yaaa kawandd.
Kita memang sependapat bahwa zaman now menginginkan kecepatan itu lumrah dan biasa saja sebenarnya, toh kalau tidak cepat kita ketinggalan kereta kemajuan. Ya kan?
Dianggap kolotlah, tak paham perkembangan zaman, dan sejenisnya. Sediiihh.
Sadar atau tidak, kecepatan ini sejatinya membentuk pola pikir manusia. Pola pikir itu membentuk pola kebiasaan, dan menjadi tradisi yang melekat dalam hidup manusia.
Nah karena jadi tradisi, itu bisa merebak dan diwariskan, semacam ‘warisan tanpa wasiat’ kalo kata Walter Benjamin seorang filsuf Jerman.
Baca Juga: Kasak-Kusuk Media Online di Malang
Bahaya Kecepatan Informasi
Dengan hadirnya perkembangan teknologi yang mutakhir, kita seakan selalu disuguhkan beragam informasi setiap detik, menit, jam dari seluruh penjuru dunia.
Dari berita yang receh sampai yang kekeh, ragam informasi melesit masuk tanpa henti, seperti banjir bandang.
Saya teringat pemikir Amerika, kelahiran Polandia, Abraham J Heschel dalam bukunya Who Is Man, 1965 mengatakan bahwa, ‘salah satu tragedi yang menguncang manusia modern ialah kegagalan menemukan identitas aslinya, hal ini disebabkan karena kebanjiran pengetahuan dan informasi”
Loh, bukannya kebanjiran informasi baik untuk menambah wawasan? Tidak selalu!
Penelitian Heschel menunjukan, tingginya volume informasi yang tidak diimbangi dengan filterisasi menjadi bahaya paling ‘mematikan’ saat ini.
Sekarang misalnya, menjelang perhelatan politik di tanah air, hiruk pikuk, lalu lintas berita tentang politikus marak bagaikan puting beliung.
Arus informasi percaturan politik bagaikan samudera yang tak terbendung, merasuk cepat.
Hidup dalam seliweran informasi yang masuk tanpa jeda, tanpa henti, seperti lautan luas yang tak lekang kering membuat kita bingung membedakan fakta dan kebohongan.
Saking banyaknya ‘muntahan berita dan informasi’, untuk memfilter kejadian fakta dan rekayasa sepertinya tak punya ruang lagi.
Baca Juga: Tikus dan Proyek Percepatan Kiamat
Dilema FOMO
Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia punya kecendrungan untuk mengetahui banyak hal. Dilema fear of missing out (FOMO) menjadikan kita selalu memantau berita yang terjadi setiap saat.
Sialnya, hal ini tidak diimbangi dengan libido manusia yang bila dihadapkan pada kebenaran.
Seringkali kita cenderung berat sebelah dan mencari pembenaran yang membuat keberadaaan diri nyaman.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa, kebanjiran berita yang begitu cepat mengepung ruang digital publik secara sistematis, membuat pola hidup kita pun terpecah, alienasi.
Teknologi, dengan beragam kecepatan kemajuannya, meski banyak hal positif dilahirkan, tapi juga memperanakkan kebobrokan.
Saat ini, kita berpretensi bahwa viral jauh lebih penting daripada kualitas kebenaran informasinya. Apabila tidak jeli, kita terjerumus dalam satu masyarakat yang hidup dalam era mempesona.
Baca Juga: Mobil Tanpa Sopir, Mungkinkah?
Saat semua berburu like, coment dan share, saat yang sama hal yang tidak mengenakan hati dikatai, unlike, dicaci. Inilah resiko kecepatan informasi, yang mengantarkan kita pada dilema.
Kita cenderung melihat sepintas, membaca sepintas, mendengar sepintas, tanpa ada proses pengendapan, tanpa filterisasi, tanpa refleksi dan tanpa validasi kebenarannya.
Akhirnya, yang dihasilkan ialah ‘tong kosong bunyinya nyaring’.
Kecepatan yang mempesona biasanya dipoles dengan tampilan luarnya indah, sensasional, menarik hati.
Sayangnya, meminjam Haryatmoko dalam Majalah Basis No.05-06 tahun 2019, dalam informasi serba cepat itu ‘esensinya diabaikan sensasinya di kedepankan’.
Serba cepat juga membuat publik menghindar dari sesuatu yang kritis, karena dianggap membosankan dan kaku.
Yaa akhirnya kita jadi terjerumus dalam mentalitas instan.
Tak mau ambil pusing untuk cross check kebenaran informasi. Efeknya ‘objektivitas dan rasionalitas’ dinomorduakan, emosi dan hasrat jadi nomor satu, walau pun fakta memperlihatkan suatu yang berbeda dari emosi tersebut.