Saya menyebut nama Jamal Musiala dalam sebuah obrolan dengan paman saya soal pesepak bola muda paling berbakat saat ini.
“Jamal Musiala? Siapa dia? Islam kah?”
Kira-kira ia meresponnya demikian. Ihwal mengenai kepercayaan yang dianut Jamal, tiba-tiba jadi pokok bahasan. Fakta bahwa Jamal menjadi andalan Bayern Munchen, satu dari sekian klub sepak bola terbaik dunia, untuk sementara dikesampingkan.
Tentu bukan hanya paman saya yang mengungkapkan respon serupa ketika mendengar nama ‘Jamal’. Sudah jadi kebiasaan banyak orang terutama di Indonesia, mempertanyakan agama seorang tokoh.
Ketik saja nama seorang tokoh di mesin pencarian google. Agnes Mo, misal.
Maka, kamu akan menjumpai rekomendasi pencarian berbunyi “agnes mo agama…” dan seketika banyak artikel yang membahasnya. Ini karena memang banyak yang mencari tahu tentang agama Agnes Mo.
Terlebih jika nama itu adalah ‘Jamal’ yang terdengar akrab. Sama akrabnya dengan ‘Husen’, ‘Yusuf’, dan seterusnya. Nama-nama itu, dan lebih lagi jika mereka seorang Muslim, menimbulkan rasa hangat di dada bagi kami.
Apa agama Jamal Musiala? Apakah Jamal memang seorang muslim? saya tidak tahu. Yang saya tahu, dan sebaiknya orang lain lebih banyak membahasnya adalah, talenta sepak bola Jamal melampaui pesepak bola lain di generasinya.
Bersama Jude Bellingham dan Pablo Gavi, Jamal menjadi kandidat kuat pemenang penghargaan Kopa Trophy dan Golden Boy, dua penghargaan prestisius bagi pesepak bola muda. Sayang, Jamal tak berhasil meraihnya.
Gavi memang berhasil memenangi dua penghargaan itu, tetapi banyak yang menilai Jamal dan Bellingham jauh lebih pantas. Di atas lapangan, dan di atas kertas, Jamal dan Bellingham disebut lebih unggul.
Biodata Jamal Musiala, Bocah Gembira dari Fulda
Jamal Musiala lahir di Stuttgart 23 Februari 2003 dari orang tua berkebangsaan Nigeria dan Jerman. Ayahnya, Daniel Richard pernah berkarir sebagai pesepak bola di Nigeria. Sementara ibunya, Carolin Musiala, lebih meminati dunia akademik.
Perjalanan sepak bola Jamal Musiala perlu diakui terbentuk oleh karir akademik ibunya, dan dukungan ayahnya yang berlaku seperti pelatih pribadi Jamal.
Jamal kecil bergabung ke akademi TSV Lehnerz di Fulda, kota kecil di Jerman. Sebagaimana bocah-bocah lainnya, sepak bola mereka adalah jalan untuk bergembira.
Kegembiraan Jamal kadang-kadang mengundang tawa. Ia gemar betul merayakan sebuah gol, tidak peduli apakah gol itu dibuat timnya atau tim lawan. Beruntung bagi TSV Lehnerz, Jamal termasuk pencetak gol ulung. Ia bisa meluapkan kegembiraan itu di jalur yang tepat.
“Anak itu mencetak 5 sampai 10 gol setiap pertandingan,” tutur Micha Hoffmann, pelatih TSV Lehnerz kala itu.
Micha menyebut banyak lawan di lapangan berusia 1 atau 2 tahun di atas Jamal. Tetapi, Jamal menunjukkan keistimewaan dan keunggulan mental dibanding lawannya. Di akhir sebuah kompetisi, ia menjadi pencetak gol terbanyak tim.
“Di pertandingan final, saya tak sanggup berkata-kata. Ia (Musiala) melewati lawannya seperti ia melewati tiang bendera. Tak ada satu pun yang sanggup merebut bola darinya,” kenang Micha.
Pada usia 7 tahun, keluarga Jamal mesti pindah ke Inggris karena Carolin memperoleh beasiswa studi singkat di Southampton.
Tumbuh di Tanah Sepak Bola
Orang-orang Inggris merasa lebih gila bola dari penggila bola manapun dari seluruh dunia. Mereka menyanyikan “Football is Coming Home”, atau “Sepak bola pulang ke rumah”, sambil mengharapkan tim nasional Inggris membawa pulang piala dari perhelatan akbar sepak bola internasional.
Obsesi akan sepak bola itu mewujud bukan hanya di level kompetisi profesional, tetapi juga proses ketat seleksi pemain muda. Sepak bola Inggris konon jauh lebih menuntut secara teknikal, taktikal, sekaligus mental. Itu pula yang dihadapi Jamal saat ia menginjakkan kaki di tanah Inggris.
Mulanya, Daniel dan Carolin kesulitan mencari klub sekitar yang mau menampung Jamal Musiala. Tak dinyana, peruntungan mereka justru mujur ketika mendaftar ke Central City, akademi dalam jejaring pemandu bakat milik Southampton, klub mapan di Inggris.
Jamal belum bisa bahasa Inggris, dan masih canggung untuk berinteraksi. Tetapi sepak bola, membuatnya terkoneksi dengan orang-orang lain, terutama dengan Levi Colwill yang di kemudian hari menjadi kawan karibnya.
Rosh Bhatti, pelatih Central City, mengungkapkan bahwa Jamal merupakan pemain dengan masa depan terang benderang. Jamal kecil sanggup melakukan gerakan fantastis yang biasa diperagakan pemain kelas dunia seperti Ronaldinho, Zinedine Zidane, Thierry Henry, dan Lionel Messi. Dengan gampang pula.
Cukup beberapa pertandingan membela Central City, bakat Jamal segera memikat jejaring pemandu bakat klub elit Premier League. Southampton barangkali tak sanggup bersaing dengan godaan klub sekelas Chelsea dan Arsenal.
Ketertarikan Chelsea dan Arsenal mungkin saja menguap sebab keluarga Jamal mesti pulang kampung ke Jerman. Tetapi, jalan yang dilalui Jamal kembali mengantarkannya ke Inggris. Lagi-lagi karena Carolin melanjutkan studi tingkat master di Inggris.
Kepindahan ke Inggris kali ini diputuskan permanen. Hanya, tujuannya bukan Southampton, melainkan London. Artinya, peluang Jamal bergabung dengan Chelsea atau Arsenal jauh lebih besar. Chelsea beruntung sebab jarak tempat tinggal mereka lebih dekat dengan fasilitas akademi milik Chelsea.
Keputusan untuk memilih Chelsea terbukti benar. Ia kembali bertemu dengan Levi Colwill yang lebih dulu diangkut dari Southampton. Akademi Chelsea barangkali tak menjanjikan tempat di tim utama, tetapi mereka menempa pesepak bola binaan mereka menjadi pemain elit.
Kualitas Jamal bukan hanya ditempa oleh sepak bola. Di sela-sela sepak bola, ia mengikuti kelas catur yang mengasah kecerdasannya. Di waktu yang lain, ia berlatih Hakpido, bela diri asal Korea, yang membantunya bergerak lebih lincah. Semua itu jelas sebuah pengorbanan luar biasa dari seorang bocah yang berambisi jadi pemain bola kelas wahid.
Jamal tak pernah mengenakan seragam Chelsea di level profesional. Ia diboyong Bayern Munchen kembali ke Jerman. Tetapi jalan sepak bola Jamal, sekali lagi, terbukti benar.
Di atas, saya sudah menyebut akademi Chelsea tak menjanjikan tempat di tim utama. Kebiasaan mereka merekrut pemain mahal barangkali hanya akan membuat karir Jamal tersendat.
Jamal bisa saja berakhir jadi anggota ‘Loan Army’ Chelsea jika ia bertahan di Chelsea. ‘Loan Army’ Chelsea memberi pemain binaan mereka kesempatan bermain di level kompetitif, tetapi bukan untuk tim utama Chelsea.
Tak mendapat kesempatan di tim utama Chelsea bukan berarti kualitas mereka tak unggul. Chelsea lebih doyan menghamburkan duit untuk belanja pemain siap pakai ketimbang memercayai akademinya.
Bayern Munchen datang pada momen yang tepat. Mereka tahu kualitas Jamal. Sudah sejak lama mereka memantau Jamal. Hanya setahun di tim cadangan Bayern, kualitas Jamal memikat tim utama.
Pada 2020/2021, musim pertamanya di tim utama Bayern, Jamal tampil dalam 36 pertandingan di semua ajang dan sanggup mencetak 7 gol dan 1 asis (umpan berbuah gol). Kemudian musim 2021/2022 lalu, ia tampil sebanyak 40 kali dan menorehkan 8 gol dan 6 asis. Sementara untuk musim 2022/2023 ini, dari sepertiga musim berjalan, ia sukses mencetak 13 gol dan 10 asis.
Ia mencatatkan namanya di buku rekor Bayern Munchen sebagai pemain termuda untuk rekor ini dan itu. Terbaru, ia menjadi pemain termuda yang tampil 100 kali untuk Bayern Munchen.
Angka-angka itu bukan semata menunjukkan performanya terus meningkat dan tampil lebih dewasa. Lebih dari itu, Jamal memberi pernyataan bahwa ia kian dipercaya jadi andalan.
Baca Juga: Sepak Bola Menyimpang Takdir
Momen yang Tepat, Tak Terlalu Cepat dan Tak Terlambat
Kepulangan Jamal ke Jerman melalui Bayern Munchen disambut dengan tangan terbuka. Mereka juga gila bola sama seperti orang-orang Inggris. Di tanah kelahirannya, ia dihargai begitu tinggi karena mereka tahu siapa Jamal, dan apa yang bisa diakukan Jamal.
Meski Jamal pernah membela tim nasional Inggris dan Jerman, ia memilih membela Jerman di level senior. Tim Nasional Jerman telah memetakan tempat dan peran Jamal di masa kini dan di masa depan. Mereka ingin Jamal menjadi bagian dari kesuksesan mereka. Hal-hal macam itu tak dilakukan Inggris.
Saat Jamal mendeklarasikan diri untuk membela Jerman di level Internasional, mereka merayakannya. Inggris memang patah hati, tetapi mereka jelas kalah langkah. Seperti kata pepatah, penyesalan selalu datang belakangan.
Piala Dunia 2022, perhelatan paling prestisius di jagat sepak bola, digelar pada momen yang tepat, tak terlalu cepat dan tak terlambat. Ini Piala Dunia pertama Jamal, saat karirnya sedang mekar dan berseri.
Jamal masih 19 tahun, amat belia. Jamal mungkin gugup seperti saat ia akan menjalani seleksi untuk masuk akademi Chelsea. Saat itu, Jamal 9 tahun menulis sebuah puisi berjudul “Moment”.
“Moment”
“Saya duduk di dalam mobil. Melihat keluar jendela. Di luar dingin, sekarang musim dingin. Tetapi saya berkeringat. Gugup. Saya tak tahu apa yang bakal terjadi. Tiba-tiba mobil berhenti. Saya menutup mata. Mengambil nafas dalam-dalam. Tak gugup lagi, saya senang. Saya tahu apa yang mesti saya lakukan. Ayah membuka pintu dan mengatakan, ‘Semoga sukses dalam seleksi untuk salah satu klub sepak bola terbesar di Premier League!’ Saya bertanding berbeda dari sebelum-sebelumnya.”
Jamal 9 tahun gugup dan kemudian kembali memperoleh ketenangan. Ia berhasil masuk ke akademi Chelsea.
Ia juga gugup saat debut profesional pertamanya bersama Bayern Munchen. Kita tahu, ia kemudian bersinar dengan seragam Bayern.
Jamal 19 tahun barangkali gugup menjelang Piala Dunia pertamanya, tetapi kita tahu sekarang ia jauh lebih matang.