Cancel culture, atau secara harfiah berarti “budaya membatalkan”, adalah fenomena di mana seseorang—biasanya figur publik—diboikot, dijauhi, atau di-blacklist akibat pernyataan atau tindakan yang dianggap tidak pantas.
Dalam konteks ini, “dibatalkan” bukan sekadar metafora; reputasi mereka benar-benar dilucuti oleh masyarakat, terutama melalui kekuatan media sosial.
Dari boikot produk hingga pemutusan hubungan profesional, cancel culture melibatkan tindakan kolektif—yang biasanya dilakukan oleh warganet—dengan tujuan untuk memberikan konsekuensi nyata pada pelaku.
Berawal dari Kebiasaan Memperbesar Isu-isu Remeh
Tulisan ini sendiri berangkat dari keresahan saya—dan mungkin banyak dari Anda—tentang betapa senangnya orang Indonesia mengurusi hal-hal yang sebetulnya tidak penting.
Kita kerap menghabiskan energi untuk hal-hal receh yang justru memberikan panggung bagi mereka yang seharusnya bisa di-skip saja.
Makanya, perkataan “Amerika sibuk dengan roketnya, Jepang sibuk dengan kereta cepatnya, Indonesia sibuk dengan Agus-agusannya,” mungkin ada benarnya juga. Entah Agus siapa yang dimaksud di sini, tapi yang jelas, kebiasaan kita untuk memperbesar isu remeh temeh ini sudah jadi bagian dari DNA sosial kita.
Coba saja buka media sosial Anda sekarang. Kemungkinan besar, timeline Anda penuh dengan drama terbaru yang sebenarnya tidak begitu penting.
Ada yang ribut soal siapa yang lebih dulu bikin konten, siapa yang lebih kaya, atau siapa yang lebih berhak disebut “sultan.” Kalau bukan soal artis, ya, kemungkinan soal isu receh lainnya yang lebih banyak drama daripada substansinya.
Kenapa, sih, kita begitu tergila-gila dengan drama? Salah satu penyebabnya adalah budaya kita yang sangat communal. Kita senang berbagi cerita—bahkan gosip sekalipun—karena itu menciptakan rasa kebersamaan.
Sayangnya, kebiasaan ini sering kebablasan. Alih-alih jadi diskusi yang positif, kita malah terjebak dalam siklus nyinyir yang tidak produktif.
Faktor lain adalah minimnya literasi digital. Banyak dari kita masih kesulitan membedakan mana berita penting dan mana yang hanya sensasi belaka.
Akibatnya, isu remeh malah menjadi besar karena ramai diperbincangkan, sementara isu penting, seperti pendidikan atau kesehatan, justru tenggelam di timeline.
Dalam menyikapi hal-hal seperti ini, saya harap netizen bisa lebih bijak. Kalau ada figur yang sudah jelas-jelas melewati batas, ya, cancel saja. Jangan terus dibahas, apalagi sampai memberi panggung.
Sebab, perhatian kita malah jadi bensin untuk mereka menambahkan drama-drama sampah yang tidak bermutu. Alih-alih, mari fokus pada isu yang benar-benar relevan dan bermakna buat kemajuan bersama.
Cancel Culture dan Kendala Penerapannya di Indonesia
Budaya cancel culture sendiri mempunyai sejarah panjang di dunia maya. Konsep “membatalkan” pertama kali marak di komunitas Black Twitter pada pertengahan 2010-an.
Awalnya, istilah ini digunakan untuk memutus dukungan terhadap seseorang, kadang dengan serius, kadang sebagai lelucon. Namun, ketika internet jadi makin sensitif terhadap skandal selebriti dan pernyataan kontroversial, fenomena ini berevolusi menjadi bentuk protes kolektif yang jauh lebih besar.
Misalnya, gerakan #MeToo yang mempopulerkan istilah call-out culture, di mana korban pelecehan seksual memanfaatkan platform media sosial untuk memanggil pelaku ke meja publik. Praktik ini kemudian meluas, mencakup isu lain seperti rasisme, homofobia, atau penyalahgunaan kekuasaan.
Walaupun masih menjadi perdebatan, apakah cancel culture benar-benar membawa perubahan sosial yang positif atau malah jadi ajang balas dendam virtual semata, ada satu hal yang tak bisa diabaikan: di era digital seperti sekarang, cancel culture hadir sebagai semacam aturan tak tertulis (unwritten laws) yang dibentuk oleh kesadaran kolektif netizen untuk menetapkan standar moral di ruang publik.
Cancel culture mempunyai peran penting sebagai pembatas (boundaries). Dengan adanya potensi canceling, para figur publik—mulai dari selebritas hingga pejabat—dipaksa untuk lebih berhati-hati dalam ucapan dan tindakan mereka.
Ini pada akhirnya membentuk semacam pagar sosial yang membuat mereka berpikir dua kali sebelum melakukan sesuatu yang bisa memancing reaksi publik.
Cancel culture, yang awalnya populer di dunia Barat, kini juga menjadi bagian dari diskursus di Indonesia. Akan tetapi, fenomena ini masih diwarnai sejumlah kendala yang mengakar pada budaya, struktur sosial, ataupun pola perilaku netizen yang unik, yang membuat penerapannya terkesan mandek di Indonesia. Dalam pengamatan saya, ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya.
Baca Juga: Budaya Toksik Pasca Sidang Tugas Akhir
Media Gila Engagement
Di Indonesia, media, terutama TV, lebih memprioritaskan keuntungan dibanding prinsip akuntabilitas. Figur kontroversial justru dianggap tambang emas karena mampu menarik perhatian publik.
Saipul Jamil, misalnya, setelah bebas dari penjara karena kasus pelecehan seksual, masih diberi ruang tampil di layar kaca. Kontroversi yang seharusnya menjadi red flag malah dianggap sebagai sasaran empuk oleh media. Alasannya apalagi kalau bukan: “bad publicity is still good publicity“.
Logika “cuan mengalahkan etika” ini memperlemah penerapan cancel culture. Bukannya memberikan sanksi sosial, media malah meraup untung dari konflik yang memancing perhatian masyarakat.
Ketimbang membangun kesadaran publik, media memperkuat siklus toksik, di mana figur publik yang “cancelable” tetap eksis karena nilai ekonominya.
Bagi penonton, ini menjadi dilema. Di satu sisi, mereka mengutuk figur bermasalah, tapi di sisi lain, mereka juga bagian dari statistik rating acara.
Tanpa disadari, engagement negatif ini justru memperpanjang usia karier sang figur kontroversial. Mungkin kita perlu bertanya: siapa sebenarnya yang harus di-cancel? Figur publiknya, atau sistem medianya?
Mob Mentality
Selanjutnya, terkait dengan cancel culture di Indonesia yang sering kali berubah menjadi mob mentality. Begitu satu orang ngegas, yang lain langsung ikut tanpa pikir panjang.
Substansi masalah akhirnya kerap terlupakan. Fokusnya pindah ke sensasi, sementara tujuan awalnya, seperti akuntabilitas atau perubahan sosial, malah tersisih.
Masalahnya, sifat latah berjamaah ini membuat warganet mudah digiring ke pengalihan isu, terutama oleh buzzer dengan kepentingan tertentu.
Ketika perhatian publik sedang terpusat pada satu topik kritis, pengalihan isu sering dimanfaatkan untuk membelokkan fokus. Sehingga, masalah utama perlahan hilang dari perbincangan. Misalnya, ketika ada isu sosial atau politik yang besar, tiba-tiba tren lain seperti selebriti bermasalah atau drama media sosial muncul, membuat perhatian publik langsung terpecah.
Akibatnya, cancel culture kehilangan taji. Bukan karena masyarakat tak peduli, tapi karena perhatian mereka mudah diarahkan ke hal-hal yang sebenarnya tak relevan.
Ini menjadi alat efektif bagi pihak tertentu untuk mempertahankan status quo atau melindungi pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab. Kalau begini terus, masyarakat hanya akan selalu menjadi wayang, yang tanpa disadari, atensi mereka sudah diatur oleh sang dalang.
Drama > Substansi
Seperti yang sudah disebutkan di awal, cancel culture di Indonesia sering kali bergeser menjadi ajang drama yang lebih fokus pada sensasi ketimbang substansi
Ini adalah fakta pahit yang harus kita terima: kualitas SDM netizen Indonesia dapat diukur dari bagaimana mereka lebih menikmati drama atau gosip yang berlarut-larut dibandingkan berita faktual dari media kredibel.
Lihat saja popularitas akun-akun seperti Lambe Turah yang kerap menjadi sumber utama bagi netizen dalam “mengadili” figur publik.
Fenomena ini menunjukkan ketimpangan dalam pola konsumsi informasi. Ketika netizen lebih tertarik membahas konflik personal atau kontroversi selebriti, isu-isu penting yang membutuhkan perhatian justru tenggelam.
Akhirnya, cancel culture bukan lagi alat untuk menuntut akuntabilitas, melainkan sekadar panggung hiburan yang mudah tergeser tren baru. Jika pola ini terus berlanjut, maka wajar saja jika cancel culture di Indonesia sulit untuk benar-benar berdampak.
Loyalis Militan
Salah satu alasan utama mengapa cancel culture sulit berkembang di Indonesia adalah tingkat literasi yang rendah di kalangan sebagian loyalis atau simpatisan figur publik.
Mereka membela mati-matian idola favoritnya, dan sering kali tanpa peduli fakta atau konteks. Kritik dianggap sebagai serangan pribadi. Alih-alih menilai secara objektif, mereka justru sibuk menyerang balik.
Fenomena ini mungkin sudah bisa kita kategorikan sebagai taklid buta, di mana fans atau netizen mengidolakan figur publik sampai level dewa. Lucunya, mereka sering lupa kalau idola itu juga manusia biasa, yang kadang bikin salah, khilaf, atau bahkan blunder fatal.
Namun anehnya, loyalitas mereka tidak luntur sedikit pun. Mereka tetap membela si figur publik ini secara mati-matian, padahal bukti ulahnya sudah jelas terpampang nyata.
Kalau dia salah, malah dicarikan pembenaran. Kalau dia bikin blunder, langsung keluar kalimat sakti berupa, “namanya juga manusia, enggak luput dari salah.”
Pada akhirnya, cancel culture di Indonesia tidak hanya soal “menghukum” individu yang melanggar norma, tetapi lagi-lagi, harus bergulat dengan budaya lokal, hierarki sosial, dan dinamika digital yang sering kali berujung pada debat tanpa solusi.
Dalam konteks ini, cancel culture tampaknya masih akan menjadi tren yang bersifat sporadis dan belum siap melahirkan tradisi yang membawa perubahan sistematis.