Menakar Efektivitas Aktivisme Online: Lebih Baik daripada Diam!

Menakar Efektivitas Aktivisme Online: Lebih Baik daripada Diam!

Aktivisme Online: Lebih Baik daripada Diam!
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Padahal, dengan adanya aktivisme online yang masif malah ngasih awareness ke orang-orang kalau yang terjadi ini bukan hanya tentang konflik agama atau konfik politik aja

Sejak Oktober lalu hingga detik ini, media sosial X dihiasi dengan dukungan-dukungan warganet pada Palestina. Beragam tagar mulai dari #FreePalestine, #FromRivertoTheSea, dan lain sebagainya adalah bentuk dukungan Masyarakat terhadap negara tersebut.

Dalam platform itu terbelah tiga kubu, mereka yang pro Palestina, mereka yang pro Israel, hingga mereka yang mengaku pro perdamaian dunia dalam artian netral. 

Menariknya, tak sedikit brand dan publik figur yang di-cancel karena secara langsung ataupun tidak langsung menunjukkan ‘political stance’nya. Biasanya mereka yang dicancel adalah pro Israel dan yang mengaku netral. 

Hingga serangan demi serangan terus Israel gencarkan ke Palestina, ribuan korban berjatuhan tak peduli bayi, ataupun orang tua, barulah beberapa mulai tersadar bahwa ini bukan lagi soal konflik politik, apalagi konflik agama. 

Bukan pula perang—sebab jika menyebutnya perang sudah seharusnya terdapat power balance antara pihak koloni Israel ataupun Pribumi Palestina,  tapi tragedi kemanusiaan genosida yang dilakukan Israel kepada Palestina.

Pentingnya Menaikkan Tagar di Media Sosial

Nggak sedikit dari mereka yang memilih diam atau menjadi ignorant karena merasa bahwa suara-suaranya di medsos nggak bakal ngasih dampak apa-apa. Toh bom juga terus dilayangkan, Israel nggak akan serta-merta menyetujui titah PBB buat lakuin gencatan senjata. Palestina juga ngga bakal merdeka kok. Huft…

Masalah carut-marut dalam negeri sendiri aja udah banyak, kok malah ngurusin yang jauh. Sampai ketakutan akan datangnya kiamat jika Palestina merdeka, maka beberapa umat muslim memilih buat tidak menyuarakan dukungannya buat Palestina. 

Atau simply emang males aja buat mengedukasi diri dengan isu apa yang terjadi, itu semua jadi justifikasi dari mereka yang merasa kalau aktivisme online soal Palestina gak bakal ngebantu apa-apa. Makanya mereka milih buat diam dan ngurusin hal lainnya.

Nggak berhenti di situ aja, tudingan FOMO doang juga kerap diterima mereka-mereka yang menyuarakan pembelaannya terhadap Palestina. Seolah bakal kena cancel atau di-kick dari circle kalau nggak buat story atau tweet soal Palestina. 

Menyedihkan ya? Memang.

Padahal, dengan adanya aktivisme online yang masif malah ngasih awareness ke orang-orang kalau yang terjadi ini bukan hanya tentang konflik agama atau konfik politik aja. Tapi tentang gimana sampai abad ini masih ada negara yang masih terjajah, generasinya perlahan musnah, dan tidak bisa tenang menjalani hidup di tanah airnya sendiri. 

Memakai platform digital dan mengerahkan massa untuk bersuara merupakan salah satu cara paling sederhana yang bisa dilakukan untuk sebuah misi kemanusiaan.

Kritik Terhadap Slacktivisme: Nggak Semua Aktivisme Online itu Nggak Guna

Terlepas dari aktivisme digital untuk solidaritas kemanusiaan Palestina di atas, kritik soal aktivisme online ini emang udah muncul sejak lama kok. Apalagi ketika pandemi, yang mana sangat terbatas bagi orang-orang buat langsung turun ke jalanan.

Seringkali aktivisme di medsos ini disebut sebagai slacktivisme. Gabungan antara kata slacker (pemalas) dan activisme (aktivisme). Definisi umumnya sendiri adalah sebuah kegiatan aktivisme yang dilakukan  secara daring melalui media sosial ataupun petisi online dengan effort yang gak seberapa dan komitmen yang rendah. 

Sisi jelek slacktivisme adalah anggapan yang bikin ngerasa udah mengupayakan hal besar atau ngasih kontribusi dari sekadar ngewteetngepost atau bahkan sekadar like dan komen. Tanpa ada kemauan buat konversi ke aktivitas nyata. 

Masih nyambung sama anggapan FOMO di atas tadi, slacktivisme ini emang kebanyakan dilakuin dengan effort yang minim, dan tidak mindful

Bahkan seringkali ikutan sharepost, tanpa bener-bener tahu akar problemnya itu apa, concernya apa, yang ingin dicapai apa. Inilah yang namanya aktivisme yang performatif, ketika goalnya berbelok menjadi yang penting keliatan ngelakuin sesuatu padahal aslinya ya gak ngerti ngelakuin apa.

Tapi, gak semua aktivisme di medsos itu tergolong slacktivisme kok. Gak semua juga kegiatan aktivisme digital ini gak guna.

Ya salah satunya kalau kita berkaca ke support aktivisme untuk keadilan dan kemerdekaan Palestina, ada pengecualian buat hal ini. Kalau seseorang secara eksplisit menyatakan kalau repostretweetsharelike, dan komen berbagai macam informasi yang valid adalah bagian integral dari kegiatan dukungan, maka penting sekali buat dihargai. 

Karena emang saat ini cuma itu yang bisa dilakukan masyarakat dunia (selain dengan berdonasi tentu saja). Nggak mungkin kan terjun buat ikutan perang langsung? Apalagi dengan keadaan internet di Palestina yang acapkali dibikin down. Perlu bagi masyarakat dunia buat menggencarkan kampanye online

Persetan Kata Orang, Tetap Posting untuk Membantu!

Satu hal yang penting adalah kesadaran diri yang ikut-ikut posting kalau yang dia share itu bermanfaat, dan bukan misinformasi atau parahnya bukan cuma lakuin itu karena ngerasa gampang aja tapi gak mau tau itu sebenernya isu apa dan bagaimana.

Tidak bisa dipungkiri kalau kita mesti terus hidup dengan dinamis mengikuti perkembangan zaman. Jadi ada banyak cara untuk melakukan kegiatan aktivisme salah satunya dengan online. Selalu ingat, satu langkah kecil sangatlah membantu.

Jadi, kalau bikin campaign buat spread awareness di media sosial, petisi dan donasi online sangatlah berdampak, cara itu juga bisa menjadi sangat efektif tanpa kita sadari. Tak kasih contoh, ya, misalnya saja penggemar BTS atau Army yang berhasil mengumpulkan satu miliar yang dalam waktu beberapa hari saja.

Namun satu hal yang pasti pula, slacktivisme atau aktivisme online doang nggak cukup buat ngerubah isu-isu sistemik. 

Pada akhirnya tetap dibutuhkan orang-orang yang berkomitmen menginvestasikan diri, waktu, dan tenaga buat terus melakukan advokasi dan membantu buat mewujudkannya. Agar aktivisme yang digerakkan nggak cuma berakhir jadi tagar-tagar penghias trending harian media sosial yang terus berganti begitu saja. 

Tapi ya, sejujurnya berpartisipasi dalam aktivisme online baik secara aktif ataupun pasif masih lebih baik dibanding tidak melakukan apa-apa. Jadi, yukkk kita mulai bergerak dan berpihak!

Editor: Anatasia Anjani
Penulis
Rizka Ayu Kartini

Rizka Ayu Kartini

Tak kunjung lelah membaca buku dan menulis di waktu luang. Kira-kira sampai keduanya jadi sumber utama untuk menghasilkan uang. Bisa dijangkau di Twitter @rakatabaca dan Instagram @rizkaayukartini untuk sekadar diskusi santai sambil berbagi ide legit biar lebih melejit.
Opini Terkait

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel