Mengintip Manusia Sarkem dari Dekat

Mengintip Manusia Sarkem dari Dekat

Mengintip Manusia Sarkem dari Dekat
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Dalam hidup saya, Sarkem adalah tentang pertanyaan dan rasa penasaran. Setidaknya sejak saya tahu apa itu Sarkem, saya tak pernah berhenti bertanya-tanya. Memangnya seperti apa Sarkem itu?

Sarkem atau Pasar Kembang bukanlah sekadar nama jalan yang berada dekat dengan pusat nadi Kota Yogyakarta.

Bukan juga sekadar nama yang akan kita dapati ketika baru turun atau keluar dari Stasiun Tugu Yogyakarta.

Nama ini legendaris sekali, baik bagi orang Yogyakarta maupun orang luar yang mengenalnya. Wajar. Sebab Sarkem adalah salah satu lokalisasi paling tua yang ada di Yogyakarta, bahkan di Indonesia

Sarkem lahir, tumbuh, dan berkembang bersama dengan sejarah Yogyakarta itu sendiri. Sarkem adalah sisi lain dari wajah Yogyakarta yang sama sekali tak boleh diabaikan. Setidaknya bagi saya sendiri.

Baca Juga: Mengenang Taman Sriwedari, Merindukan Pendidikan yang Memanusiakan

Menengok Wajah Lain Yogyakarta

Dalam hidup saya, Sarkem adalah tentang pertanyaan dan rasa penasaran. Setidaknya sejak saya tahu apa itu Sarkem, saya tak pernah berhenti bertanya-tanya. Memangnya seperti apa Sarkem itu?

Apakah Sarkem itu sama seperti yang orang-orang ceritakan selama ini? Lalu apakah Sarkem masih hidup dan menggeliat ketika Yogyakarta sedang gigih membangun citranya sebagai Kota Wisata dan Kota Pendidikan?

Deretan pertanyaan dan rasa penasaran itu akhirnya terjawab setelah beberapa pekan lalu saya berkesempatan untuk menjelajahi gang-gang sempit itu. Meskipun semua bermula dari sebuah kunjungan ke Yogyakarta yang singkat dan tidak terencana.

Saya ikut dengan salah satu band teman saya dalam tur Jawa Tengah. Kami bermain di dua kota, Kebumen dan Banjarnegara. Selepas manggung dan nongkrong-nongkrong dengan teman-teman dari Banjarnegara, kami ingin mampir ke Yogyakarta sebelum pulang ke Malang.

Sekitar pukul 1:30 dini hari, sesampainya di Yogyakarta rombongan terpecah. Ada yang ingin menyusuri Malioboro yang sudah sepi, dan ada juga yang ingin melihat sisi lain dari Yogyakarta, yaitu Sarkem, termasuk saya. Maka berangkatlah kami serombongan.

Gang kecil yang jadi pintu masuknya diapit oleh kangkangan dua bangunan hotel besar. Dari langkah pertama memasuki Sarkem, sudah terasa aura yang berbeda. Aura yang sangat jauh dari kerlap-kerlip Yogyakarta yang selama ini digembar-gemborkan.

Aura yang seakan menyiratkan bahwa inilah gambaran kehidupan manusia yang sebenarnya. Sarkem seakan-akan menunjukkan wajah telanjang Yogyakarta yang mungkin selama ini penuh dengan riasan.

Dengan hanya membayar Rp 5 ribu rupiah saja, kami bisa menjelajahi Sarkem. Harga yang sangat murah untuk bisa mengintip dari dekat bagaimana geliat salah satu lokalisasi tertua itu.

Kehidupan Sarkem adalah Kehidupan Manusia Pada Umumnya

Di dalam, Sarkem terlihat seperti lokalisasi pada umumnya. Lampu warna-warni dan iringan musik menjadi hal pertama yang saya tangkap. Lalu juga deretan rumah-rumah yang saling berimpitan menjadi “lapak” bagi para pekerja seks komersial untuk menawarkan jasanya.

Teras-teras rumah itu seperti menjadi etalase bagi mereka, di mana kami yang sedang berjalan menyusuri gang-gang kecil itu tak henti-hentinya dihujani tawaran. You know what I mean, kan?

Sepanjang penyusuran, saya melihat kehidupan. Saya melihat bagaimana gigihnya para germo menawarkan pekerja seks yang dinaunginya. Mereka seperti tak kenal lelah, seperti tak kenal hari esok.

Saya juga melihat bagaimana para pekerja seks selalu tebar pesona, mencoba memikat siapa saja yang lewat. Tak jauh beda dengan pasar yang manusianya yang sibuk menjajakan dagangan.

Saya juga melihat bagaimana raut muka dan senyum sumringah para pria yang keluar dari rumah-rumah itu selepas menuntaskan nafsu birahinya. Saya juga melihat betapa profesionalnya para pekerja seks yang langsung kembali tebar pesona di teras rumah selepas memberikan jasanya kepada pelanggan.

Semuanya sama seperti rutinitas manusia pada umumnya: menjajakan, bertransaksi, lalu bekerja berdasarkan profesinya.

Lalu apa yang saya lakukan di Sarkem? Hanya menjelajah dan mengamati bagaimana geliat dan hiruk pikuk dari dekat. Saya hanya ingin menjawab pertanyaan dan rasa penasaran yang selama ini ada di dalam benak saya tentang Sarkem.

Tidak ada niat untuk menjadi pelanggan. Toh buat saya, bisa melihat dari dekat bagaimana Sarkem hidup dan menghidupi manusianya saja sudah cukup.

Ada Nyanyian Tuhan di Sarkem

Menjelang akhir penelusuran, saya menemukan hal yang aneh, unik, sekaligus menggelitik.

Di sebuah rumah, atau lebih tepatnya bar kecil yang tidak jauh dari pintu masuk dengan beberapa pekerja seks yang sedang tebar pesona, terdengar lantunan yang cukup keras.

Sebuah suara dari lagu yang agaknya kurang pas diputar di tempat seperti Sarkem. Lagu itu berjudul “Segalanya Ada di Tangan-Mu” dari Tommy J. Pisa.

Mengapa kurang pas? Coba saja lihat penggalan lirik lagu itu.

“Tuhan, maafkan kami yang penuh noda dan dosa. Telah melanggar apa yang Kau gariskan. Jangan Kau salahkan kami. Segalanya ada di Tangan-Mu.”

Mendengar lagu yang biasanya identik dengan religi itu diputar di Sarkem, jujur saya speechless, kaget, sekaligus tersenyum miris. Bagaimana bisa lagu seperti itu diputar di tempat yang seperti itu pula. Ganjil dan tidak nyambung tentunya.

Terlebih, lagu itu tidak hanya diputar. Beberapa orang yang ada di bar kecil itu juga ikut bernyanyi. Mungkin sedang menghayati isi lagu, mungkin juga sedang mabuk. Entahlah.

Memang tidak ada yang melarang siapa pun menyanyikan lagu apa pun. Yang jelas, lagu itu dinyanyikan di Sarkem.

Sarkem, Yogyakarta, dan lagu “Segalanya Ada di Tangan-Mu” adalah gambaran pas tentang bagaimana wajah tanpa kosmetik Yogyakarta.

Menjadi Manusia di Sarkem

Bahwa Sarkem adalah wajah lain dari Yogyakarta, lantunan lagu “Segalanya Ada di Tangan-Mu” bisa jadi adalah wajah lain dari Sarkem yang sempit, pengap, dan remang itu.

Manusia tetaplah manusia. Kadang bekerja, kadang berbuat dosa, kadang di suatu waktu mendendangkan lagu religi buat menenangkan hati. Tak ada bedanya.

Terlepas dari segala tudingan hipokrit dan gemerlap yang dijanjikannya, Sarkem tetap menggeliat hidup sebagai bagian dari sejarah manusia Yogyakarta.

Sarkem adalah kehidupan manusia sebenarnya. Tentang bagaimana manusia berjuang dan bertahan hidup, juga tentang bagaimana wajah kota yang sebenarnya di dalam gang-gang sempit Yogyakarta.

Editor: Rizqi Ramadhani Ali
Penulis

Iqbal AR

Penulis lepas alias pengangguran. Kontributor lepas di beberapa media daring seperti Mojok.co., dan KumparanPlus. Rutin makan es krim.

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel