Pemerintah telah mencanangkan Bahasa Indonesia untuk menjadi Internasional. Mulai dari peresmian bahasa di PBB pada November 2023 sampai program Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Internasional pada tahun 2045.
Hal ini tentu menimbulkan diskusi soal upaya pengubahan bahasa. Persoalan mengubah bahasa, yaitu dari bahasa lokal ke bahasa nasional, atau bahkan termasuk bahasa global, bukan perkara yang ringan.
Menjadikan Bahasa Indonesia mendunia tidak lantas membuat warga mancanegara mengenal dan menggunakan Bahasa Indonesia.
Hal ini berkaitan erat dengan identitas budaya yang perlu dikaji dengan lebih jeli dan waspada. Sebab bahasa yang terlanjur dipandang sebagai persoalan hidup atau mati akan sangat memegang peranan penting dalam penentuan identitas budaya dan bangsa.
Dengan kata lain, orang bisa saling bunuh, bahkan perang bisa pecah, jika dianggap keliru atau salah dalam berbahasa.
Baca Juga: Kepada Guru Bahasa: Puisi itu Membosankan!
Bahasa Indonesia: Dari Bahasa Rendahan sampai Bahasa Perlawanan
James Siegel, ahli budaya asal Cornell University, Amerika Serikat, dalam kajiannya yang berjudul “Berbahasa” (dalam Henri Chambert-Loir, Sadur. Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, École française d’Extrême-Orient) menjelaskan bahwa tidak ada kebijakan bahasa yang berarti, terutama di negeri yang penduduknya banyak dan beragam serta terbiasa berdwibahasa.
Lazimnya, penduduk Indonesia terlahir dengan dua bahasa: bahasa ibu yang mengadopsi dari bahasa daerah serta Bahasa Indonesia. Keduanya digunakan secara aktif dalam keseharian penduduk Indonesia.
Bahasa Indonesia sendiri terlahir dari bahasa keseharian atau lingua franca, yaitu bahasa yang lazim digunakan dalam pegaulan atau percakapan sehari-hari yang lebih egaliter -di pelabuhan, pasar, bahkan surat kabar atau harian. Sebelumnya dikenal sebagai Bahasa Melayu rendahan.
Bahasa Melayu rendahan itulah yang sejak tahun 1910 sampai 1920-an telah dipakai oleh para jurnalis, aktivis, esais, dan cerpenis sebagai bahasa pergerakan yang memiliki gaya bahasa “lisan”, multilingual, dan liar.
Mas Marco Kartodikromo misalnya, yang merupakan jurnalis ternama di Jawa, dipandang sebagai tokoh pergerakan yang berbahasa koyok Cino (seperti Tionghoa). Itulah bahasa yang kerap disalahnamai sebagai ”Melayu Rendah”, “Melayu Betawi”, atau ”Melayu bazaar (pasar)’.
Baca Juga: Uneg-uneg Guru Bahasa Jawa
Benedict Anderson (2009), ahli politik dari Cornell University, menegaskan bahwa bahasa Melayu rendahan itu adalah salah satu lingua franca yang dapat menerima segala macam serapan menjadi suatu bahasa yang tidak perlu diterjemahkan.
Dengan bahasa macam ini, perlawanan terhadap kolonialisme yang bersifat menyeragamkan masyarakat dalam lingkup masyarakat plural (plural society) dapat diorganisir dengan cerdas, tajam, serta cepat.
Artinya, pemberontakan lewat bahasa yang praktis, secara tak terduga mampu merusak, mematahkan, atau mengacaubalaukan proyek-proyek kolonial yang selalu dijaga kekebalan dan kelancarannya dengan pasal-pasal hukum haatzai artikelen (penyebar kebencian) atau delik-delik pers (pers delict).
Kwee Thiam Tjing, atau Tjamboek Berdoeri, jurnalis “Soeara Poeblik” di era 1920-an, sempat menjadi penghuni penjara lantaran dituduh sebagai oproerkraier (tukang tiup api pemberontakan).
Dengan bahasa yang campuran, campur aduk, gado-gado, atau oblok-oblok (mengeltaal/mischprache) yang tidak hanya mempunyai satu rasa, dia memuji, mencela, bahkan memaki sobat, musuh, famili, pembesar atau preman, termasuk Kanjeng Gubernemen Hindia Belanda.
Baca Juga: Kebaya: Bentuk Rasis yang Diperhalus
Kritik terhadap Lembaga Bahasa
Tatkala “Bahasa Indonesia” dicanangkan sebagai “bahasa persatuan” pada tahun 1928, bahasa Mas Marco atau Opa Kwee justru dikarantina oleh lembaga-lembaga bahasa milik pemerintah kolonial Belanda seperti Volkslectuur (Bacaan Rakyat) atau Balai Poestaka.
Sebab bahasa mereka dianggap bukan bahasa Melayu yang dipakai oleh banyak kaum dan bukan asli milik pribumi. Dengan kata lain, bahasa itu tidak termasuk dalam bahasa “Melayu Tinggi” yang dipandang benar dan steril dari sisa-sisa bahasa lain.
Terhadap ide bahasa persatuan itu, Soesilo, intelektual muda Indonesia di era 1930-an, menulis bahwa bahasa yang digagas atau dibangun sebagai calon bahasa ”aspal” dari sebuah bangsa yang baru tumbuh menjadi berbahaya ketika justru berdampak menghilangkan perjuangan untuk melawan apa pun, termasuk dalam persaingan “akrobat otak”.
Sementara Sarmidi Mangunsarkoro, seorang guru di Taman Siswa, memperingatkan bahwa bahasa yang dipoles dan diseragamkan secara seksama akan menyulitkan untuk berbicara dan menulis secara vokal.
Senada dengan Sjafroeddin Prawiranegara, rekan Sarmidi dan juga aktivis mahasiswa Indonesia-Islam, yang menegaskan bahwa bahasa tidak boleh menjadi mesin atau instrumen, apalagi komoditas. Sebab bahasa yang dikendalikan oleh kuasa akan membenamkan kontradiksi-kontradiksi yang menggerakkan sejarah sebuah bangsa dan mengakibatkan “Barat terlalu banyak bicara” (Mrázek, 2006).
Baca Juga: Akrobatik Diksi Para Insinyur
PR Bahasa yang Belum Selesai
Akhirnya yang terjadi adalah pengkotakan ”siapa” yang boleh berbahasa ”apa”. Sebuah fenomena yang mengkhianati sejarah lingua franca itu sendiri.
Yang kemudian terjadi adalah bahasa menentukan identitas. Identitas penutur dapat dikenali melalui bahasa. Melalui bahasa pula, identitas bisa diciptakan.
Oleh karena itu dalam sejarahnya, banyak sekali penguasa yang mencoba mengontrol bahasa, dengan maksud mengontrol identitas massa.
Implikasinya, elemen itu bisa menimbulkan kerawanan dan kerapuhan yang berpotensi menghasilkan masalah sosial. Penyematan kata “Cina” misalnya. Sebagai bahasa sehari-hari yang bernada ejekan, seperti Chink, Chinese, atau Intsik.
Kata “Cina” sendiri sebenarnya tidak menunjuk pada identitas budaya, melainkan pada identitas politik yang berakar pada kelas sosial tertentu.
Identitas itulah yang digunakan, khususnya selama era Orde Baru, umtuk menamai kaum keturunan Tionghoa dalam bahasa diskriminasi rasial yang di awal abad ke-19 dijuluki sebagai “Cina wurung, Londo durung, Jawa Tanggung” (bukan lagi Tionghoa, belum lagi menjadi orang Belanda, Jawa pun masih nanggung). Ironisnya, bahkan setelah Orde Baru tumbang, bahasa seperti itu masih saja tetap bertahan.
Dari paparan seperti itu jelas bagaimana sesungguhnya persoalan bahasa di Indonesia bukan karena semata-mata masalah pengubahan bahasanya, akan tetapi justru pada klaim-klaim yang diciptakan untuk memberi “identitas” pada bahasa itu sendiri.
Hal yang kerap dipusingkan oleh para bahasawan, termasuk diskusi di fakultas-fakultas sastra, yang dengan genit ingin memingit sebuah bahasa dalam kaputren. Padahal, seperti ditemukan oleh para kalangwan/pujangga di masa lalu, bahwa dunia bahasa, termasuk sastra, adalah “dunia tanpa dinding” (Anderson, 2004).
Menduniakan Bahasa Indonesia, Siapkah?
Seperti itulah, menjadi tidak penting lagi untuk mempersoalkan jenis bahasa apa yang mampu memberi identitas dalam masyarakat Indonesia yang plural. Yang justru mendesak untuk dipikirkan adalah bagaimana keluar dari pingitan mitologis bahasa yang telah mengurung keragaman identitas dalam keseragaman budaya yang kolektif.
Karena itu, Bahasa Indonesia yang masih mempermasalahkan tempat dan identitas para pemakainya perlu untuk segera direkonstruksi.
Sebab bahasa yang seperti itu tidak mudah untuk dijadikan sebagai lingua franca. Sebagaimana telah dikaji oleh Siegel di atas, sejauh bahasa Indonesia tetap bersifat lingua franca, internasionalisasi bahasa tersebut tidak akan menimbulkan masalah apapun.
Sebab dalam bahasa itu sudah terjalin konsensus di antara para pemakainya untuk tidak saling mencerminkan, dan dengan demikian, tidak saling menyebabkan rasa rikuh.
Dua hal inilah yang patut dan layak dijadikan pondasi, jika Bahasa Indonesia tengah disiapkan untuk diajukan sebagai bahasa dunia yang tidak menyebabkan setiap orang kesulitan untuk berbahasa. Siapkah?
Baca Juga: Ketika Gen Z Jadi Bahan Bully Generasi Sepuh