Dari sekian film animasi bikinan Studio Ghibli yang saya tonton, When Marnie Was There merupakan judul yang membuat saya sulit move on. Film animasi yang dirilis tahun 2014 ini punya jalan cerita menarik dan membuat saya kesulitan memprediksi bagaimana cerita akan berakhir.
Film ini bukan menceritakan Marnie, melainkan Anna Sasaki, gadis berusia 12 tahun yang tinggal di Sapporo bersama orangtua angkatnya, Yoriko dan suami. Anna tidak ditampilkan seperti kebanyakan sifat tokoh utama dalam sejumlah film lain yang memiliki suatu kelebihan yang dapat membantu mengatasi konflik.
Sebaliknya, Anna tampak dihadirkan sebagai tokoh yang rapuh. Ia seorang penyendiri dan rendah diri, jarang menunjukkan emosi, tak akrab dengan orangtua angkatnya, merasa tidak dicintai, dan bahkan membenci diri sendiri. Selain itu, ia juga mengidap asma, yang kemudian memberinya kesempatan untuk menemukan dirinya sendiri.
Meskipun ia berbakat dalam menggambar, bakat itu tak bisa mengentaskannya dari konflik yang ia alami. Justru, bakat menggambarnya malah menunjukkan rasa tidak percaya diri. Ini tampak jelas saat ia tak mau menunjukkan karyanya pada gurunya.
Rasa tidak percaya diri yang Anna miliki beberapa kali ditunjukkan dalam film ini. Ia mengatakan bahwa dirinya mustahil terlihat cantik mengenakan Yukata saat Festival Tanabata yang tiba saat ia tinggal di Kushiro, sebuah kota kecil di tepi pantai – Anna menepi dari kota mengikuti saran dokter agar menjalani terapi asma dan mendapatkan udara yang lebih bersih daripada di kota.
Alih-alih menampilkan nilai moral ‘baik’ seperti yang kerap ditonjolkan banyak film animasi seperti, misalnya bikinan Studio Disney, Anna adalah tokoh utama yang sering negative self talk berujung cemas dan memicu asmanya kambuh. Melalui film ini, Studio Ghibli kembali memuat unsur provokatif dan imajinatif, namun unsur emosional yang dibangun amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
Baca Juga: Yang Bisa Kita Pelajari dari Negative Self Talk Anna Sasaki dalam “When Marnie Was There”
Kita Semua Adalah Anna yang Sering Negative Self Talk
Saya yakin bahwa saya bukanlah satu-satunya orang yang suka ngomong sendiri di depan cermin. Sebagai orang yang punya psikosomatis sakit perut sampai muntah ketika merasa cemas, cara ini sesekali berhasil bagi saya. Berbicara dengan lantang sendirian di depan cermin agaknya memang terlihat seperti tidak waras bagi orang yang melihat, namun berdialog dengan diri sendiri merupakan hal wajar dan merupakan bentuk komunikasi yang dinamakan self talk.
Ada dua jenis self-talk yakni postive self-talk dan negative self-talk. Self-talk yang berisi muatan optimismis seperti bertujuan untuk mengurangi kecemasan adalah positive self-talk yang mana mampu mereduksi stress bahkan dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang.
Sedangkan, Negative self-talk macam renungan kritik batin yang cenderung menyalahkan diri sendiri. Hal ini tampak, misalnya, saat Anna berdialog dengan dirinya bahwa ia tidak masuk dalam circle manapun. Bahkan dia merasa tidak dicintai siapapun termasuk orangtua angkatnya.
Ia mengetahui hal tersebut sejak menemukan surat perihal pengadopsian anak bahwa Yoriko akan mendapatkan subsidi jika mengadopsi Anna. Perasaan tidak dicintai itu membuat Anna merasa tidak layak untuk apapun dan siapapun hingga berujung membenci dirinya.
Negative self-talk, dengan demikian tak melulu buruk. Jika dilakukan secara realistis bisa menjadi sesuatu yang membuat diri legowo. Misalnya ketika mendapatkan nilai C pada suatu mata kuliah, lalu mengatakan pada diri sendiri “aku nggak bisa dapet nilai bagus dimata kuliah ini soalnya emang aku nggak bisa”.
Jadi, kita tak perlu buru-buru menghindari negative self talk. Yang menggangu adalah ketika negative self talk mulai toxic.
Baca Juga: Yang Bisa Kita Pelajari dari Negative Self Talk Anna Sasaki dalam “When Marnie Was There”
Hal-Hal yang Terjadi Saat Negative Self Talk-mu Mulai Toxic
Sama seperti positive self talk yang membawa dampak—yakni mengurangi kecemasan dan stress, negative self talk juga membawa dampak bagi diri kita bahkan yang ‘merusak’ sekalipun. Jika positive self talk dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang, sebaliknya negative self talk dapat menurunkan kualitas hidup seseorang. Pasalnya orang bersangkutan bisa mengalami penurunan motivasi yang sejalan dengan penurunan kemampuan untuk melihat peluang. Selain itu, negative self talk juga dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang.
Elizabeth Scott dalam The Toxic Effect of Negative Self-Talk, menyebut empat hal ini akan terjadi kala negative self talk mulai toxic:
1. Pemikiran yang sempit
Dalam film ini, Anna mengatakan bahwa ia membenci dirinya, dia tidak layak bagi siapapun dan apapun. Hal inilah yang membuat Anna pada akhirnya tidak mau mencoba akrab dengan siapapun atau masuk circle manapun. Anna seakan tidak mau membuka dirinya pada siapapun.
2. Perfeksionis
Ingin selalu lebih dan sempurna, sehingga merasa kurang dan kurang. Ini tergambar jelas pada adegan di awal film. Anna memiliki kemampuan dalam menggambar namun ia merasa gambarnya tak cukup bagus. Bahkan saat Pak Guru ingin melihat hasil gambarnya, Anna tidak cukup merasa percaya diri memperlihatkannya.
3. Depresi
Negative self talk yang berujung cemas dan stres dapat menyebabkan depresi. Dokter yang memeriksa Anna saat asmanya kambuh mengatakan bahwa asma Anna kambuh dipicu oleh cemas dan stress. Oleh karena itu dokter memberi saran kepada Yoriko agar membawa Anna ke pedesaan. Selain karena udara pedesaan yang bersih, juga agar Anna dapat hidup tenang di sana dengan kenyamanan yang tak diperolehnya saat tinggal di Kota.
4. Interaksi pada suatu hubungan berubah
Negative self talk yang terus menerus dapat menjadi kebiasaan yang tidak baik karena membuat seseorang seakan hidup dalam perasaan tidak nyaman bahkan tidak memiliki ruang aman. Selain berdampak bagi diri sendiri, hal tersebut juga berdampak bagi orang-orang di sekitar. Anna, misalnya, tanpa sadar mengatai Nobuko sebagai “babi gendut’ saat Nobuko berupaya menjalin komunikasi dengannya.
Kiat sukses mengurangi Negative self-talk yang toxic
Menurut artikel yang sama, ada beberapa cara untuk mengurangi negative self-talk yang “meracuni” hidup. Tiap orang punya bahasa dialog yang berbeda dengan dirinya, begitu pula dengan negative self-talk, tiap orang punya negative self-talk yang berbeda. Jadi, untuk negative self-talk yang beragam, beragam pula cara mengatasinya. Singkatnya, cocok-cocokkan.
Perhatikan tiap kali negative self-talk datang
Setelah puas diri sedang mengatai-ngatai diri sendiri, perhatikan setiap katanya tanpa memasukkan dalam hati. Misal, “duuhh goblok banget sih kamu”, Selanjutnya coba berandai-andai, seandainya kalimat-kalimat bermuatan negatif itu diujarkan langsung kepada orang tedekat kita, teman baik kita, atau bahkan anak kecil. Apa ngga nangis-nangis mereka abis denger kalimat gitu dari kamu? Apalagi sambil ngegas. Nyakitin banget kan. Nah kalimat macam itu bukan cuma menyakiti diri sendiri, tapi juga orang lain.
Negative self-talk hanya asumsi bukan fakta
Ingat bagaimana Anna menganggap Yoriko dan suaminya mengadopsinya hanya agar mendapatkan subsidi dana dari pemerintah? Saat Anna bermain dengan Marnie di hutan, Anna bahkan mengungkapkan bahwa ia menginginkan kehidupan seperti Marnie, ‘kawan’ bermainnya saat menepi di Kushiro. Itu semua hanyalah persepsi yang mendorong negative self-talk, yang kerap disebabkan penafsiran semena-mena atas kehidupan.
Beri negative self-talk nama panggilan kesayangan~
Misalkan nih, karena kamu telah membaca tulisan ini, coba sebut negative self-talk-mu Anna Sasaki. Lalu saat negative self-talk toxic mulai muncul, katakan pada diri sendiri seakan mengatakannya dengan lantang, “Duh, lagi-lagi Anna Sasaki!” Karena udah dikasih nama, secara nggak langsung kamu bakal menyadari bahwa negative self-talk yang sedang mencoba mengguncang dirimu itu cuma angin.
Batasi negative self-talk
Seandainya kamu adalah tipikal orang yang butuh negative self talk, biar tidak menjadi boomerang, boleh deh kamu dengerin doi. Tapi kasih batasan waktu, misal setengah jam aja. Karena satu negative self-talk bisa melahirkan satu-dua negative self-talk lainnya. Jadi, jangan lama-lama.
Ubah Perspektif dan jadikan negative self talk sebagai teman
Semuanya terasa sulit saat kita punya musuh, jadi gimana kalau negative self talk kita jadiin temen. Bayangin Anna Sasaki-mu adalah teman yang suka blak-blak an, ini bisa menjadi alternatif sudut pandangmu mengenai negative self talk biar nggak jadi toxic.
Katakan lebih keras!!
Saat negative self talk tiba, coba sesekali dikatakan dengan lantang. Baik di depan cermin saat sendirian atau minta teman baikmu menjadi pelampiasan, itu kalau dia mau. Ini membuat diri kita akan sadar betapa konyolnya terbesit pikiran negatif macam begitu. Atau bahkan menertawakan hal itu bersama teman baikmu. Jadi, cocok yang mana buat ngurangi negative self talk-mu luur?