Kita semua sudah pernah menyaksikan diskusi yang gak ada habis-habisnya di Twitter, Instagram, dan media sosial lain tentang dilema childfree. Isu ini sering banget digoreng beberapa tahun terakhir ini, tentunya dengan dilengkapi berbagai macam penilaian negatif khas warganet Indonesia.
Seperti menakut-nakuti (“Nanti akan tua dan meninggal sendirian, lho!”), mengecam (“Childfree itu melanggar kodrat!”), sampai mengutuk (“Mendingan mandul aja sekalian”).
Bagi saya, intensitas ini menjengkelkan sekaligus tidak mengherankan. Menjengkelkan karena ada begitu banyak penghakiman, yang seringnya luar biasa invasif dan keterlaluan, terhadap orang yang sengaja menunda atau tidak mau punya anak sama sekali.
Tidak mengherankan karena, ya, dari dulu juga sudah hapal dengan kebiasaan warganet Indonesia yang sangat suka ikut campur urusan dan pilihan pribadi orang, termasuk yang mengambil keputusan terkait tubuh dan hidupnya sendiri.
Dan walaupun baik laki-laki maupun perempuan bisa membuat keputusan untuk childfree, perempuanlah yang lebih sering dihakimi atas pilihannya.
Saya termasuk salah satu perempuan yang ingin childfree. Beberapa orang (termasuk orang tua saya sendiri), ketika mengetahui pilihan saya, akan langsung berkata, “Belum mau kali maksudnya…” atau “Heh, jangan ngomong gitu, nanti beneran gak bisa punya.”
Reaksi ini selalu membuat saya heran. Saya memiliki beberapa alasan kuat untuk tidak ingin memiliki anak kandung. Walaupun begitu, saya sepakat bahwa ada kemungkinan di masa depan saya akan berubah pikiran.
Bagaimana pun juga, usia saya masih menginjak awal 20-an. Mungkin nantinya akan ada faktor-faktor yang berubah dan membuat saya mempertimbangkan ulang. Hati manusia, kan, mudah berbolak-balik.
Akan tetapi, saya tidak suka dikecam—seberapa pun halus penyampaiannya—terkait bahwa saya tidak boleh mengekspresikan keinginan saya sekarang untuk tidak memiliki anak.
Baca Juga: Perempuan dan Hantu Keberdayaan
Berkenalan dengan Regretting Motherhood
Keputusan untuk menjadi ibu bukan hal main-main. Saya percaya bahwa untuk menjadi ibu, kita harus memiliki informasi yang lengkap tentang segala sisi positif dan negatifnya supaya bisa merasa lebih siap.
Oleh karena itulah, saya merasa beruntung mengetahui buku Regretting Motherhood yang ditulis oleh Orna Donath.
Saya pertama kali dikenalkan pada buku ini beberapa tahun lalu saat menonton video Anna Akana, salah satu YouTuber favorit saya, yang berjudul “I don’t want kids.” Di sana, Anna menyajikan komedi anekdotal tentang kebimbangannya dalam memiliki anak. Dalam video itu, dia mengatakan sesuatu yang sangat masuk akal bagi saya:
Every topic I’ve seen about motherhood has the same narrative: “It’s hard but it’s so worth it,” “You’ll be exhausted but it’s so rewarding,” [and] “You’ll change immediately and permanently for the better.” But let’s be real, the only reason that narrative is so pervasive is probably because saying out loud that you regret having a human being is a pretty hot take that no one wants to say. But, if I want to have a real conversation about whether or not I should tackle motherhood personally, then shouldn’t I hear all sides? Shouldn’t I be informed of the good and especially the bad? I don’t think anyone should tackle one of the single most responsibility-based tasks of raising a human being without being fully aware of what it entails.
Jadilah saya akhirnya membaca buku Regretting Motherhood.
Buku ini mencatat pengalaman mendalam 23 perempuan di Israel. Menurut buku ini, pengalaman menjadi seorang ibu adalah sesuatu yang bisa jadi sangat memuaskan dan penuh kebahagiaan, belum lagi transformatif. Tapi, di saat bersamaan, pengalaman itu juga bisa terasa sangat intens dan menimbulkan perasaan frustrasi, rasa bersalah, kecewa, lelah, dan putus asa.
Dari kedua sisi ini, hanya satu yang didukung masyarakat. Coba tebak sisi yang mana : )
Inti dari buku Regretting Motherhood adalah para ibu mengalami berbagai kesulitan terkait peran baru mereka, tapi lingkungan dan masyarakat membuat mereka begitu sulit mengekspresikan perasaan apa pun yang bukan ‘bahagia’ tentang menjadi ibu. Salah satunya adalah perasaan menyesal.
Memanusiakan Perempuan lewat Kebebasan Memilih
Seorang perempuan yang menyatakan dengan jujur bahwa dia menyesal menjadi ibu mendapat sangat banyak stigma dari masyarakat. Dia akan otomatis dicap tidak bersyukur atau ibu yang jahat.
Tapi sesungguhnya, dengan membuka ruang percakapan dan mempersilakan perempuan untuk jujur, peran ibu tidak direduksi menjadi sosok yang tujuan utamanya melayani orang lain. Ibu dijadikan seperti manusia lainnya, yang berhak seluruhnya atas tubuh, pikiran, dan emosi mereka. Manusia yang boleh mendefinisikan pengalaman mereka sendiri tanpa kekangan cap buruk dari masyarakat.
Itulah yang berusaha dicapai Orna Donath dalam bukunya: memanusiakan para ibu dengan mengizinkan mereka merasakan emosi apa pun yang timbul tanpa mengecap mereka sebagai manusia yang mengerikan.
Subjek-subjek dalam buku ini dengan berani mengungkapkan perasaan mereka tentang mengapa mereka punya anak dan perasaan mereka setelah menjadi ibu.
Ada yang bilang dia ditekan oleh keluarga suaminya, atau lingkungannya mendorongnya menjadi ibu dan secara halus mengucilkan perempuan yang tidak punya anak, atau bahwa dia memilih menjadi ibu karena dia mengira itu langkah natural dalam arus kehidupan; another box to check from her list.
Menjadi perempuan seharusnya tidak berbeda dari menjadi siapa pun; seharusnya bisa memilih jalan hidupnya sendiri. Sayangnya, masyarakat kita membuat perempuan sulit memilih jalan lain selain jalan konvensional yang sudah ditetapkan sebelumnya: menempuh pendidikan, menikah, lalu memiliki anak.
Setiap kesulitan yang dialami perempuan yang memiliki anak adalah valid. Tidak semua perempuan cocok menjadi ibu, tidak semua perempuan punya insting keibuan, dan tidak semua perempuan harus atau bisa menjadi ibu.
Intinya, tidak semua perempuan mau menjadi ibu. Pandangan seperti ini mungkin sulit diterima di masyarakat Indonesia, yang menyukai basa-basi tidak mengenakkan tentang kehidupan pribadi orang lain dan gemar menanyakan kapan menikah atau kapan punya anak. Padahal, keputusan memiliki anak sama sekali bukan keputusan yang mudah.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengatakan semua perempuan harus stop memiliki anak. Tapi, bagi saya, sangatlah bijak kalau para perempuan berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri: Apakah ini sesuatu yang benar-benar kuinginkan atau justru sesuatu yang ingin kulakukan karena seluruh dunia bilang aku harus melakukannya?
Bagi semua perempuan yang sudah tahu keputusannya sendiri dengan mantap, entah itu memiliki anak, mengejar level pendidikan yang lebih tinggi, fokus meniti karir, atau yang lainnya, saya mau bilang: kalian hebat. Keputusan kalian selalu valid, dan tidak seorang pun bisa mengatakan sebaliknya.