Program Sastra Masuk Kurikulum mengundang perbincangan luas para pegiat, pemerhati, dan komunitas sastra, seni, dan budaya.
Dari istilah atau pernyataan yang digunakan Kemdikbud tersebut, kalau dibaca lebih tajam, rasanya perlu melemparkan dua pertanyaan.
Pertama, sejak kapan sastra berada di luar kurikulum? Kedua, apakah ini bentuk kanonisasi sastra?
Sastra (masuk) Kurikulum?
Rasanya sastra sudah lama masuk dan berada di dalam kurikulum. Menggunakan istilah Sastra Masuk Kurikulum hanya akan menyiratkan upaya melebih-lebihkan hubungan sekaligus keberadaan sastra dan kurikulum itu sendiri.
Bahkan pada titik tertentu, istilah tersebut lebih menggiring kepada anggapan branding kurikulum merdeka. Seakan-akan di era kurikulum merdeka ini sastra baru dilibatkan dalam pendidikan.
Padahal pada mata kuliah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, deretan pembahasan dan referensi sastra rasanya telah mendapat porsi yang cukup.
Teori Sastra, Kritik Sastra, Sosiologi Sastra, Pengayaan Sastra, Sejarah Sastra, dan Psikologi Sastra, semua itu membahas sastra dari teori hingga wujudnya. Novel-novel sastra menjadi bahan bakar saat membahas itu.
Namun, yang menjadi persoalan ialah mengapa begitu para calon guru tersebut berada di sekolah semua ilmu itu seakan hilang? Remah-remah itu hilang. Artinya masalah besarnya ada pada implementasi. Penyebabnya kebanyakan berasal dari urusan teknis.
Mulai dari dukungan sekolah (perpustakaan, pendanaan, dan pengadaan buku), kesiapan mental siswa, keberterimaan orang tua, pasar perbukuan, hingga kesanggupan guru itu sendiri dalam mengajarkan sastra.
Harusnya pemerintah lebih bermain pada ruang implementatif yang lebih substantif lewat regulasi, pengaturan, dan kebijakan yang konkret, ketimbang pada selebrasi bahwa Pramoedya Ananta Toer beserta sastra perlawanan lainnya telah masuk sekolah.
Upaya Kanonisasi Sastra
Program Sastra Masuk Kurikulum juga mengundang polemik di kalangan pemerhati, kritikus, dan komunitas seni, sastra, dan budaya. Banyak pikiran yang mengatakan bahwa ini sejenis upaya kanonisasi sastra.
Dalam diskusi sastra yang panjang, kanonisasi sastra lebih diarahkan pada politik sastra. Bagaimana sebuah karya sastra akan diagungkan sebelum akhirnya mendapat tempat di pasar cetak.
Sulit dipungkiri bahwa, bagaimanapun, sastra adalah ruang praktik yang subjektif. Itulah sebabnya mengapa kanonisasi lebih baik dihindari semaksimal mungkin.
Pasalnya hal ini ditakutkan akan lebih mudah disetir oleh kepentingan politik, ekonomi, dan tuntutan kapitalis lainya. Mendewakan suatu karya dengan mengerdilkan lainnya.
Belum lagi persoalan pembajakan buku yang hingga kini gagal diurus negara, walau sudah sangat jelas bahwa itu adalah tindakan kriminal yang nyata.
Baca Juga: Kepada Guru Bahasa: Puisi itu Membosankan!
Nirwan Dewanto, dalam surat terbuka, menanggapi program Sastra Masuk Kurikulum. Beliau dengan tegas mengatakan bahwa indikasi kanonisasinya cukup kuat.
Dewanto mengkritik keras para kurator yang merekomendasikan karya pribadinya. Selain itu, menurutnya, deretan panjang rekomendasi tersebut sangat jauh dari standarisasi perbukuan: mulai dari sajian, penyuntingan, bahasa, isi, dan seterusnya yang buruk.
Lebih jauh lagi, Dewanto mempertanyakan soal bagaimana bisa hal seceroboh dan seburuk itu jadi contoh rekomendasi dalam pendidikan dan persekolahan? Bahkan, ia juga menuntut agar buku puisi Jantung Lebah Ratu karyanya sendiri tidak disertakan dalam rekomendasi.
Pada titik ini, kita semua rasanya perlu untuk merenungkan bersama serta mencoba mencari titik temu. Pemerintah sudah harus mulai berhenti mengglorifikasi suatu program atau mengejar sesuatu yang terkesan click bait.
Substantif secara kualitatif harus mulai dikedepankan. Sastra Masuk Kurikulum hanyalah remahan kecil dalam kemegahan pesta pora kurikulum merdeka. Semua perlu melihat ke belakang. Ada kekeliruan kita dalam melihat pendidikan. Terutama wacana sastra dan pendidikan ini.
Implementasi Sastra dalam Pendidikan
Terlepas dari problematika di atas, tidak ada salahnya kita juga mengurai bagian “baik” yang dimaksud oleh pemerintah terkait program ini. Memang, banyak orang melakukan hal salah untuk tujuan yang benar. Mungkin memang itu yang sedang terjadi pada program ini.
Narasi besar dari program turunan Merdeka Belajar Eps.15 adalah menghadirkan sederet rekomendasi karya sastra yang nantinya diharapkan mampu menjadi referensi bagi para guru, siswa, dan sekolah dalam menentukan bahan ajar pembelajaran.
Harapan lanjutannya, Sastra Masuk Kurikulum menjadi semacam perluasan peran sastra itu sendiri. Sastra yang semula terkotakkan pada pelajaran Bahasa Indonesia semata, pada program ini menjadi lebih luas, bahkan lintas disiplin ilmu (kokurikuler).
Gampangnya, para guru selain Bahasa Indonesia dapat menggunakan sastra sebagai media ajar. Melibatkan sastra lebih jauh di luar batas kebahasaan sastrawi itu sendiri.
Entah guru PKN mengangkat sejarah politik era kesadaran nasional lewat Bumi Manusia, guru IPA mengangkat gejolak bahaya rokok lewat Gadis Kretek, atau bisa juga guru IPS mengangkat isu-isu sosial lewat novel-novel Okky Madassari dan karya sastrawan lainnya.
Hal itu menjadi sebuah upaya luar biasa dan perlu untuk diapresiasi. Namun, pada titik tertentu, selaku guru Bahasa Indonesia, saya ingin menegaskan bahwa pembelajaran sastra tidak semudah mengajarkan nilai-nilai sastrawinya, lalu dikenalkan pada batas intrinsik dan ekstrinsik semata. Implementasi substantif atas sastra jauh lebih problematik dari semua itu.
Belajar lewat sastra artinya belajar berdialektika. Sastra akan kaku bila ia dipahami sebatas wujud dan permukaan isi. Namun, isi sastra akan begitu membangun saat ditempatkan sebagai proses berfikir. Kesadaran kritis akan tumbuh dengan sendirinya.
Sebab, sastra selalu mengajak masuk ke arah ketermungkinan-mungkinan, yang artinya kita diberi ruang dan waktu untuk memasukkan pikiran apapun. Sebelum akhirnya didialektikakan sebagai proses pengujian pikiran
Saya tidak bermaksud menaruh curiga pada kesiapan guru, siswa, sekolah, masyarakat, dan lingkungan. Namun, sanggupkah semua elemen pendidikan dan persekolahan membangun proses kritik dan berdialektika melalui teks sastra tersebut?
Melihat data literasi, pendanaan, perbukuan, dan iklim bersastra, rasanya tantangan implementasi akan menemui perjalanan panjang yang melelahkan.
Singkatnya, bagaimanapun, sastra tetap perlu dilihat lebih dalam dan jauh. Sastra merupakan keterikatan teks yang meminta diurai, didialektikakan, serta diperseptualkan. Membicarakan sastra harus bertujuan ke arah sana.
Pada titik ini, mungkin uraian implementasi semakin jelas. Para guru, murid, dan sekolah harus menempatkan titik poin tersebut pada ranah aksi.
Tidak sampai di situ, dukungan non-teknis dalam tahap implementasi jauh lebih urgen. Jangan sampai semua ini berakhir menjadi wacana yang sekadar diperintahkan dan direkomendasikan.
Sehingga, upaya paling relevan ialah sesegera mungkin menengok bagaimana kondisi perpusatakaan, ketersediaan bahan bacaan, iklim membaca di sekolah, serta kesiapan siswa menerima teks sastra.
Memetakan hal-hal tersebut tidak terlalu rumit asalkan semua elemen terlibat betul-betul menyadari terkait persoalan maupun kekurangan.
Pasalnya, menitikberatkan beban pada guru semata saya rasa adalah perjudian besar. Kepala Sekolah atau orang-orang yang berada di bagian atas struktur harus mengambil peran lebih banyak dan dominan.
Sebab guru, bagaimanapun itu, memiliki keterbatasan yang banyak, terutama terkait regulasi, kebijakan, dan aturan yang mengikat.
Jika semua persoalan ini bisa diringkas dengan praktis dan taktis, rasanya sastra dengan sendirinya akan dibicarakan dalam pembiasaan, ketekunan, dan kesadaran, khususnya dalam menyongsong generasi emas 2045.