Beberapa waktu lalu, saya dikirimi oleh seorang kawan sebuah tautan opini di Sediksi yang isinya cukup menohok dalam mengkritisi tulisan saya yang berjudul “Neo Historia, Kejatuhan Sejarah, dan Komodifikasi.”
Saya sejujurnya merasa heboh sendiri saat membaca opini balasan yang ditulis oleh Fatih Abdulbari tersebut. Salah satunya karena baru kali ini saya mendapatkan sebuah kritik dari seseorang mengenai tulisan saya.
Dalam tulisan tersebut, ada beberapa hal yang menurut saya memang benar adanya dan ada pula yang menurut saya terlalu heboh. Sehingga, saya merasa perlu memberikan sedikit respons terkait beberapa pernyataan yang disampaikan oleh Fatih.
Baca Juga: Masalah Kita dengan Hantu Masa Lalu
Urusan Metode Sejarah
Salah satu poin penting yang membuat saya akhirnya memutuskan untuk membalas opini dari Fatih adalah terkait pemahaman soal pentingnya metode sejarah dan kaitannya dengan penghinaan nalar publik.
Terkait hal ini, saya mungkin memang melakukan kesalahan saat menuliskannya dalam opini. Akan tetapi, saya di situ tidak bermaksud untuk menunjukkan kecongkakan akademik—suatu hal yang sejatinya tak pernah saya sukai.
Saya hanya mencoba menerjemahkan metode sejarah secara simple. Seperti yang kita tahu metode penelitian sejarah itu ada heuristik atau pencarian sumber, lalu ada kritik dan verifikasi, dilanjut dengan interpretasi, dan kemudian historiografi.
Maksud saya, bahwa metode sejarah ini sangat aplikatif untuk diterapkan di mana saja dan berlaku di kehidupan sehari-hari.
Misalnya, seorang teknisi, tentu dia butuh mencari sumber masalahnya dulu, lalu melalui proses verifikasi, dan barulah mereka menginterpretasikan teori atau cara servisnya.
Bahkan, saya bisa bilang bahwa metode sejarah itu milik siapa saja, baik itu pembaca, peneliti, ataupun komunitas sejarah. Tinggal siapa yang mau menerapkannya, seperti memilah dan memilih bacaan, atau lain sebagainya.
Untuk kasus yang dibicarakan oleh Fatih, saya tidak ada maksud untuk menghina. Saya hanya menyesalkan bagaimana penerapan metode tersebut dalam membaca sebuah artikel atau bacaan sejarah belum dapat teraplikasikan secara luas.
Fatih memang ada benarnya, terutama menyoal bahwa masyarakat itu hanya membaca, dan itupun sudah merupakan hal yang patut disyukuri. Sehingga, bahwa publik tidak diwajibkan mencari dan membaca artikel lain untuk proses verifikasi ataupun kritik merupakan hal yang dapat kita sepakati bersama-sama.
Namun, yang membuat saya cukup gusar di sini adalah soal urusan interpretasi. Tak dapat dipungkiri jika banyak masyarakat kita ini yang belum melek terhadap verifikasi atau, ya, mungkin bisa disebut suka terbawa arus.
Mengapa bisa begitu? Lha, wong masyarakat Indonesia ini cenderung suka sesuatu yang bombastis, masih suka menelan mentah-mentah berita, bahkan sudah merasa tahu hanya dengan menelan thumbnail berita saja.
Baca Juga: Homo Hoax-ensis Yang Terus Eksis
Bukan bermaksud menghina, tapi tidak sedikit dari masyarakat kita yang memang masih belum bisa menelaah sebuah informasi dengan baik dan masih memiliki kecenderungan untuk melakukan interpretasi tanpa berbekal fakta yang mendasar.
Sebagaimana kata JJ Rizal dalam sebuah podcast bahwasanya masyarakat kita ini masih tidak bisa membedakan mana story, history, dan misteri.
Kondisi semacam ini tidak hanya dijumpai di kalangan masyarakat biasa. Pemangku kebijakan pun juga tak jarang melakukan hal yang sama.
Selain itu, peran sejarawan ataupun akademisi sejarah yang seharusnya menjadi gatekeeper dan insinyur masyarakat pun beberapa kali masih tak dihiraukan oleh masyarakat itu sendiri.
Jadi, saya rasa, solusi idealis yang ditawarkan oleh Fatih di penghujung sub bab pertamanya mengenai melempar wacana tandingan pun nampaknya akan sukar tercapai. Pasalnya solusi tersebut hanya akan tersampaikan kepada kelompok yang sudah paham dengan sejarah saja.
Terlepas dari itu, saya tentu saja mengamini bahwa peran sejarawan hanyalah sebagai edukator yang harus terus membawakan sejarah dengan cara yang mudah dipahami.
Akademisi Sejarah Berjalan di Tempat?
Pendapat yang bercampur nada sinis soal peran sejarawan dalam ruang publik yang disampaikan Fatih dalam tulisannya memang cukup membuat saya heboh. Meskipun demikian, saya akan mencoba melihat persoalan ini secara lebih dalam.
Saya sendiri tidak dapat memungkiri bahwasanya akademisi sejarah ataupun sejarawan memiliki peran kecil dalam membangun opini masyarakat. Posisi para akademisi sejarah pun saya bisa anggap masih berada di menara gading.
Di saat para dosen sejarah masih sibuk proyekan, komunitas-komunitas yang mengatasnamakan diri mereka sebagai pecinta sejarah pun bermunculan.
Pada titik ini, saya setuju sekali dengan pendapat Fatih perihal minimnya akademisi sejarah yang bisa setara dengan komunitas sejarah dalam upaya merangkul publik.
Akan tetapi, di sisi lain, saya merasa bahwa tak sedikit sejarawan dan akademisi sejarah yang mulai merambah ke akar rumput. Hal ini bisa disaksikan dengan munculnya orang-orang seperti JJ Rizal, Muhidin M. Dahlan, Chris Wibisana, dan lain sebagainya.
Begitu pula dengan yang saya lakukan bersama kawan-kawan akademisi sejarah. Kami dengan semangat kolektif ikut berusaha untuk mengedukasi masyarakat melalui platform bernama Insulinde Sejarah.
Walaupun tidak secerdas teknik Neo Historia dalam merakit sejarah agar menyenangkan, tapi kami ataupun banyak sejarawan beken yang saya sebutkan di atas terus berusaha agar mendapat atensi khalayak.
Namun, apa yang didapatkan?
Sebagai contoh, saya ingin menunjukkan isi kolom komentar dari video-video Muhidin M. Dahlan dalam segmen Jasmerah Mojok.co.
Banyak dari warganet yang tidak terima dengan narasi-narasi yang disampaikan Muhidin, bahkan cenderung mengolok-olok fisiknya dengan menyamakannya dengan sosok Bopak Castello.
Ya, mungkin dari sudut pandang lain itu dapat dikatakan sebagai sebuah keberhasilan tersendiri. Tetapi, itu juga menjadi bukti bahwa masyarakat kita ini belum bisa benar-benar memahami esensi sejarah sebagai suatu pengetahuan.
Sebagai penutup, saya berharap agar tulisan ini dapat memantik diskusi lebih jauh atau mungkin dapat membuka sebuah forum ilmiah yang menurut saya kering kerontang, terutama di kampus saya.
Dan terakhir, izinkan saya sedikit bercerita soal kesukaaan saya mendengarkan cerita bapak saya yang pas muda pernah jago breakdance, ataupun cerita mbah saya soal nasib hidupnya di tiga zaman.
Saat mendengarkan cerita-cerita tersebut, saya tentunya menanggalkan semua atribut saya sebagai seorang peneliti sejarah karena lisan ataupun pengalaman seseorang juga merupakan sumber primer sejarah, lho. Jadi, jangan salah persepsi…