Orang-orang boleh menganggap Indonesia adalah negara gila bola yang sudah terbukti dengan tingginya antusiasme suporter di tiap pertandingan, baik di klub maupun di timnas.
Namun, jika berbicara soal prestasi, sepak bola masih berada jauh di belakang torehan bulutangkis kita. Bulutangkis selalu menjadi penyelamat muka Indonesia di Olimpiade yang notabene adalah pagelaran olahraga terbesar di dunia.
Masih segar dalam ingatan kita betapa patriotiknya Greysia Polli dan Apriani Rahayu di final ganda putri pada Olimpiade Tokyo 2022. Mereka yang bertanding sebagai underdog berhasil menyabet medali emas setelah mengalahkan ganda kuat dari China, Chen Qingchen dan Jia Yifan.
Saya terkadang masih merinding saat menonton ulang pertandingan mereka di partai final. Sekarang saya juga masih merinding karena bulutangkis, bedanya bukan lagi merinding bangga, melainkan merinding ketakutan. Takut kalau itu adalah emas terakhir yang bisa didapatkan oleh olahraga ini di Olimpiade.
Hasil di Asian Games yang baru saja berakhir adalah cerminan utuh bagaimana kondisi bulutangkis kita sekarang. Kita bukan hanya tidak meraih emas, perunggu dan perak pun tidak bisa kita peroleh.
Singkatnya, kita gagal total. Target awal federasi yang menargetkan tiga emas, dibilang mendekati pun tidak.
Lalu apa yang salah?
Baca Juga: Sepak Bola dan Pemujaan Kolosal
Pasifnya Peran Federasi
Tagline “We are PBSI, We are Indonesia” yang sering digaungkan oleh PBSI sendiri—terutama kalau ada atlet yang jadi juara—terkesan hanya menjadi omong kosong. Mereka terlihat sering lepas tanggung jawab dan menyerahkan semuanya ke para atlet maupun pelatih saja.
Buktinya, pernahkan kalian melihat para petinggi federasi muncul di hadapan media dan meminta maaf atas kegagalan timnas bulutangkis kita? Atau yang lebih sederhana, tahukah kalian siapa yang saat ini menjadi ketua umum PBSI?
Kalau kalian jawab Rionny Mainaky, maka kalian salah besar. Rionny hanya Kabid Binpres yang pasang badan melindungi nama para petinggi yang seharusnya lebih bertanggung jawab.
Loh, atau jangan-jangan kalian menganggap Gita Wirjawan masih mengemban jabatan sebagai ketua umum PBSI? Maka kalian pun salah besar.
Saya merasa tidak perlu menyebutkan nama ketua umum atau ketua harian PBSI saat ini karena memang tidak ada yang pantas untuk disebutkan.
Sekarang, mari coba mengingat-ingat kembali masalah federasi kesayangan kita untuk setahun belakangan ini.
Pertama, dengan mudahnya melepas Nova Widianto dan Flandy Limpele. Sejak akhir tahun lalu, Nova Widianto sudah menyeberang ke Malaysia. Alasannya sederhana saja yaitu ingin mencari tantangan baru.
Kepergian Nova yang berhasil membawa Rehan dan Lisa cukup konsisten di akhir tahun lalu tentu cukup disesalkan apalagi PBSI tidak bergerak cepat mencari pengganti yang sepadan atau bahkan melebihi kemampuan dari Nova Widianto. Alih-alih progresif, PBSI memilih jalan lambat dan stagnan.
Sejak ditunjuk melatih ganda campuran Malaysia, Nova sudah unjuk gigi dengan Chen Tan Jie dan Toh Ee Wei yang rasa-rasanya tidak berlebihan kalau mengatakan mereka lebih baik dari seluruh ganda campuran Indonesia saat ini.
Selain Nova Widianto, Flandy Limpele juga memutuskan mundur sebagai pelatih pelatnas di awal tahun ini. Selain karena kerinduannya menjadi pelatih utama di tingkatan senior (Flandy selama di PBSI melatih ganda campuran pratama), alasan lainnya karena ketidakjelasan kontrak yang diberikan kepadanya.
Coba kalian bayangkan, pelatih profesional tidak diperlakukan secara profesional. Anak magang atau fresh graduate di perusahaan kecil saja kontaknya jelas. I
Istilahnya hubungan kerja antara PBSI dengan para pelatih mungkin hanya berlandaskan kepercayaan dan nasionalisme semu saja. Pantas jika sampai saat ini, belum ada tanda-tanda pelatih asing yang merapat.
Flandy akhirnya bergabung ke Hongkong dan bisa kita lihat ia berhasil menyulap lagi Tang Cun-Man dan Tse Ying Suet menjadi salah satu ganda campuran yang diperhitungkan. Kalau tidak percaya, coba tanyakan ke Rehan dan Lisa yang kesulitan mengalahkan mereka tahun ini.
Kedua, masalah mental dan fisik. Coba kalian sebutkan, berapa kali atlet Indonesia terkena comeback menyedihkan tahun ini? Berapa kali atlet Indonesia tampak panik dan tidak sabaran saat skor 20?
Kegagalan menyelesaikan pertandingan yang seharusnya bisa dimenangkan bukan lagi persoalan skill namun berbicara mental. Saya yakin kita semua tidak pernah meragukan skill atlet Indonesia yang memang sudah mumpuni, kita hanya sering meragukan mental bertanding mereka.
Cobalah kalian lihat komentar netizen terutama di X saat ada atlet kita yang bertanding. Betapa pesimisnya kita bahkan saat skor sudah menyentuh angka 20. Adakah PBSI menyiapkan psikolog khusus untuk menangani hal ini? Entahlah, saya tidak berani menyimpulkan.
Lalu, masalah fisik atlet juga sedang disoroti belakangan ini. Berat badan beberapa atlet dianggap tidak ideal untuk bertanding apalagi di tingkatan tertinggi.
Atlet tentu saja juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga berat badan mereka secara mandiri sebagai atlet profesional, tetapi bukan berarti PBSI juga lepas tangan. Apakah PBSI menyediakan ahli nutrisi dan ahli gizi untuk pemain? Entahlah, lagi-lagi saya tidak berani menyimpulkan.
Apakah masih ada harapan?
Selalu ada harapan, sekalipun di situasi terburuk. Begitu kata pepatah. Tidak lama setelah buruknya hasil di Asian Games, kita mendapat angin segar dengan keberhasilan Alwi Farhan menjadi juara tunggal putra di World Junior Championship 2023 sekaligus menjadikannya tunggal putra Indonesia pertama yang meraih penghargaan itu. Tunggal putri kita, Chiara Marvella Handoyo juga berhasil menjadi runner up di ajang yang sama.
Keberhasilan keduanya merupakan harapan baru, tetapi kita tidak boleh lupa bahwa keberhasilan di tingkat junior tidak selamanya berlanjut di tingkat senior.Saya rasa di kepala kalian pun sudah ada beberapa nama yang gagal memenuhi ekspektasi tinggi yang terlanjur dibebankan ke atlet junior kita.
Tugas kita sekarang hanyalah mendukung mereka sebaik-baiknya dan menikmati proses yang mereka lakukan. Tugas PBSI tentu jauh lebih berat yaitu memastikan keberhasilan Alwi, Chiara dan atlet junior lainnya tidak hanya berhenti sampai di sini saja. Itupun kalau PBSI menganggap itu adalah tugas mereka.
Rionny pun sudah menyampaikan permintaan maaf dan pertanggung jawabannya atas hasil buruk Asian Games.
Sekarang kita perlu menantikan dan kalau perlu menagih perubahan apa yang akan terjadi setelah pernyataan maaf tersebut karena jika federasi tidak kunjung berbenah, mari kita ucapkan selamat tinggal untuk kejayaan bulutangkis Indonesia.
Baca Juga: Seandainya Tukang Becak Berlaga di Olimpiade