Tidak Jelasnya Nasib Puisi Anak dalam Sastra Masuk Kurikulum

Tidak Jelasnya Nasib Puisi Anak dalam Sastra Masuk Kurikulum

Tidak Jelasnya Nasib Puisi Anak dalam Sastra Masuk Kurikulum
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Buku puisi anak hanya hadir di pinggiran ideologi yang megah. Posisinya tersisih dari persimpangan gagasan besar.

Nasib puisi anak masih belum diperhitungkan dalam ruang kebudayaan. Setidaknya, itu yang terjadi dalam arus sejarah kesusastraan Indonesia—dan situasi ini enggak bisa dipungkiri. Lantas, bagaimana nasib persoalan ini dengan adanya program Sastra Masuk Kurikulum?

Kabar program Sastra Masuk Kurikulum sebenarnya bukan hal baru dalam struktur kurikulum pendidikan di Indonesia. Namun, melalui program ini, kononnya sastra digadang-gadang akan hadir secara masif di ruang pembelajaran setiap jenjangnya.

Meski begitu, kemunculan program yang diluncurkan secara megah dan jumawa ini justru memantik polemik setelah menerbitkan buku panduan versi digital berjudul Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra (Kemendikbudristek, 2024) yang disusun untuk implementasi di jenjang SD/SMP/SMA.

Lalu, seperti apa polemiknya? Nah, saya akan mengawali dengan menjelaskan polemiknya karena enggak terlepas dari problem nasib puisi anak.

Baca Juga: Sastra Masuk Kurikulum: Sebuah Jalan Panjang yang Melelahkan

Polemik (Puisi Anak) dalam Sastra Masuk Kurikulum

Seperti yang kita tahu, berbagai kalangan dari mulai sastrawan, guru, kritikus, budayawan, dan pemerhati sastra lainnya mengkritik program ini sebagai wacana yang belum matang.

Sebut saja di antaranya tulisan surat terbuka Nirwan Dewanto yang mengkritisi buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra yang ternyata masih banyak muatan disinformasi, bahasanya mentah, bahkan—seperti yang dikatakan juga oleh Ranang Aji SP—tak lebih sebagai upaya kanonisasi dalam proyek. Atau kritik lainnya yang memandang program ini berpotensi mampat di model buku panduan belaka.

Berbagai kritikan itu kemudian menjadi pertanyaan keraguan atas kredibilitas buku panduannya. Padahal, loh, ya, proses kurasi melibatkan 17 kurator buku sastra yang terdiri dari sastrawan, akademisi, dan guru-guru sekolah untuk memilah karya sastra yang sesuai.

Tapi, dari jumlah 177 daftar judul buku rekomendasi yang meliputi novel, cerita pendek, puisi, dan non-fiksi, ternyata masih saja memantik banyak pertanyaan atas keganjilan-keganjilan isinya. Terlebih, enggak ada catatan khusus pertanggungjawaban atas penyusunan buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra.

Bahkan, ketika saya menelisik rekomendasi judul buku di jenjang SD, masih ada keganjilan lagi, khususnya pada pilihan judul buku puisi di tingkat tersebut, terutama pada bagian muatan isi.

Bukannya bermaksud menambah problem lagi, tapi memang ada hal penting untuk dipertanyakan terkait upaya penyusunan buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra, yakni: gimana nasib “puisi anak” dalam Sastra Masuk Kurikulum?

Perlu saya tegaskan dulu bahwa setelah bolak-balik memerhatikan daftar judul buku dalam buku panduan, ternyata buku puisi anak nyaris absen. Kalo enggak percaya, cobalah cek judul karya sastra dalam buku panduan itu. Buku “puisi anak” di jenjang SD sama sekali enggak nongol. Serius!

Yang muncul malah judul buku puisi yang diperuntukkan untuk kaum dewasa berjudul Rindu Dendam (Pustaka Jaya, 1934) karya J.E. Tatengkeng, Nyanyi Sunyi (Dian Rakyat, 1937)karya Amir Hamzah, dan Suara (Pustaka Jaya, 1956) karya Toto Sudarto Bachtiar.

Sementara buku puisi anak malah munculnya di jenjang SMP, itu pun hanya satu, yaitu Resep Membuat Jagat Raya (Penerbit Kabarita, 2017) karya Abinaya Ghina Jamela.

Terus terang, bagi saya, pilihan tiga buku puisi dewasa pada jenjang SD tersebut memuat ungkapan dan isi yang kurang sesuai dengan kognitif, afektif, dan psikis anak-anak. Meskipun demikian, saya di sini enggak bermaksud mengecualikannya secara serampangan.

Saya percaya bahwa ungkapan dalam karya sastra menjadi keragaman ekspresi atas cerminan realitas. Hanya saja tiga buku puisi itu memang ditulis untuk dikonsumsi oleh kaum dewasa tanpa pertimbangan peranan muatan karakter untuk anak-anak. Diksinya pun sulit dipahami usia anak-anak. Ini yang jadi persoalannya.

Toh, buku-buku puisi anak Indonesia sebenarnya masih sangat bisa didapatkan—terutama terbitan terkini.

Sebut saja misalnya buku puisi anak Siapa Ingin Jadi Presiden? (DAR! Mizan, 2018) karya Abdurrahman Faiz, Rambukek (Penerbit Babon, 2022) karya Roetji Noor Soepono, juga Jus Puisi (Noura Kids, 2023)karya Noor H. Dee.

Buku-buku inilah yang mestinya hadir karena secara konteks memuat kesesuaian dengan tingkat kognitif, psikis, dan kemampuan bahasa anak-anak.

Tapi, setelah memerhatikan posisi puisi anak dalam buku panduan, lagi-lagi masih saja kurang diperhitungkan. Ampun dah!

Padahal, materi puisi di jenjang SD sudah lama masuk dalam struktur kurikulum, khususnya pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Hal begini yang harusnya menjadi pertimbangan juga di dalam ruang kurasi.

Kriteria Ideal, tapi Standarnya Tidak Masuk Akal

Makanya, saya tuh sebetulnya heran. Sebab, beberapa dari kurator adalah penulis buku anak. Nah, ini ‘kan jadi memunculkan pertanyaan kembali. Sebenarnya gimana, sih, kriteria memilah karya sastra untuk panduan praktik program Sastra Masuk Kurikulum ini?

Dalam buku panduan yang diluncurkan terdapat catatan kriteria pemilihan karya sastra melalui beberapa pertimbangan seperti keberagaman gender dan zaman, topik yang dibahas, genre, serta keragaman bentuk sastra.

Dan melalui pertimbangan kriteria itu mestinya buku puisi anak mendapati posisinya, terutama dalam penyesuaian “genre” karya sastra di jenjang SD.

Tapi, kok, bisa malah kurang diperhitungkan? Apa yang bikin buku puisi anak lepas dari perhatian Sastra Masuk Kurikulum?

Ternyata untuk memastikan standar mutu karya sastra, di meja kurasi juga menimbang berdasarkan: penghargaan yang telah diperoleh, apakah karya tersebut telah diterjemahkan ke bahasa asing, dialihwahanakan, hingga dibahas dalam resensi-resensi di media yang memiliki kredibilitas ataupun menjadi subjek kajian akademis berupa skripsi, tesis, atau disertasi.

Nah, pantes! Saya pikir, standar mutu yang enggak masuk akal kayak begitu, tuh, yang bikin buku puisi anak kurang diperhitungkan. Bahkan, saya tekankan lagi: nyaris absen.

Lah, ya iya! Wong sepanjang sejarah kesusastraan Indonesia, buku-buku puisi anak sepi dari perbincangan. Apalagi hingga dibahas dalam resensi, kajian akademik, dan kritik sastra. Sedikit banget!

Penghargaan terhadap buku puisi anak saja baru muncul di tahun 2000-an. Seperti pada buku puisi anak karya Faiz dan Abinaya Ghina Jamela. Selain itu, belum ada lagi. Ya, sekalipun begitu, ‘kan bukan berarti buku puisi anak enggak memiliki bobot isi.

Padahal Betapa Pentingnya Peran Puisi Anak

Makanya, kriteria di atas sebenarnya telah menjadikan buku puisi anak seakan liyan dan termarginalkan dalam peranannya sebagai genre puisi di lingkaran kesusastraan secara umum, serta kepentingan pendidikan secara khusus.

Ini tentu sangat disayangkan, mengingat peranan puisi anak penting banget bagi perkembangan si kecil. Meminjam ungkapan Nyoman Tusthi Eddy, bahwa: sajak mampu melatih kepekaan jiwa untuk menangkap arti/makna dari setiap “moment” yang berlangsung di sekitar kita. Terlebih: …bagi anak-anak lebih-lebih dalam masa pekanya peranan sajak untuk menumbuhkan sikap mental yang sehat sangat besar.

Begitu pun secara bahasa, puisi anak dapat memantik kepekaan dan kelincahan berbahasa karena anak-anak akan dikenalkan oleh kepuitikan diksi yang variatif.

Karenanya, dengan hadirnya daftar buku puisi anak, guru dapat dengan mudah menyesuaikan puisi anak yang sudah direkomendasikan untuk pembelajaran puisi di jenjang SD.

Memang, daftar buku rekomendasi karya sastra ini sifatnya enggak wajib. Dan guru bisa menyesuaikan karya sastra lainnya secara mandiri dalam proses pembelajaran.

Akan tetapi, fleksibilitas ini enggak bisa dijadikan alasan bagaimana upaya perhatian terhadap puisi anak lepas dari meja kurasi.

Sangat memprihatinkan, ‘kan? Tapi, ya, inilah fakta bahwa buku puisi anak hanya hadir di pinggiran ideologi yang megah. Posisinya tersisih dari persimpangan gagasan besar.

Sehingga, jelas situasi seperti ini menjadi ironi dalam kegiatan bersastra, baik di lingkungan kesusastraan itu sendiri, maupun di ranah pendidikan.

Maka dari itu, ketika buku panduan rekomendasi karya sastra dikabarkan ditarik kembali karena gempuran kritikan sana-sini, seperti kata Mas Alfian Bahri, enggak ada salahnya menunggu kabar revisiannya—dalam hal ini—untuk mengawal perkembangan nasib puisi anak dalam Sastra Masuk Kurikulum.

Sebab problem ini patut dipertanyakan dalam Sastra Masuk Kurikulum: apakah peranan puisi anak penting atau ternyata malah dianggap enggak penting?

Penulis

Saefudin Muhamad

Lahir di Cirebon. Lulusan FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan. Bergiat di Komunitas Tjirebon Book Club. Adapun puisi-puisinya terbit di berbagai media online. Pernah meraih penghargaan nominasi dalam lomba kritik sastra Taufiq Ismail 2023.
Opini Terkait
Salah Kaprah Perihal Matematika
Dua Lagu Satu Cerita Tentang Hukuman Mati di Indonesia
Izinkan Kami Juara AFF Walau Hanya Sekali Saja

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel