“Kepada yang sedang naik daun, Bernadya. Seperti yang kamu bilang, kamu berusaha selalu jujur dan natural dalam berkarya. Maka, review saya kali ini juga harus jujur dan natural. Maaf, tapi album perdana ini telat panas, monoton, dan membosankan.”
Kira-kira itulah baris kalimat yang akan saya sampaikan bila bertemu Bernadya. Solois ini sedang banyak dibicarakan netizen. Banyak yang berempati, banyak juga yang menyuruhnya diam.
Bukan karena lagunya jelek atau suaranya yang mengganggu, tapi lirik-liriknya yang selalu berhasil membangkitkan gairah patah hati dan overthinking banyak orang. Hal ini diperparah dengan produktivitasnya akhir-akhir ini yang cenderung tinggi. Makin menjadilah jiwa meringis pendengar.
Setelah merilis mini album bertajuk “Terlintas” setahun silam, Bernadya kini berani melemparkan satu album penuh di pertengahan tahun ini. Judul albumnya cukup menarik, “Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan.” Judul ini juga merupakan salah satu track di dalam albumnya.
Pemilihan judul yang cerdas mengingat anak muda jaman sekarang sepertinya sedang mudah patah hati dan pesimis. Maka, secara strategi pemasaran, judul itu membuka peluang besar untuk menarik perhatian.
Tapi, saya tidak ingin menyoal lebih jauh tentang stigma itu. Saya ingin serius menyoal mengapa 6 dari 8 track di album Bernadya ini semuanya lemas.
Maka, inilah pengalaman saya selama kurang lebih 90 menit memutar keseluruhan album Bernadya berulang-ulang.
Tema Lirik yang Cenderung Klise
Pertama, saya merasa perlu memberikan apresiasi untuk dedikasi Bernadya terhadap musik. Di tengah banjirnya musisi spesialis single dan one hit wonders, ia mampu menelurkan satu album utuh.
Meski satu album itu adalah kumpulan lagu-lagu yang dirilis terpisah selama beberapa bulan. Ya, mau bagaimana lagi? Itulah risiko industri musik digital. Orang-orang tak bisa lagi memiliki album fisik.
Saya mencoba mendengarkan 8 track dalam album ini beberapa kali. Demi mendapatkan pengalaman yang lebih intim, maka saya mendengarkannya secara berurutan tanpa jeda.
Sebagai pemuja kata-kata, saya selalu fokus pada lirik sebuah lagu. Mendengarkan album Bernadya ini seperti membaca prosa.
Ada premis yang jelas, plot, dan detail-detail deskriptif. Singkatnya, lirik-lirik lagunya memang dirancang untuk menceritakan sebuah perjalanan kehidupan yang terbagi dalam fase-fase berbeda.
Ia mirip pola drama 3 babak. Babak pertama menggambarkan karakter, di mana Bernadya sendiri yang bertindak sebagai pemeran utamanya.
Namun, jika didengarkan orang lain, masing-masing kita bisa mengambil alih peran itu sebagai tokoh utama dalam cerita. Sialnya, cerita itu terasa sangat nyata karena memang berangkat dari pengalaman universal manusia.
Babak kedua adalah awal mula konflik. Ada dilema batin yang terkuak jelas. Lalu, babak ketiga menyoal penyelesaian masalah.
Secara pola, sejujurnya ini sangat menarik. Album musik memang seharusnya begitu. Mesti ada benang merah yang mengikat setiap lagu. Hanya saja, menurut saya ini terlalu berlebihan.
Hal ini tidak terlepas dari tema cerita yang cenderung klise. Lagi-lagi perihal kegalauan hubungan berpacaran yang masalahnya di situ-situ saja. Membuat keputusan yang sedari awal sudah salah, lalu diulangi lagi, dan berujung penyesalan.
Aransemen “Senja-senjaan”
Sekarang kita masuk ke aransemennya. 6 dari 8 lagu membuat pola yang sama. Murung, kelam, dan berlarut-larut.
Instrumen didominasi oleh suara gitar dengan berbagai versi. Mulai dari petikan, strumming, hingga solo session pada bagian bridge. Sesekali ada sentuhan suara piano untuk menebalkan ornamen kesedihannya. Tapi, lagi-lagi, terlalu monoton.
Saya mencatat sebagian besar lagunya menarik garis besar yang stagnan. Belum lagi timbre vokal Bernadya yang memang terkesan sederhana. Berbanding terbalik dengan liriknya yang sangat relate dengan kisah pendengar dan diksinya yang kuat, musiknya justru kurang dinamis.
Bahkan, sepanjang lagu, saya nyaris tidak menemukan elemen kejut yang membuat alis sedikit naik. Tempo dominan lambat dengan suasana berkabung.
Pun, begitu dengan intronya. Petikan gitar dengan sound yang clean. Ketukannya pun begitu-begitu saja.
Overall, seperti tipikal lagu pop folk Indonesia pada umumnya yang cenderung malas mengeksplorasi jembatan chord. Tidak memorable dan berlalu begitu saja. Kalau pun ada bunyi drum, yang dipukul dominan floor dan tom.
Bukannya itu jelek, tapi bagi saya itu bukan sebuah pembaruan. Sudah temanya cinta-cintaan yang melankolis, aransemennya pun lagi-lagi seperti itu.Saya merasa dipaksa untuk mendengarkan celoteh murung dan kisah tentang seseorang yang jatuh lagi di lubang yang sama.
Dari satu lagu ke lagu lainnya, yang diceritakan sama saja. Peralihan antar track itu seperti ganti lirik dan warna kemasan saja. Isinya tetap sama.
Jadi, maaf, Bernadya, tapi ini masih “senja-senjaan”. Saya hanya resah sebab karya musik belakangan seperti hidup di dalam labirin. Industri mainstream dan indie tak lagi punya sekat.
Untungnya, Saya Mendengarkan Sampai Akhir
Pengalaman berbeda baru saya temukan ketika mendengarkan lagu “Lama-Lama.” Cerita lagunya kurang lebih sama dengan lagu lainnya. Dikecewakan, merasa sudah berkorban, sibuk sendiri, tidak diperlukan oleh pasangannya, lalu mulai jengah.
Memang, dari segi penceritaan, liriknya menggambarkan sebuah gerbang untuk menuju babak kedua perjalanan.
Ia bicara soal jenuh dengan sikap pasangan. Tidak lagi terlalu merengek habis-habisan, tapi mulai memunculkan perdebatan dalam kepala; apakah keputusan yang diambil sudah benar atau justru salah. Meski begitu, apa pun namanya, intinya tetap sama: patah hati.
Akan tetapi, saya justru cukup terpukau dengan presentasinya. Lagu ini menawarkan pengalaman berbeda dari 6 lagu lainnya. Rasanya cukup kaya. Apalagi saat bunyi simbal yang ramai di bagian bridge.
Vokal Bernadya yang deep dipadukan dengan musik post rock menjadi bukti bahwa lagu galau tak harus diiringi dengan aransemen yang lemas juga.
Tidak harus identik dengan string section yang panjang serta mendayu-dayu, petikan gitar klasik, dan bunyi piano kelam. Sound yang kotor dan sedikit berontak juga bisa. Ini malah menambah ketebalan emosinya.
Baca Juga: Paradoks Dangdut: Makin Ambyar, Makin Joget
Puncaknya, ketika lagu penutup “Untungnya, Hidup Harus Tetap Berjalan” terputar, saya mendengarkannya sembari menghirup napas lega. Saya ingin menobatkannya sebagai harta karun dari semua track sepanjang album.
Rasanya seperti menemukan oase di padang pasir. Bagi saya, lagu ini unggul dari semua sisi. Baik lirik maupun aransemennya sama-sama bagus.
Mulai dari intro sederhananya yang hanya diisi strumming gitar biasa dengan durasi kurang lebih 2 bar yang langsung disambar vokal. Memang, jika dinilai secara terpisah, intronya tidak istimewa.
Kalau lagu lainnya pakai petikan manis, lagu ini menggunakan strumming. Tapi, kalau didengarkan secara keseluruhan, memang konsep intro itu sudah pas dengan nyawa lagunya.
Ada juga sentuhan bass line pendek yang menjadi jembatan menuju chorus. Bagi saya, ini terasa sangat iconic. Konsepnya mengingatkan saya dengan musik pop retro 90-an ala Potret dan Naif.
Bahkan, ada beberapa momen di mana saya merasa mendengarkan Melly Goeslaw versi kekinian dan nyawa lagu “Denting” versi Petra Sihombing dalam waktu yang sama.
Rupanya, Petra bersama Rendy Pandugo memang dalang dari karya Bernadya ini. Pantas saja, gitar jadi instrumen yang dominan.
Tak sampai di situ. Ada elemen kejut melalui string section ciamik di sepertiga akhir. Ornamen ini benar-benar menambah kesan manis. Sampai saya menulis ini saja masih terngiang-ngiang.
Mau bicara lirik? Siap! Bisa dipastikan bahwa hanya di lagu ini kita menemukan topik yang berbicara soal optimisme dari keseluruhan album.
7 lagu sebelumnya benar-benar hanya bicara soal patah hati dan penyesalan. Suara pesimis yang didramatisir. Tapi, lagu ini mengajak kita untuk kembali ke realita. Sesakit apa pun pengalamanmu, bumi ini terus berputar. Hidup harus tetap dilanjutkan.
Kalau harus membahas lagi perihal konsep alur cerita yang dibahas tadi, lagu ini menjadi jawaban atas semua keresahan saya.
Bernadya sepertinya sengaja memborbardir telinga dan perasaan pendengar dengan cerita-cerita muram. Kamu dibiarkan muak dengan takdir, hingga tiba saatnya, Bernadya mengulurkan tangannya untuk membantumu berdiri lagi.
Setelah menarik garis, ada 2 lagu yang menjadi ujung pangkal cerita. “Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan” sebagai sentilan menohok dan “Untungnya, Hidup Harus Tetap Berjalan” sebagai pembangkit semangat.
Padahal, hanya mengganti satu kata yang berlawanan, tapi efek yang diberikan berbeda 180 derajat.
Tetap Harus Angkat Topi
Untungnya, Bernadya menulis lagu itu sebagai closing statement-nya. Fakta bahwa hidup harus tetap berjalan tak peduli kondisimu saat ini adalah sebuah kesialan jika dilihat dari satu sisi saja.
Bayangkan kamu harus bangun setiap hari dengan fakta bahwa hidupmu sedang tidak baik-baik saja, tapi kamu dipaksa untuk menjalaninya.
Namun, di sisi lain, realita ini justru adalah sebuah keuntungan. Kalau kamu tidak menyerah, maka kamu mendapatkan keuntungan besar sebab masih punya kesempatan untuk membalikkan keadaan.
Karena mengawali tulisan ini dengan kejujuran, maka saya akan menutupnya dengan kejujuran juga.
“Kepada Bernadya, solois yang berbakat. Saya tidak akan menarik kata-kata saya tadi bahwa album ini telat panas dan membosankan, kecuali lagu terakhir. Tapi, saya harus angkat topi dengan cara kamu memandang hidup dengan jeli. Orang yang merdeka adalah orang yang sebelumnya terjajah, entah oleh manusia lain atau egonya sendiri.”
Ada beberapa keuntungan yang saya dapatkan dari pengalaman mendengarkan album Bernadya secara utuh. Saya harus meminjam potongan liriknya untuk mengungkapkan ini.
Untungnya, bumi masih berputar, sehingga saya bisa punya kesempatan menikmati karya yang bagus ini.
Untungnya, ku tak pilih menyerah. Memaksa diri untuk bertahan menikmati satu lagu melankolis ke lagu melankolis lainnya butuh kesabaran.
Kalau saya menyerah di pertengahan, berhenti mendengarkan lagu selanjutnya, saya tidak akan bisa menikmati hal-hal baik yang datangnya belakangan.
Baca Juga: Bikin Media Musik Itu Nggak Gampang!