Sediksi – Indonesia memiliki sejarah panjang dalam perjuangan kemerdekaannya. Salah satu tokoh yang mempunyai peran penting dalam sejarah ini adalah mengenai perjuangan Jenderal Sudirman, panglima tertinggi Tentara Nasional Indonesia yang pertama.
Beliau adalah seorang pemimpin yang berani dan setia yang berjuang melawan penjajahan Belanda dan menginspirasi rakyatnya untuk mempertahankan kedaulatan mereka.
Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi kehidupan dan perjuangan Jenderal Sudirman, dan bagaimana ia menjadi pahlawan nasional dan simbol patriotisme.
Biografi Jenderal Sudirman
Jenderal Sudirman lahir pada tanggal 24 Januari 1916 di Purbalingga, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Ia adalah putra dari pasangan Karsid Kartawirodji, seorang pekerja di pabrik gula, dan Siyem, seorang keturunan pejabat setempat.
Karena kesulitan keuangan, Sudirman kecil diadopsi oleh pamannya, Raden Cokrosunaryo, yang merupakan seorang camat di Rembang. Sudirman mendapat gelar bangsawan Raden dan dibesarkan dalam keluarga yang berpendidikan.
Ia adalah seorang siswa yang rajin dan religius. Di usianya yang masih 7 tahun, Sudirman kecil bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) yang setahun kemudian dilanjutkan ke Taman Siswa, lalu dipindahkan lagi ke Sekolah Wirotomo karena Taman Siswa dianggap illegal oleh Belanda.
Perjuangan Jenderal Sudirman
Keterlibatan perjuangan Jenderal Sudirman dalam dunia militer dimulai ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942. Beliau tetap mengajar, namun beliau juga bergabung dengan milisi yang disponsori Jepang bernama PETA (Pembela Tanah Air) pada tahun 1944.
Ia menjadi komandan batalyon di Banyumas, dan memimpin pasukannya untuk memberontak melawan penindasan Jepang. Ia ditangkap dan dikirim ke Bogor, di mana ia bertemu dengan para pemimpin nasionalis lainnya.
Ketika Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Sudirman melarikan diri dari pusat penahanan dan pergi ke Jakarta untuk menemui Presiden Sukarno.
Dia ditugaskan untuk mengawasi penyerahan tentara Jepang di Banyumas, dan dia mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat, cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Dia kemudian ditunjuk sebagai komandan Divisi Kelima oleh kepala staf sementara, Oerip Soemohardjo.
Pada tanggal 2 November 1945, Sudirman terpilih sebagai panglima tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia dalam pemungutan suara yang ketat melawan Oerip.
Beliau dilantik pada tanggal 18 Desember 1945, dan menjadi jenderal termuda dan tertinggi di Indonesia. Dia menghadapi banyak tantangan, seperti kurangnya senjata, peralatan, dan dana, keragaman pasukan, dan konflik internal di antara faksi-faksi.
Sudirman juga harus berhadapan dengan Belanda, yang berusaha merebut kembali wilayah jajahannya dengan melancarkan beberapa operasi militer.
Perjuangan Jenderal Sudirman memimpin pasukannya untuk melawan agresi Belanda, menggunakan taktik gerilya dan memobilisasi dukungan rakyat.
Ia juga berpartisipasi dalam perundingan dengan Belanda, seperti Perjanjian Linggadjati dan Perjanjian Renville, namun ia menolak untuk mengorbankan kedaulatan Indonesia.
Perjuangan Jenderal Sudirman tidak hanya melawan musuh dari luar, tetapi juga melawan penyakitnya sendiri. Ia menderita TBC, yang menyebabkan paru-paru kanannya runtuh pada bulan November 1948.
Ia harus dirawat di rumah sakit, namun ia tidak menyerah dalam memimpin. Ketika Belanda melancarkan serangan besar-besaran ke Yogyakarta, ibu kota Indonesia, pada 19 Desember 1948, Sudirman meninggalkan rumah sakit dan memimpin perang gerilya dari selatan Jawa.
Beliau melakukan perjalanan selama tujuh bulan, menempuh jarak lebih dari ratusan kilometer, meskipun dalam kondisi yang lemah. Dia juga menyiarkan pesan dari hutan, menyatakan bahwa Indonesia masih ada dan memiliki tentara yang kuat.
Perang gerilya Sudirman merupakan titik balik dalam Revolusi Nasional Indonesia. Perang ini meningkatkan moral rakyat dan tentara Indonesia, serta mendapatkan pengakuan dan dukungan internasional.
Perang ini juga menekan Belanda untuk bernegosiasi dengan pemerintah Indonesia, yang menghasilkan Perjanjian Roem-Van Roijen dan Konferensi Meja Bundar. Pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia.
Dari kisah perjuangan Jenderal Sudirman di atas, ia adalah seorang pemimpin besar dan pahlawan Indonesia. Ia mendedikasikan hidupnya untuk perjuangan kemerdekaan, dan mengorbankan kesehatan dan kenyamanannya untuk negaranya.
Sudirman adalah teladan keberanian, kesetiaan, dan patriotisme. Ia meninggal dunia pada tanggal 29 Januari 1950 di Magelang, pada usia 34 tahun dan dimakamkan dengan penghormatan militer penuh, dan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia.
Warisannya tetap hidup di hati dan pikiran rakyat Indonesia, dan namanya diabadikan di banyak tempat dan institusi.