Rawan Politik Uang di Pemilu, Vote Selling Juga Harus Dicegah

Rawan Politik Uang di Pemilu, Vote Selling Juga Harus Dicegah

Vote selling

DAFTAR ISI

Sediksi.com – Politik uang menjadi salah satu praktik buruk yang kerap terjadi dalam ajang 5 tahunan pemilihan umum (Pemilu). Fenomena ini tak lepas dari adanya pembeli suara (vote buying) dan penjual suara (vote selling).

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) berupaya mengantisipasi kerawanan dalam Pemilu dan pemilihan serentak 2024 dengan melakukan pemetaan daerah yang rawan terjadi politik uang.

Anggota Bawaslu Lolly Suhenty mengatakan politik uang menjadi salah satu dari lima kasus terbesar dalam isu kerawanan pemilu.

Mengutip laman resmi Bawaslu, terdapat lima provinsi yang rawan terjadi politik uang. Kelima provinsi tersebut antara lain Maluku Utara, Lampung, Jawa Barat, Banten, dan Sulawesi Utara.

Lolly menjelaskan ada beberapa modus politik uang yang sebelumnya terjadi pada Pemilu 2019 dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Modus-modus itu berupa memberi uang, voucher, uang digital, barang, dan janji kepada pemilik suara.

Menurut Lolly, politik uang bisa terjadi sebelum masa kampanye hingga sebelum pemungutan suara. Bahkan politik uang juga bisa dilakukan secara digital.

Ia mengatakan bahwa pelaku politik uang bisa berasal dari kandidat yang berkompetisi dalam pemilu atau pilkada, tim sukses-kampanye, aparatur sipil negara (ASN), penyelenggara ad hoc, dan simpatisan.

Perilaku vote buying dan vote selling

Rawan Politik Uang di Pemilu, Vote Selling Juga Harus Dicegah - Vote
Unsplash/ Parker Johnson

Mengutip theconversation, politik uang terjadi akibat adanya perilaku vote buying dan vote selling.

Dalam praktik politik uang, vote buying merupakan perilaku membeli suara pemilih dengan imbalan uang yang dilakukan kandidat atau partai politik dalam persaingannya sebagai peserta pemilu. Pelaku vote buying disebut juga vote buyer.

Sedangkan, pemilih atau pemilik suara yang terlibat dalam politik uang mempunyai perilaku vote selling. Pelakunya disebut juga sebagai vote seller. Pemilik suara dengan perilaku vote selling menjual suaranya untuk mendapat uang atau imbalan lainnya dengan cara memilih atau mendukung kandidat tertentu di pemilu.   

Vote buyer dan vote seller sama-sama melanggengkan politik uang di pemilu. Sejauh ini pencegahan dilakukan dengan menetapkan aturan larangan dan sanksi bagi peserta pemilu yang terbukti melakukan politik uang.    

Namun, selama masih ada orang yang mau memilih kandidat atau partai tertentu demi bisa mendapat uang atau imbalan, praktik politik uang akan tetap sulit diberantas.

Sementara itu, perilaku vote selling juga sulit dikikis karena masyarakat masih menganggap kegiatan memberikan bingkisan dan uang dengan dalih bantuan atau sedekah sebagai hal yang wajar dan baik, bahkan diartikan sebagai kepedulian.

Masyarakat yang berperilaku vote selling

Rawan Politik Uang di Pemilu, Vote Selling Juga Harus Dicegah - Vote buyer
Unsplash/ Mick Haupt

Berdasarkan riset Rizka Halida yang dikutip theconversation, terdapat dua faktor psikologis yang memengaruhi perilaku vote selling masyarakat sebagai pemilik suara dalam pemliu. Faktor-faktor tersebut antara lain inhibitory self control dan present bias.

Inhibitory self control merupakan kemampuan untuk menahan hasrat dari melakukan hal-hal impulsif yang beresiko, berbahaya, maupun melanggar aturan. Dalam hal ini, jumlah nominal dan besarnya hadiah yang diberikan oleh peserta pemilu dapat memengaruhi munculnya perilaku vote selling masyarakat.

Pemilih yang memiliki inhibitory self control rendah biasanya memutuskan untuk menjadi vote seller.

Sementara itu, pemilih dengan inhibitory self control yang tinggi cenderung menghindari perilaku vote selling. Sebab mereka memiliki kesadaran bahwa politik uang merupakan tindakan yang tidak etis dan melanggar ketentuan pemilu yang berintegritas.    

Sedangkan present bias merupakan kecenderungan alami manusia untuk memilih hadiah yang bisa didapat saat ini walaupun nilainya kecil daripada memilih hadiah yang lebih besar di masa depan.

Perilaku vote selling membuat pemilih cenderung menerima uang dan menjual suaranya. Vote seller berpikir pendek tanpa mempertimbangkan akibat jangka panjang dari keputusan politik yang diambilnya saat ini.

Mencegah perilaku vote selling di masyarakat

Bawaslu perlu melakukan sosialisasi tentang bahaya politik uang kepada pemilih. Menumbuhkan kesadaran poilitik kepada pemilih untuk tidak menerima uang dan menjual suaranya saat pemilu harus dilakukan beriringan dengan penindakan terhadap peserta pemilu yang terbukti melakukan politik uang atau menjadi vote buyers.

Masyarakat perlu memahami tindakan yang bisa dilakukan jika menemukan atau bersingungan dengan politik uang saat masa-masa pemilu. Pastikan masyarakat dapat mengakses saluran atau media Bawaslu jika menemukan pelanggaran peserta pemilu.

Partisipasi tokoh-tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat untuk menolak politik uang juga dapat mencegah perilaku vote selling di masyarakat. Menekankan kepada pemilih untuk lebih mencermati visi, misi, dan rencana program unggulan peserta pemilu dapat mengurangi potensi perilaku vote selling dan selangkah maju untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas.

Baca Juga
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-artikel-retargeting-pixel