Sediksi.com – Redenominasi rupiah sebenarnya bukanlah hal baru bagi Indonesia. Topik ini sudah menjadi rencana Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia mengenai rencana redenominasi alias penyederhanaan uang rupiah.
Menteri Keuangan Sri Mulayani sendiri sudah menetapkannya menjadi bagian dari Peraturan Menteri Keuangan tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 yang salah satunya menjelaskan tentang Rancangan Undang-undang tentang Redenominasi Rupiah.
Penyederhanaan rupiah ini nantinya akan mengurangi tiga angka nol di belakang mata uang rupiah, contohnya Rp 5.000 menjadi Rp 5.
Baru-baru ini, Bank Indonesia (BI) melalui Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan kesiapannya redenominasi rupiah, bahkan sudah ada tahapan-tahapannya.
“Kami dari dulu sudah siap, jadi redenominasi sudah kami siapkan dari dulu. Masalah desain dan tahapan-tahapannya, itu sudah kami siapkan dari dulu secara operasional dan bagaimana tahapan-tahapannya,” ungkap Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (22/6/2023) lalu.
Pengertian redenominasi rupiah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) redenominasi ini diartikan sebagai penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Ini bertujuan untuk menyederhanakan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai rupiah terhadap harga barang dan/atau jasa.
Perlu ditekankan di sini, kalau redenominasi ini berbeda dengan sanering atau pemotongan nilai uang. Mengutip dari laman Kemenkeu, jika sanering sudah pernah dilakukan di Indonesia pada tahun 1959. Saat itu uang pecahan Rp500 dan Rp1.000 nilainya diturunkan menjadi 50 rupiah dan 100 rupiah. Nilai uangnya dipangkas hingga 90 persen.
Pemerintah sendiri menyebut kebijakan ini sebagai ‘penyehatan uang’ yang gunanya untuk mencegah inflasi semakin tinggi, mengendalikan harga, meningkatkan nilai mata uang, dan memungut keuntungan tersembunyi dari perdagangan.
Sanering juga dilakukan demi mengurangi jumlah persedian barang dan peredaran uang. Sementara, redenominasi tidak akan pernah mengurangi nilai mata uang sehingga, tidak akan berpengaruh dengan harga barang.
Sanering bisa membuat dayang beli masyarakat menurun karena nilai uangnya yang berkurang. Sedangkan, redenominasi membuat harga barang tetap normal.
Negara yang melakukan redenominasi
Turki
Turki bisa menjadi salah contoh negara yang berhasil dalam menerapkan konsep redenominasi ini.
Tahun 2005, Turki me-redenominasi mata uangnya dari lira Turki tua (TL) dengan lira Turki baru (YTL). Konsep itu membuat enam nol dihapuskan dari sistem denominasi. Contohnya, yang semula 1 juta lira Turki lama setara dengan 1 lira Turki baru.
Turki sendiri membutuhkan waktu 7 tahun untuk bisa menarik uang lira lama menjadi mata uang lira Turki baru.
Sebenarnya redenominasi di Turki bisa dikatakan cukup berhasil karena stabilitas ekonomi dan tingginya pertumbuhan ekonomi Turki saat itu.
Brasil
Brasil menjadi negara yang sebenarnya pernah gagal dan berhasil dalam menjalankan redenominasi.
Pada tahun 1986 sampai 1989, Brasil gagal mengubah nominal mata uang mereka dari cruzeiro menjadi cruzado.
Negeri Samba itu harus mengalami kerugian yang banyak setelah mengubah jumlah digit pada mata uangnya. Ini terjadi karena buruknya kondisi ekonomi saat itu dan situasi politik yang bergejolak.
Dampaknya, Brasil mengalami tingkat inflasi yang naik tajam hingga sempat mencapai 500 persen. Serta, mata uang Brasil yang terdepresiasi secara tajam terhadap dolar AS.
Lima tahun kemudian, tepatnya 1994, Brasil kembali melakukan redenominasi dengan meluncurkan real Brasil (BRL) untuk menggantikan mata uang lama mereka, cruzeiro (BRC).
Redenominasi itu dilakukan untuk menghapus tiga nol pada mata uang mereka. Misalnya, 1.000 cruzeiro setara dengan 1 real. Program ini pun berhasil.
Faktor keberhasilan Brasil ini karena kombinasi sukses memangkas inflasi yang diiringi dengan masuknya modal asing sehingga membuat bertambahnya cadangan devisa.
Siapkah Indonesia untuk redenominasi rupiah?
Lalu pertanyaannya sekarang, siapkah Indonesia melakukan redenominasi rupiah?
Dilansir dari Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran, Mahmud Ashari dalam djkn.kemenkeu menyebutkan salah satu sayarat yang diperlukan dalam pelaksanaan redenominasi ini adalah kondisi perekonomian negara yang stabil dan pertumbuhan ekonomi yang kuat.
Ini penting, supaya dalam pelaksanaannya redenominasi tidak memberikan dampak yang negatif bagi perekonomian Indonesia.
Oleh karenanya, perlu dilakukan pengamatan terhadap stabilitas fundamental ekonomi. Kesiapan suatu negara dalam melaksanakan redenominasi ini terlihat pada indikator makroekonominya.
Sejalan dengan hal tersebut, Gubernur BI menyebutkan ada tiga faktor yang menjadi pertimbangan bank sentral sebelum mengimplementasikan redenominasi. Pertimbangan itu diantaranya, kondisi makro ekonomi, moneter dan stabilitas sistem keuangan serta sosial politik.
BI berpandangan perekonomian domestik saat ini sudah bagus, tetapi perlu momen yang tepat. Menurutnya, masih adanya kondisi eksternal terutama pelemahan ekonomi global.
“Demikian juga stabilitas sistem keuangan kita kan kondisinya stabil, tetapi ketidakpastian global masih ada, sabar,” kata Perry.