Peci, kopiah, atau songkok merupakan penutup kepala yang biasa digunakan oleh pria muslim di Indonesia. Kendati demikian, peci sebetulnya tak terbatas penganut Islam saja.
Sejarah peci di Indonesia mempunyai cerita yang panjang dan menarik. Dimulai dari perjumpaan dengan saudagar asing, hingga kemudian dianggap jadi bagian simbol identitas kenegaraan.
Makna yang ada dalam peci bukan hanya sekadar penutup kepala, tapi bagi rakyat Indonesia mempunyai makna yang cukup mendalam.
Artikel ini akan membahas tentang sejarah peci, kenapa peci jadi marak secara nasional, makna peci hitam, dan apakah peci identik dengan Islam.
Siapa Penemu Peci?
Tidak ada sumber yang pasti tentang siapa penemu peci. Ada beberapa versi cerita yang beredar di masyarakat tentang sejarah peci. Salah satunya adalah bahwa peci diperkenalkan oleh para pedagang Arab yang menyebarkan Islam ke tanah Melayu pada abad ke-13.
Islam dulu masuk ke wilayah Nusantara melalui Malaka, saat itu pelabuhan menjadi tempat yang paling sering dikunjungi oleh para pedagang muslim, terutaram mereka yang datang dari daerah Gujarat dan Persia.
Para pedagang dari Timur Tengah itu masuk melalui pantai timur Aceh, yang kemudian mengikuti jalur rempah-rempah di Indonesia Timur yang pada akhirnya sampai ke kota pelabuhan di pantai utara Jawa.
Mereka mengenakan sorban sebagai penutup kepala, yang kemudian mengenalkan apa pun yang mereka pakai kepada orang-orang sekitar hingga berkembang menjadi peci.
Versi lainnya dari sejarah peci melansir dari Merdeka, menurut Yahya Andi Saputra, seorang sejarawan Betawi mengatakan bahwa orang-orang Timur Tengah datang ke Indonesia dan mengenalkan topi Fez kepada penduduk lokal.
Pengaruhnya dari Turki, dan untuk membedakan dengan warga Turki, warga lokal memendekkan topi tersebut agar terlihat perbedaanya
Sejarah Peci, dan Kenapa Jadi Marak Secara Nasional?
Peci mulai jadi marak secara nasional pada masa pergerakan nasional melawan penjajahan Belanda. Pada saat itu, peci menjadi simbol perlawanan dan identitas nasional. Salah satu tokoh yang mempopulerkan penggunaan peci adalah Bung Karno, proklamator kemerdekaan Indonesia.
Dimulai saat Sukarno waktu itu akan mengikuti rapat Jong Java pada Juni 1921. Sukarno melihat adanya perdebatan yang terjadi di antara rekan-rekannya yang mempermasalahkan pakaian yang dikenakan, mereka lebih menginginkan tampilan layaknya kaum barat yang terlihat lebih modern dan necis.
Bahkan kaum intelegensia bangsa saat itu beberapa diantaranya tidak menyukai pakaian daerah seperti blangkon, sarung batik, dan iket totopong karena menurutnya itu menandakan kaum kelas bawah.
Mengutip dari Historia, Sukarno pun memecah kesunyian yang tercipta dari perdebatan antar kaum intelegensia itu dengn mengatakan
“Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka”
Sejak saat itulah awal mula Sukarno mempopulerkan pemakaian peci, dan ia selalu mengenakan peci hitam saat tampil di depan publik, seperti saat ia membacakan pledoinya ‘Indonesia Menggugat’ di pengadilan Landraad Bandung, 18 Agustus 1930 dan setelah serba putih khas miliknya
Setelah ia jadi presiden pun tampilan Sukarno tetap mempertahankan peci sebagai aksesoris kepala yang selalu menempel padanya entah saat ia berpidato atau menghadiri agenda kenegaraan lainnya.
Ia mengenakan peci hitam sebagai lambang persatuan dan kesetaraan antara pribumi dan non-pribumi. Peci juga menjadi bagian dari pakaian resmi negara, yang digunakan oleh presiden, pejabat, dan anggota DPR.
Peci juga menjadi ciri khas dari beberapa organisasi kemasyarakatan, seperti Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama.
Sukarno memang tokoh yang paling berpengaruh atas kepopuleran peci hitam sebagai aksesoris kepala secara nasional, tapi ia bukan tokoh atau intelektual jaman penjajahan Belanda yang pertama kali memakainya,.
Pada tahun 1913 saat rapat SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij) di Den Haag mengundang trio politisi yang saat itu juga sedang menjalani pengasingan di Belanda, yakni Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara dan Tjipto Mangunkusumo.
Ketiga tokoh tersebut waktu itu memakai atau menunjukkan identitasnya masing-masing. Tjipto menggunakan kopiah dari beludru hitam. Ki Hajar Dewantara mengenakan topi Fez khas Turki berwarna merah, yang waktu itu sedang populer di kalangan nasionalis karena ada gerakan Turki Muda sekitar tahun 1908. Douwes Dekker jadi satu-satunya dari mereka yang tidak mengenakan penutup kepala.
Makna Peci Hitam
Peci hitam memiliki makna yang berbeda-beda bagi setiap orang. Bagi Bung Karno, peci hitam adalah simbol kebangsaan dan anti-diskriminasi. Bagi para santri, peci hitam adalah simbol keilmuan dan ketakwaan.
Bagi para pejuang kemerdekaan, peci hitam adalah simbol perjuangan dan pengorbanan. Bagi para seniman, peci hitam adalah simbol kreativitas dan ekspresi. Bagi para pemimpin, peci hitam adalah simbol kepemimpinan dan tanggung jawab.
Menurut Yahya, peci atau kopiah adalah simbol-simbol kemuliaan. Pasalnya, bagi kalangan masyarakat luas memegang kepala seseorang secara sembarangan itu hal yang tidak sopan dan tidak boleh, karena itu peci digunakan untuk memuliakan kepala.
Apakah Peci Identik dengan Islam?
Dilihat dari sejarah peci sendiri, memang pertamanya dari datangnya pengaruh pedagang Timur Tengah di Nusantara waktu itu yang awalnya dari sorban berkembang jadi peci atau dari topi Fez khas turki dan dimodifikasi oleh warga lokal, namun peci tidak identik dengan Islam.
Peci adalah penutup kepala yang bisa digunakan oleh banyak orang dari berbagai agama dan budaya. Peci bukanlah syarat atau sunnah dalam beribadah. Peci juga tidak menunjukkan tingkat keimanan atau kesalehan seseorang.
Peci adalah pilihan pribadi yang dapat menunjukkan identitas, gaya, atau sikap seseorang. Peci adalah warisan budaya yang patut dihormati dan dilestarikan.