Sediksi.com – Seni konseptual adalah aliran seni modern yang menonjolkan konsep dan ide yang ada di balik proses kreatif sebuah karya alih-alih keindahan secara teknis atau material fisik pada karya seni itu sendiri. Bahkan terlepas dari kemampuan si senimannya sendiri dalam membuat karya seni yang dinilai secara estetik oleh awam maupun seni konvensional.
Seni konseptual bermula dari sebuah gerakan pada 1960an, yang mempertanyakan ulang tentang “apa itu definisi seni, dan di mana batasan sesuatu disebut seni atau tidak?”
Apa Itu Seni Konseptual?
Dikutip dari Theartstory, para seniman konseptual memandang bahwa sejatinya bentuk seni itu pada dasarnya adalah berupa konsep yang bersifat non-materil. Maka dari itu, keberadaan materil sebuah karya seni justru dirasa mengganggu dan sebisa mungkin dilibatkan secara minimal. Konsep atau ide dalam sebuah karya senilah yang paling ditonjolkan.
Seni konseptual juga merupakan bentuk otokritik terhadap dunia seni itu sendiri yang seakan terkesan eksklusif dan elitis.
Seniman konseptual melihat bahwa di dalam komunitas maupun sekolah seni, sering terlalu fokus terhadap teknik-teknik seni. Ada kecenderungan untuk mengabaikan makna atau ide dari seni itu sendiri.
Bagi mereka, banyak karya seni yang lahir sebagai pepesan kosong. Kelihatannya saja indah, namun tidak memiliki makna yang bisa disampaikan di dalam karyanya itu sendiri. Nah, hal itulah yang menginisiasi munculnya seni konseptual.
Sejarah seni konseptual bisa dinapak tilas dari cabang aliran seni dadaisme yang menekankan pada pesan dan pemaknaan. Bukan pada estetikanya.
Argumentasinya, untuk apa seni yang nilai estetikanya tinggi tapi nggak punya makna alias cuma pamer skill senimannya saja?
Berdasarkan kanal Youtube Tangan Belang, seniman yang meletakkan tonggak pertama dari terbentuknya seni konseptual ini adalah Marcel Duchamp pada 1917 dengan karyanya yang berjudul Fountain.
Pada sebuah pameran seni yang digelar oleh The Society of Independent Artist, New York, Marcel Duchamp mendaftarkan sebuah karya yang pada saat itu ditolak oleh panitia pameran. Sebabnya, karya yang didaftarkan Micel Duchamp ini dinilai bukan karya seni.
Baca Juga: Bikin Media Musik Itu Nggak Gampang!
Marcel Duchamp, Pionir Seni Konseptual dan Kritiknya pada Dunia Seni
Karya berjudul Fountain ini merupakan sebongkah urinoir yang bahkan tidak dibuat oleh Marcel Duchamp sendiri. Namun merupakan barang bekas yang diambil dari pemiliknya yang bernama Richard Mutt, 1917, yang ditulis tangan pada bagian pinggir bawahnya.
Marcel Duchamp, yang tidak terima dengan penolakan panitia pameran seni ini kemudian menumpahkan kekecewaannya di sebuah jurnal seni “The Blind Man” dengan judul The Richard Mutt Case. Marcel Duchamp menggugat panitia pameran seni dengan mengajukan 3 poin utama.
Pertama, seharusnya siapapun bisa mendaftarkan karyanya untuk dipajang, selama ia membayar biaya administrasi sebesar 6 US dollar. Apalagi, pameran itu bukanlah pameran kompetisi yang ada jurinya dan ada hadiahnya. Namun lebih ke pameran untuk menunjukkan ekspresi para senimannya yang sifatnya terbuka dan boleh diikuti oleh siapapun.
Kedua, panitia yang menolak karyanya dengan alasan bahwa karya tersebut adalah imoral, vulgar, plagiat, serta hanyalah sebuah furnitur kamar mandi biasa itu tidak jelas.
Bagi Duchamp, karya seni yang ia ajukan itu tidak ada bedanya dengan mayoritas kerya seni megah di amerika berupa jembatan, infrastruktur, atau furnitur kamar mandi yang mewah. Sama-sama dibuat oleh mesin industri, bukan tangan manusia.
Ketiga, ini yang menarik. Marcel Duchamp menegaskan bahwa karya seninya yang ditolak itu justru mampu mendefinisikan ulang apa arti karya seni.
Duchamp menulis bahwa tidak penting apakah karya seni itu dibuat sendiri oleh Richard Mutt dengan tangannya sendiri atau tidak. Hal paling penting ialah senimannya memilih menggunakan benda itu untuk mengantarkan idenya soal seni. Sama seperti seniman lain yang memilih material dan bahan untuk diolah menjadi karya seni.
Lebih jauh lagi, justru dengan benda yang dianggap sepele dan biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari masyarakat itulah seni bisa lebih tersampaikan.
Alasannya, ketika sebuah benda sehari-hari kemudian diberikan konteks sebagai sebuah karya seni, maka ia akan kehilangan kegunaannya. Nilai gunanya akan gugur dan maknanya tergantikan oleh pemaknaan baru dari bagaimana sebuah karya ditampilkan.
Marcel Duchamp dalam sebuah tulisan yang hanya setengah halaman itu meletakkan batu pertama dalam sebuah aliran seni baru.
Contoh Seni Konseptual
Selain “Fountain” karya Marcel Duchamp di atas, berikut contoh lain dari seni konseptual yang populer di dalam dunia seni. Ada karya dari seniman Indonesia juga, loh. Mari kita lihat beberapa contoh seni konseptual.
Erased de Kooning Drawing
Erased de Kooning Drawing berupa kanvas kosong bekas dihapus. Lukisan ini (atau bukan lukisan?) menyimbolkan perpisahan terhadap aliran seni lukis abstrak ekspresionalisme yang menegaskan bahwa seni adalah subjektif dan berifat ekspresif.
Lukisan ini mencoba mendekonstruksi konsepsi soal lukisan sebagai sebuah karya yang melulu terfokus kepada apa yang ada di dalam kanvas tanpa benar-benar memahami ide apa yang ada di baliknya.
Baca Juga: Nietzsche Pun Seorang Hipster
One and Three Chair
One and Three Chair karya Joseph Kosuth adalah tiga objek yang berupa kursi sungguhan, poster berisi foto kursi berskala 1:1, serta selembar kertas bertuliskan definisi kursi yang dinukil dari sebuah kamus, lalu dicetak dan ditempel ke dinding. Ketiga objek itu kemudian diletakkan secara berjejer.
Karya ini mencoba melepaskan pemaknaan terhadap suatu objek secara fungsional. Kursi dipandang sebagai simbol pertanyaan filososfis, bukan sebagai tempat duduk biasa.
Bagaimana kita memaknai sesuatu? Dari objek nyatanya? Dari sebuah gambar? Atau hanya dari definisi di dalam kamus?
Untitled (Perfect Lovers) 1987-1990
Karya Felix Gonzales-Torrez ini tampak sederhana. Bentuknya hanya berupa dua buah jam dinding yang dijejer saling menempel secara horizontal. Jarum jam-nya disetel untuk bergerak secara bersamaan, sampai detiknya pun presisi. Namun terdapat kisah indah di balik karya ini.
Karya ini dipersembahkan oleh Torrez untuk istri tercintanya yang divonis menderita AIDS. Sepasang jam itu merupakan simbol detak jantungnya dan istrinya. Melekat dekat dan terus berdetak seirama sampai salah satunya berhenti berdetak.
Commedian
Nah, karya seni konseptual ini sempat viral beberapa tahun lalu. Pisang yang ditempel ke tembok dengan lakban abu-abu. Maurizio Cattelan, seniman asal Italia pembuatnya memang terkenal penuh satir, humor, dan seringkali memprovokasi publik dan dunia seni terhadap batasan dari karya seni itu sendiri.
Banyak orang yang menertawakan karya ini. Bahkan ada seorang yang memakan pisangnya. Namun siapa yang menyangka bahwa karya ini akan laku terjual seharga 1,7 milyar rupiah.
Orang-orang boleh saja menertawai atau mengejeknya. Namun sekarang, siapa yang tertawa paling akhir. Tampaknya judul “Commedian” ini pas untuk memunculkan pertanyaan: sebenarnya siapa sih komediannya? Sang seniman atau kita sebagai audiens?
Luka
Di Indonesia sendiri, seni konseptual bukanlah barang baru. Pernah tercatat sebuah karya seni konseptual yang dibuat oleh Sutarji Calzoum Bachri.
Bentuknya adalah sebuah papan putih dengan sepotong daging segar yang dipaku di papan tersebut. Lalu di atasnya tertulis judul “Luka” dan di bawah dagingnya tertulis “ha ha” yang mungkin bagi sebagian orang terlihat aneh dan bahkan cenderung menyeramkan.
Terasa kejanggalan yang kontradiktif di dalam karya terasebut, yakni antara penggambaran luka dengan daging merah, tetapi isi puisinya justru berupa ekspresi tertawa?
Hal ini bisa dimaknai sebagai sebuah perasaan ironi atas realita. Seringkali seberapa sakit luka yang harus dihadapi, orang-orang perlu terus tersenyum. Bahkan tertawa.
Karya ini juga bisa dimaknai sebagai sebuah kegilaan atas realita. Berapa banyak orang di luar sana yang terpaksa tertawa meskipun hidup bagi mereka terasa perih?
Di dalam dunia puisi, karya ini termasuk dalam kategori puisi konkret, puisi yang tidak hanya berisi kata-kata namun juga bermain-main dengan bentuk. Bahkan dalam “Luka” bentuk puisi dibawa lebih konkret lagi.