Sediksi – Indonesia saat ini masih menerapkan 2 mekanisme ambang batas atau threshold dari tiga jenis threshold dalam pemilihan umum (pemilu), yaitu parliamentary threshold dan presidential threshold.
Sebelum tahun 2004, Indonesia sempat menggunakan electoral threshold sebagai salah satu ketentuan untuk menyeleksi partai politik yang bisa mengikuti pemilu.
Tujuan dari penetapan ambang batas yaitu untuk menyederhanakan proses pemilu di Indonesia karena banyaknya partai di Indonesia setelah era orde baru.
Selain untuk menyederhanakan sistem multipartai, bentuk efisiensi penyelenggaraan pemilu, dan upaya mengutamakan kualitas dibandingkan kuantitas parpol peserta pemilu, adanya threshold diklaim sebagai upaya menjaga stabilitas sistem presidensial.
Electoral threshold
Electoral threshold atau ambang batas elektoral di Indonesia merupakan persentase jumlah perolehan suara nasional yang diperlukan parpol agar bisa menempatkan wakilnya di parlemen.
Electoral threshold juga dijadikan syarat parpol untuk maju sebagai peserta di pemilu selanjutnya.
Berdasarkan UU No. 3 Tahun 1999 tentang pemilu dan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD ambang batas elektoral pernah dipatok sebanyak 2 persen dan 3 persen dari perolehan suara sah nasional.
Salah satu penyebabnya karena di pemilu legislatif tahun 1999, ada 48 parpol yang menjadi peserta pemilu.
Pemilu legislatif 1999 tercatat sebagai pemilu dengan peserta parpol terbanyak sepanjang sejarah demokrasi Indonesia.
UU No. 3 Tahun 1999 dan UU No.12 Tahun 2003 saat ini statusnya telah dicabut.
Peraturan terkait ambang batas lalu diatur melalui UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Parliamentary threshold
Parliamentary threshold atau disebut juga ambang batas parlemen adalah persentase perolehan suara minimal parpol peserta pemilu untuk bisa memperoleh kursi di DPR pusat mengikuti ketentuan pembagian yang ada.
Menurut UU No.7 Tahun 2017 pasal 414 ayat 1, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 4 persen dari perolehan suara sah nasional.
Selain berhak mendapat kursi di DPR pusat, parpol yang lolos perliemantary threshold juga berhak menjadi peserta pemilu selanjutnya.
Parpol yang dinyatakan lolos parliementary threshold berhak mengajukan bakal capres-cawapres dengan ketentuan jumlah kursi parpol tersebut di DPR mencapai 20 persen.
Sesuai pasal 186 UU No. 7 Tahun 2023 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 2017, pada pemilu serentak 2024 mendatang pemilihan legislatif (pileg) akan memperebutkan 580 kursi DPR.
Presidential threshold
Secara garis besar, presidential threshold merupakan ketentuan minimal persentase kursi atau perolehan suara parpol di DPR yang menjadi syarat parpol boleh mengajukan capres di pemilu.
Di Indonesia, presidential threshold atau disebut juga ambang batas pencalonan presiden diatur melalui UU No. 7 Tahun 2017 pasal 222.
Sesuai pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017, syarat pengajuan pasangan capres-cawapres oleh parpol yaitu parpol peserta pemilu atau gabungan parpol memenuhi syarat perolehan kursi minimal 20 persen dari jumlah kursi DPR atau mendapat 25 persen suara sah secara nasional pada pileg sebelumnya.
Sebelum ketentuan pemilu serentak berlaku, pileg dilaksanakan beberapa saat sebelum pemilihan presiden.
Penentuan ambang batas presidensial ditentukan dari hasil pemilu legislatif di periode yang sama.
Namun, dengan mengikuti ketentuan UU No. 7 Tahun 2017 dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2013 tentang pilpres dan pileg serentak, maka ambang batas presidensial ditentukan dari persentase perolehan kursi DPR dari periode sebelumnya.
Artinya, untuk pencalonan presiden di pemilu 2024, presidential threshold yang digunakan merupakan hasil pileg 2019.
Berbagai pihak berpendapat bahwa digunakannya hasil pileg 2019 untuk menentukan ambang batas presidensial di pilpres 2024 sudah tidak sesuai dengan tujuannya dalam memperkuat sistem presidensial.
Penggunaan presidential threshold juga dianggap tidak relevan setelah berlaku pemilu serentak, sebab susunan parpol di legislatif tentu akan berubah bersama dengan presiden terpilih.
Dengan pemilu serentak, muncul kemungkinan parpol mayoritas di DPR bukan parpol pengusung presiden.
Hal itu membuka peluang deadlock atau kebuntuan, jika DPR sebagai legislatif dan presiden sebagai eksekutif saling sandera saat akan mengeluarkan kebijakan bersama.
Baca Juga: Usai KPU Dikritik, MA Kabulkan Gugatan Uji Materil PKPU Perhitungan Keterwakilan Perempuan
Presidential threshold biang kerok minimnya kandidat capres
Presidential threshold disinyalir menjadi biang kerok minimnya capres alternatif yang muncul di pemilu 2024.
Sebab ketentuan 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara sah membuat partai politik tidak leluasa mengajukan capres sendiri.
Ketentuan itu juga membuat calon-calon independen mustahil maju ke pilpres tanpa melamar dulu ke parpol peserta pemilu.
Beberapa pihak dari parpol dan elemen masyarakat bahkan mengajukan uji materil pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang ketentuan ambang batas pencalonan presiden ke MK.
Setidaknya sampai tahun 2022, MK telah 14 kali melakukan juidicial review terhadap pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017.
Sebanyak 9 permohonan uji materil presidential threshold tidak diterima MK dengan alasan tidak memenuhi syarat formil.
Sedangkan 5 putusan lainnya ditolak karena MK menilai permohonan tidak beralasan menurut hukum.