Ada suatu kebiasaan yang seakan menjadi tradisi di lingkungan kampus. Yakni selebrasi setelah melaksanakan seminar proposal (sempro) maupun sidang tugas akhir, dengan berfoto sambil membawa bunga dan hadiah, memakai selempang, bahkan ada yang sampai membuat banner.
Kata orang-orang, selebrasi tersebut sebagai bentuk apresiasi. Karena bagaimana pun juga, mencapai titik tersebut tidaklah mudah.
Ya walaupun dibaliknya ada revisi yang menunggu, dan masih ada beberapa tahap yang perlu diselesaikan sih.
Sebenarnya sah-sah ajaa melakukan selebrasi seperti itu. Tapi poin yang meresahkan pada bunga dan hadiah, yang merupakan pemberian dari audience yang hadir.
Akhir-akhir ini, bahkan ditambah dengan posting foto orang yang telah sidang di story media sosial kita sambil tag nama akunnya. Hal ini dalam rangka mengucapkan selamat.
Baca Juga: Merayakan Hal-hal yang Tak Mudah
Sebenarnya, pihak yang melaksanan sidang tidak menyuruh untuk membawakan hadiah dan posting story. Tapi gimana ya? Seakan ada beban moral yang menekan kami audience, untuk mau nggak mau yaaa bakal melakukan itu.
Padahal kayak gitu sebenarnya opsional. Tapi kalau nggak ngasih apa-apa, siap-siap sama tekanan sosial ajaa sih hehe. Bisa jadi bahan omongan, atau nggak ada yang bawain kamu hadiah saat kamu sidang nanti.
Bahkan ada nih teman saya yang bela-belain menguras dompet, demi membelikan hadiah untuk sidang temannya. Dia pengen banget dateng, tapi kalau datent dengan tangan kosong, dia merasa sungkan dan takut juga sama tekanan sosial.
Saya mikir, kenapa yaa sampai menyusahkan diri sendiri begitu? Padahal dateng ke sidang orang, selama diundang mah gas ajaa.
Siapa deh yang punya ide ngasih hadiah-hadiah kayak gini? Budaya kayak gini tuh lama-lama bahaya dan harusnya dimusnahkan ajaa!
Baca Juga: Ketika Jurnal Ilmiah Menjadi Ladang Bisnis
Yang Miskin Seakan Nggak Berhak Belajar dari Pengalaman Teman
Jangan kira mahasiswa yang pengen mengikuti sidang proposal atau skripsi teman itu hanya soal memberi selamat saja. Mahasiswa lain yang nasibnya nggak beruntung, nggak bisa mengerjakan skripsi duluan seperti saya ini juga pengen mengikutinya. Tujuannya sederhana dan jelas, biar bisa belajar dari pengalaman teman.
Saya kurang tahu berapa banyak yang pengen mengikuti sidang temannya dengan motif demikian. Tapi saya yakin, saya nggak sendirian.
Pasti ada mahasiswa yang gundah ketika melihat temannya sudah bisa sidang. Sementara, dia sendiri belum, karena beberapa hal yang menghambatnya.
Lalu menerka-nerka apa saja masalah yang harus dihadapi ketika presentasi proposal atau hasil skripsi di depan dosen penguji. Sekali lagi, hal itu setidaknya buat bahan belajar meskipun masalahnya nanti nggak sama persis.
Terus, kalau keinginan belajar itu terhambat karena permasalahan budaya memberi buket bunga sebagai prasyaratnya, saya kira budaya itu amat sangat kurang ajar.
Sebab, budaya itu artinya menyuruh mahasiswa untuk bersikap diskriminatif terhadap mahasiswa lain yang kebetulan belum bisa membeli buket (baca: miskin).
Esensi Sidang yang Terlupakan
Dipikir-pikir lagi, kayaknya kita harus menggeser sedikit aja sudut pandang kita mengenai sidang tugas akhir.
Karena saya yakin, baik yang sidang maupun audience yang datang, pikirannya lebih sibuk soal selebrasi.
Yang sidang kepikiran mau pose bagaimana dan di mana nanti bersama bunga-bunga dan hadiahnya. Sedangkan audience-nya kepikiran mau bawa apa buat hadiah.
Padahal yang menjadi penting adalah esensi dari sidang tugas akhir. Sidang diadakan untuk menilai wawasan, pengetahuan, kemampuan, dan juga kedalaman akademik yang dimiliki seorang mahasiswa.
Bisa diartikan juga mempresentasikan implementasi kita selama belajar di bangku perkuliahan, lebih-lebih jika implementasi itu bermanfaat untuk sekitar.
Kalau sudut pandang kita berubah, kita bakal sepakat, kalau selebrasi itu bukan hal penting. Yang penting, orang yang sidang mampu menjabarkan wawasan dan hasil belajarnya, dan audience bisa menerima materi tersebut. Bahkan mengevaluasi, apa yang kurang dari tugas akhirnya setelah hadir sidang. Sehingga tidak ada kesalahan teknis yang berulang.
Dan percayalah, naskah tugas akhir itu nggak akan dibaca sama masyarakat. Karena sampai hari ini, belum ada tuh sosialisasi pada masyarakat untuk mengakses karya ilmiah.
Maka saya pikir, budaya toksik ini sudah seharusnya dimusnahkan. Karena, apa yang sebenarnya kita rayakan?
Pada akhirnya, setelah selesai sidang, naskah tugas akhir akan ditumpuk di perpustakaan kampus.
Mari kita ubah budaya tersebut ini dengan menganggap bahwa sidang proposal atau tugas akhir itu terbuka oleh semua mahasiswa.
Jadi nggak perlu lah kita sungkan ataupun tertekan karena nggak bawa apa-apa saat sidang teman.
Seenggaknya, kalau penelitian tugas akhir kita nggak sebegitu berdampak manfaatnya buat orang sekitar, kita udah cukup bermanfaat bagi teman yang ingin menyelesaikan tugas akhir.
Siapa tahu, teman kalian itu, suatu saat bisa mengimplementasikan ilmunya ke masyarakat. Dan itu secara nggak langsung, kalian juga ikut andil dalam memberi manfaat ke masyarakat.