Diskriminasi Syarat Usia Kerja bagi Para Emak

Diskriminasi Syarat Usia Kerja bagi Para Emak

Diskriminasi Syarat Usia Kerja bagi Para Emak
Ilustrasi oleh Vivian Yoga Veronica Putri

Karena syarat usia menjadi penghalang, banyak dari perempuan akhirnya bekerja tidak sesuai dengan passion, serabutan, dan rela dibayar dengan upah di bawah standar.

Patokan usia untuk bekerja di Indonesia menjadi diskriminasi bagi para pencari kerja. Rata-rata, perusahaan meminta umur maksimal 35 tahun bagi para pelamar kerja. Banyak juga yang meminta umur maksimal 25 tahun dan belum menikah

Pihak yang paling terdampak atas patokan usia ini adalah Perempuan. Banyak perempuan mencari pekerjaan meski usia mereka sudah tidak muda lagi. 

Hal ini dikarenakan beberapa alasan. Misalnya karena mencari kesibukan. Biasanya, perempuan yang aktif, tidak cukup dengan mengerjakan satu hal. Makanya membutuhkan pekerjaan.

Kemudian alasan ekonomi. Bagi yang keadaan ekonominya pas-pasan bahkan di bawah rata-rata, sekalipun sudah sepakat bahwa nafkah ditanggung suami, tetapi tidak bisa menggantungkan uang bulanan pada pasangan. Sehingga, perempuan akhirnya turut ambil peran.

Atau, ada juga dari perempuan yang memutuskan berhenti bekerja karena kesepakatan dengan pasangan, tapi tiba-tiba tersandung masalah. Seperti suaminya di PHK, meninggal, atau bercerai. 

Karena masalah-masalah itu, mau tidak mau perempuan, khususnya yang sudah tidak muda lagi ini harus bekerja demi kebutuhan hidup.

Namun, soalan usia menjadi penghalang. Akhirnya, banyak dari perempuan ini bekerja tidak sesuai dengan passion, serabutan, dan rela dibayar dengan upah di bawah standar.

Baca Juga: Dua Syarat Kerja Paling Jancuk

Andai seperti di Drakor, Tetap Bisa Bekerja walau Sudah 40an Tahun

Saya jadi ingat, ada drama Korea (drakor) bertajuk “Doctor Cha” yang cukup trending pada tahun 2023 lalu. Drakor ini bertemakan perselingkuhan yang dibalut komedi. Namun bukan itu yang ingin saya tekankan.

Cha, sebelumnya adalah mahasiswi kedokteran yang sudah disumpah menjadi dokter. Tetapi harus menunda mimpi itu karena mengandung. 

Hal tersebut, relate dengan kejadian saat ini. Banyak loh perusahaan yang tidak menerima perempuan yang sedang mengandung. 

Bahkan ada perusahaan yang menolak cuti hamil, hingga berakhir perempuan yang mengajukan cuti tersebut dipecat. Padahal ia sudah mengabdi bertahun-tahun pada perusahaan itu.

Kembali ke Cha. Setelah melahirkan, ia diminta mendedikasikan dirinya pada keluarga. Ia memang setuju, dan nafkah ditanggung suaminya yang seorang dokter spesialis. 

Akan tetapi, Cha merasa kesepian dan merasa tidak cukup dengan aktivitas yang begitu-begitu aja setiap harinya. Ia juga merasa tidak punya kewenangan dalam finansial. 

Apa-apa harus melalui persetujuan suami dan mertuanya. Belum lagi, ditambah konflik suaminya. 

Lalu, diusia yang sudah tidak muda lagi, serta alasan ingin menguliahkan anaknya di bidang seni—bukan di kedokteran seperti yang diminta suaminya, dia berhasrat mengejar kembali mimpinya sebagai dokter.

Dalam perjalanan mencapai mimpinya itu, ia pun kerap diragukan, sekalipun sudah melalui tes dengan nilai yang bagus. 

Usai menjalani tes wawancara, yang sebenarnya lancar-lancar aja, pihak pewawancara ragu karena usia Cha yang sudah 40an tahun. Lagi-lagi tentang usia.

Lalu, saat ia berperan sebagai dokter tahun pertama, ia sering digunjing. Seperti, “masa dia kayak gitu ajaa nggak bisa,” “oh yaa pantes, soalnya udah tua sih,”. 

Dah lah pokoknya setiap kesalahan yang Cha perbuat, yang menjadi cibiran adalah karena usianya.

Tapi yaa Cha terus belajar—dan dapat keberuntungan dibela sama investor Rumah sakit tempat ia bekerja sih. Hingga dia benar-benar berhasil menjadi seorang dokter spesialis, diusia yang sudah tidak muda lagi. 

Drakor tersebut menggambarkan tidak peduli berapa pun usia kita, maka tidak ada kata terlambat untuk mengejar mimpi.

Oke, beberapa part yang dirasakan Cha relate dengan kebanyakan perempuan. Hanya soalan perempuan mendapatkan pekerjaan sesuai passion, dan mimpi di usia 40an tahun, itu saja yang rasanya mustahil.

Di dunia nyata, mana ada yang kayak gitu? Heuheu.

Perusahaan, Yuk Pertimbangkan Kinerja Bukan Usia

Saya pernah membaca, penelitian yang dilakukan oleh Ros Altmann Departemen Pekerjaan Amerika Serikat. Penelitian yang didukung oleh pemerintah itu, berangkat dari laporan bahwa kemajuan bakat perempuan berhenti di sekitar usia 45 tahun.

Altmann mewawancarai para eksekutif bagian sumber daya manusia, karyawan, dan para bos. Hingga dirinya menemukan, jika perempuan yang hampir mencapai usia pertengahan, telah melewati masa produktif untuk mendapat bayaran lebih baik.

Para pekerja dengan usia lanjut dituntut memiliki kemampuan teknologi dan media sosial, mereka pun harus memiliki atasan dengan usia lebih muda sehingga mendapatkan diskriminasi usia.

Tidak hanya itu, perempuan juga harus menghadapi tambahan diskriminasi dari pengusaha yang menginginkan staf perempuannya memiliki penampilan tertentu.

Dari hasil wawancara tersebut, rasanya bukan kemajuan bakat perempuan yang “berhenti” di sekitar usia 45 tahun, tapi kemajuan bakat perempuan yang “diberhentikan” di sekitar usia 45 tahun.

Kenapa perusahaan tidak menilai kinerjanya saja, daripada penampilan apalagi sampai mengurusi soalan sosial perempuan yang berusia 40an tahun di dunia kerja?

Saya yakin kok kalo kinerja perempuan usia 40an tahun itu oke punya. Mereka bakal bekerja dengan baik, berbekal motivasi mencukupi kebutuhan hidup dan desakan konflik keluarga.

Mempekerjakan perempuan berusia 40an tahun, yang sempat berhenti karena menjadi ibu rumah tangga, juga bisa tidak bisa diremehkan loh. Pengalaman bekerjanya dulu pasti ada yang bisa diterapkan saat ini. 

Bahkan kalo perlu, title ibu rumah tangga bisa dimasukkan ke CV. Gimana tuh? Jadi, dijelaskan peran dan fungsi kita sebagai ibu rumah tangga. 

Misal mengatur keuangan rumah tangga, manajemen waktu, dan lain-lain. Harusnya soft skill bisa loh dipertimbangkan sama perusahaan.

Intinya sih, sungguh nano-nano sekali menjadi perempuan di negeri kita tercinta ini. Apakah menjadi perempuan berusia middle age seburuk itu?

Editor: Anatasia Anjani
Penulis

Alby Yusa

Mantan pegawai tv yang beralih profesi jadi ibu rumah tangga
Opini Terkait
Patut Dicoba: 8 Pekerjaan untuk Para Caleg yang Gagal di Pemilu 2024
Menulis untuk Keabadian itu Omong Kosong
Kultur Rekrutmen Kerja yang Makin Jancuk

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel